12. Berlayar Bersamamu

2528 Kata
Siska : Aku keluar dari gedung kampus. Mengedarkan pandangan ke segala arah. Mana Andra? Aku ambil ponsel dari dalam tas. Memutuskan untuk meneleponnya saja. "Halo, Andra! Di mana? Aku udah beres, nih!" "Ini lagi di jalan menuju kampus. Tunggu bentar, ya?' "Hmm, ya udah. Aku tunggu di kantin, ya?" "OK!" Aku berjalan menuju kantin. Waktu makan siang masih setengah jam lagi, tapi entah kenapa perut sudah keroncongan. Apa karena pengaruh Andra? Sepertinya asupan gizi dan nutrisi cepat terbuang. Kurang dari sepuluh menit semangkuk mie ayam bakso sudah tersaji, tak lupa segelas jus jeruk. Tanpa menunda waktu, segera aku menikmatinya. "Hai, Sis!" Aku menoleh. Menyelesaikan kunyahan lebih dulu. "Geri!" ketusku. Kadatangannya benar-benar mengganggu. Hampir saja aku tersedak. Kuraih gelas dan meminumnya segera. "Maaf ... kirain enggak lagi makan," ucapnya. Aku menepiskan tangan. Melanjutkan acara makan. "Kamu tumben makan dulu, biasanya langsung pulang?" "Laper, jadi makan dulu," sahutku tak acuh. "Lagi sibuk enggak?" Aku menggelengkan kepala. Memangnya dia tidak lihat aku sedang makan. "Denger-denger bisnis online kamu makin maju, ya?" Aku menganggukkan kepala. Masih dengan mulut penuh. "Sis, aku kok, enggak pernah lihat kamu jalan ama cowok, ya?" Aku menatapnya, menautkan alis. Sebenarnya Geri mau bicara apa? Kunikmati kembali isi mangkokku. "Aduh, maaf. Kok, aku jadi enggak jelas gini, ya?" Kulirik dia. Wajahnya tampak gugup. "Jadi gini, Sis. Sebenernya aku mau ngomong penting." "Hmm." Terdengar Geri mendesah. Ya ampun, aku tidak suka pada orang yang selalu berbasa-basi! "Ya udah, mumpung kita lagi ketemu, aku ngomong sekarang aja, ya?" "Hmm." "Sis,  sebenernya ... aku suka sama kamu. Berhubung kamu enggak punya cowok, kamu mau enggak jadi pacar aku?" Hah, apa?! Aku menoleh cepat. "Uhuk ...." Memegang leher yang terasa tercekik. "Astaga, Siska! Sorry-sorry, ini minum ... nya ...." Suara Geri melemah. "Enggak baik mengajak bicara seorang gadis yang lagi makan, Bung!" Lalu ... gelas berisi jus berada di depan wajahku. "Minum dulu, Sayang." Suara berat itu menekan kata sayang. Kuambil dan langsung meminumnya. Setelah agak baikan, aku melirik ke arah samping. "Andra, kenapa enggak telepon dulu?" "Tadi 'kan udah bilang nunggu di kantin," sahutnya sambil duduk. Lalu menarik mangkuk ke hadapannya. Menusuk satu bakso penuh saos dan memakannya. "Ini pedes banget, Sayang." "Kamu mau aku pesenin?" tawarku. "Enggak usah, kita 'kan mau pergi. Nanti aja cari makan di jalan." Andra mendekatkan wajah, mengusap tepian bibirku. "Udah beres makannya?" Aku mengangguk. "Udah aja, deh. Keburu kenyang," cetusku. "Ayo!" Andra berdiri, mengulurkan tangan. "Ke kasir dulu, aku belum bayar." Aku berdiri, meraih jemarinya. "OK!" "Duluan, Ger!" pamitku. Dia hanya membuang wajah. Sudahlah! Kami berjalan berdampingan menuju parkiran. Sesampainya di samping mobil, Andra membukakan pintu untukku. Hanya saja saat aku hampir masuk, dia menahanku. "Siapa?" tanyanya dengan wajah tanpa ekspresi. "Siapa apa?" "Lelaki tadi." "Oh, temen. Satu angkatan tapi beda jurusan." "Cuma ... te-man?" Kutatap matanya lekat-lekat. "Apa selama ini aku pernah berbohong?" Andra membalas menatapku. Hanya saja ... ada yang lain. "Andra ...." "Masuk!" "Kamu marah?" Andra menggerakkan kepala. Mengulangi perintah. Aku menghela napas, menuruti keinginannya. Hening sepanjang jalan. Jika tadi lelaki di sampingku sempat membuat hati ini melayang-layang, kini rasanya berubah hampa. Bahkan terasa terhempas ke dasar bumi. Aku pun enggan bertanya. Untuk apa? Kenapa harus marah hanya karena Geri yang jelas bukan siapa-siapa? Kupalingkan wajah ke kanan dan kiri. Mobil memasuki pelabuhan. Banyak kapal pesiar berjajar di tepiannya. Mau apa sebenarnya? Mobil berhenti. Andra melepas sabuk pengaman. "Tunggu di sini. Jangan ke mana-mana!" perintahnya. Akhirnya aku pun memilih diam. Percuma berbicara pun. Aku sudah tahu bagaimana Andra jika sedang emosi. "Halo, Mas Viko! Ini Reyandra. Ya, aku udah di parkiran. Oh, OK!" Andra memasukkan ponsel ke saku celananya. Lalu membuka pintu dan keluar. Kupandang punggung itu, berjalan semakin jauh. Hingga hilang di balik mobil-mobil yang terparkir. Apa dia cemburu? Ah, mana mungkin. Jangan terlalu berbesar kepala, Siska. Untuk mengentaskan kejenuhan, kubuka ponsel. Mendengarkan beberapa lagu pop Indonesia yang bisa mengusir rasa gelisah ini. Hingga terdengar suara tawa. Kupalingkan wajah. Andra terlihat berjalan menuju ke mari bersama seorang pria. Tampak lebih tua dari Andra, mungkin dia pria yang tadi Andra panggil Mas Viko. Entah karena penampilannya yang berbeda, atau sinar matahari yang menyorotnya. Andra terlihat begitu memesona. Cara berjalannya, pakaiannya, dan kaca mata hitam yang melindungi matanya dari silau matahari. Aku merasa menjadi perempuan paling beruntung karena bisa dekat dengan Andra, bahkan tak percaya jika dia lelaki yang hampir setiap malam b******a denganku. Andra semakin mendekat, dia berputar ke arah tempatku duduk. Membuka pintu mobil, membungkukkan badan, membelai wajahku lembut. "Are you ready?" "Ke mana?" tanyaku pelan. Namun dia malah memberikan tangannya sebagai isyarat. Aku pun meraihnya dan turun dari mobil. Selepas menutup pintu, Andra berganti membuka pintu belakang, mengeluarkan beberapa tas belanja. "Kapan kamu belanja?" "Sebelum jemput kamu," sahutnya tak acuh. Lagi-lagi aku hanya bisa mendesah. "Ayo!" Andra mengamit jemariku. "Udah siap semua, Rey?" tanya pria bercelana pendek dan kaos oblong di belakang kami. "Udah, Mas Viko." Andra mengangguk disertai senyum. Sempat Mas Viko melihatku, lalu tersenyum. Kutanggapi dengan anggukan kepala. Kami melangkah mengikuti Mas Viko. Menyusuri tepian pantai, hingga sampai di pelabuhan. Menaiki dermaga, dan berhenti di depan sebuah kapal pesiar. Tidak terlalu besar, tapi tampaknya cukup berkelas. Viko mengajak kami masuk ke dalam, lalu menaiki tangga. Kapal pesiar dengan dua lantai yang cukup luas. Mewah dan menawan, walau dari luar terlihat biasa. Setelah berada di bagian atas, Viko mengajak Andra ke ruang kemudi. Sedang aku menunggu di bagian luar. Bisa kulihat Mas Viko seperti memberi pengarahan. Andra dengan seksama memperhatikan, dan terlihat serius dengan sesekali mengganggukkan kepala. Hingga akhirnya Mas Viko keluar. Turun dari kapal. Kulayangkan pandangan. Menelusuri keindahan air laut dari jarak dekat. Riak-riak air dan desau angin menciptakan suasana damai. "Kalau cape istirahat aja. Ada kamar di lantai bawah." Tahu-tahu Andra sudah di sampingku. "Nanti aja," sahutku, lalu tersenyum. "OK." Andra mengangguk, lalu berbalik. Sedetik kemudian berputar kembali. Tangannya terulur, membelai pipiku. Menyelipkan rambut yang tergerai ke belakang telinga. Kemudian terasa dia menarik kepala ini. Mencium kening, lama. Menatapku kembali dengan sorot yang ... entahlah. "Aku--" "Yuk, Rey!" "Iya, Mas!" Andra membalas seruan Mas Viko yang entah sejak kapan sudah berada di kapal kembali. "Nanti, ya! Kamu sendirian dulu enggak apa, 'kan?" Aku mengangguk melihat senyumnya. Mas Viko mulai mengemudikan kapal, melaju membelah air laut. Langit sore tampak begitu indah memancarkan sinarnya. Menimbulkan cahaya berkilauan di permukaaannya. Aku masih berdiri, menahan tangan pada teralis tepian dak. Menikmati keindahan yang baru kurasakan untuk pertama kalinya. Namun, tiba-tiba sesuatu yang aneh terasa di perut. Mataku berkunang-kunang, ditambah kepala yang sedikit berat. Kuputuskan untuk duduk pada kursi besi di sisi lain, tapi ... kakiku lemas. Hampir aku terkulai, saat ada tangan yang menahanku. "Mabuk laut?" bisiknya. Aku menoleh. "Iya, kayaknya." "Tidur aja, ya?" "Mmm." Andra membantuku berjalan, masuk ke dalam dan menuruni tangga. Tidak banyak ruang. Hanya satu ruang utama dengan sofa besar di kedua sisi, lalu di sebelahnya meja beserta kursi, mungkin tempat untuk makan. Kami berjalan menuju pintu di ujung depan, yang ternyata adalah sebuah kamar. Cukup nyaman. Ranjang berukuran sedang, satu meja, satu kursi, ada lemari dan cermin besar berbingkai emas. "Tidur sendirian enggak apa, 'kan?" Andra mencium kening setelah tubuhku terbaring. "Enggak apa." Aku berusaha tersenyum. "Andra ...," panggilku saat dia hampir bangkit. "Kenapa? Butuh sesuatu?" Aku menggelengkan kepala. "Jangan marah lagi." Andra tersenyum kikuk. Lalu merunduk, menciumku. "Aku enggak bisa marah sama kamu," ucapnya sambil mengusap bibirku. "Aku naik dulu," pamitnya. Aku mengangguk. Menatapnya yang seperti enggan meninggalkanku. ***** Andra : Ini semua gara-gara kamu, Siska! Aku rela belajar mengemudikan kapal pesiar demi kamu. Hanya demi kamu. Terdengar suara motor boat mendekat. Sepertinya orang suruhan Viko. "Udah yakin bawa sendiri, Rey?" tanya Viko memastikan. "Aku udah ngerti, Mas!" sahutku mantap. "Gampanglah! Masa bikin jembatan layang bisa, bawa kapal pesiar enggak bisa?" Viko tertawa. "Doain aja," sahutku lalu ikut tertawa. "Oke, aku pergi. Bye!" "Makasih banyak!" Viko berlalu sambil melambaikan tangan. Hingga terdengar suara motor boat kembali melaju semakin jauh. Kulirik jam tangan, hampir jam delapan malam rupanya. Lumayan juga setelah belajar beberapa jam, setidaknya aku bisa bebas di sini. Tanpa merasa risi dengan memakai jasa kemudi orang lain. Ya, seperti kata-kataku tadi. Aku lakukan ini semua demi Siska. Viko bilang cuaca selama beberapa hari ke depan cukup bagus, tak akan mengganggu pelayaran. Semakin memantapkan niatku memberi kejutan untuk Siska. Sejak melihat foto di laptopnya itu, hatiku tergugah agar mewujudkan impiannya. Walau aku tidak tahu pasti, apakah benar ini keinginannya? Namun, yang aku tahu, aku ingin memberi sesuatu yang berarti untuk Siska. Air laut yang tenang membuat kapal tetap stabil dengan laju perlahan. Kuputuskan turun ke bawah untuk menengok Siska. Sejak meninggalkannya di kamar tadi aku belum sempat melihatnya lagi. Ah, rupanya kamu masih tidur, Sayang. Kudekati perlahan, memastikan gerakanku tak akan mengganggunya. Menatap dalam wajahnya. Pesona yang selama ini selalu menghiasi hari-hariku. Aku pikirkan kembali kata-kata Dicky tadi pagi, saat kutanyakan pendapatnya tentang perubahan sikap Siska akhir-akhir ini. "Mulailah memberikan sebuah kepastian untuknya." Dicky memberi saran. "Kepastian apa?" tanyaku heran. "Tentang perasaanmu, Andra. Misalnya panggil dia ... Sayang." "Aku terlalu takut, Dicky. Aku takut dia enggak membalas perasaanku." "Kenapa harus takut?" "Aku khawatir, dia enggak percaya sama aku. Kamu tau bagaimana hubungan kami selama ini? Hanya berawal dari komitmen konyol yang aku buat, dan sekarang aku sendiri yang terjebak dengan permainanku." "Kamu sebut ini permainan?" Dicky melebarkan matanya. "Setidaknya, ini semua berasal dari masalah uang. Kamu tau aku yang mengawalinya. Aku bayar dia dari cengkeraman g***o itu, aku beri dia kemewahan, uang yang bisa dia pakai sepuasnya, bahkan aku cukupi kebutuhan orang tuanya. Lalu suatu hari, perasaan iba ini berubah. Pelan-pelan rasa itu berubah menjadi suka. Aku suka melihatnya tersenyum, tertawa, mengobrol dengannya sepanjang malam. Lalu berubah menjadi cinta. Aku mulai ingin mendekatinya, ingin melihatnya berbeda. Kubelikan dia baju tanpa dia minta, kuberi dia perhiasan, membuat perasaanku semakin menjadi. Ada setitik rasa, di mana aku ingin memilikinya lebih. Dan bodohnya, aku tega melakukan itu semua. Aku hancurkan masa depannya," Aku mengusap wajah resah. Dicky menepuk-nepuk pundakku. "Aku tega merenggut kesuciannya. Setiap malam aku menuntut dia untuk melayaniku. Aku yang awalnya hanya ingin ditemani, berubah menjadi ingin dilayani. Aku jahat, Dicky. Aku kejam. Aku sudah menariknya ke dalam duniaku. Aku sudah mengubahnya. Dia yang dulu polos, sekarang berubah menjadi gadis moderen. Tapi anehnya dia tidak pernah menolak keinginanku, dia selalu memberikan semua yang aku butuh, bahkan tanpa aku minta. Akhirnya sekarang aku hampir gila jika mengingat itu semua, aku takut dia pergi, aku takut kehilangan dia. Aku takut jika aku enggak bisa memberinya uang lagi dia akan pergi. Aku sudah mulai egois. Aku enggak tau ini akan terjadi. Kamu tau, aku bekerja keras mencari uang hanya demi dia, aku rela hasil jerih payahku semua untuknya. Aku rela, Dicky. Asal melihatnya bahagia, aku rela memberikan apapun." "Kamu mulai menyayanginya, Andra. Kamu ingat kata-kataku dulu, kamu harus tanggung konsekuensinya. Kamu yang memulai, kamu juga yang akan mengakhirinya. Aku katakan padamu sekali lagi, berikan dia kepastian." Dicky kembali menepuk pundakku. "Lihat, dia rela menghabiskan waktunya di apartemenmu, tanpa berkata bosan. Dia rela melayanimu siang malam tanpa berkata lelah. Bahkan dia rela meninggalkan orang tuanya demi kamu, dan yang paling penting dia rela memberikan semuanya bahkan hidupnya hanya padamu." Dicky kembali menegaskan.  Itulah perbincanganku tadi pagi bersama Dicky. Kepastian, itu yang harus aku berikan pada Siska. Kuputuskan sekaranglah waktunya. Aku akan memberinya sebuah kepastian. Walau mungkin belum sepenuhnya. Kuusap lembut pipinya. Wajahnya yang selalu terlihat cantik tanpa polesan make up. Dan pesona kecantikannya bertambah kuat saat melihat tadi pagi dia menggendong Dinda. Siska tampak keibuan, apalagi saat Wulan berkata dia pantas menjadi ibu muda. Rasanya aku bahagia, membayangkan dia bisa menjadi ibu dari anak-anakku. Ah, apakah dia berpikir sama? Selama ini aku selalu mengontrol jadwal tamu bulanannya. Jujur saja, aku masih belum siap sepenuhnya. Bukan karena aku takut punya anak, tapi aku takut dia kecewa. Orang tuaku pasti tidak akan merestui hubungan ini, itulah sebabnya aku selalu menyembunyikannya. Siska menggeliat. Kutarik selimutnya ke atas. Mengamati perlahan tubuh molek yang selama ini aku jamah. Aku yang dulu selalu berkeyakinan bisa menjaga naluri kelelakianku ternyata omong kosong belaka. Aku tergoda olehnya, Siska Aulia Lestari. Dicky benar, Siska sudah banyak berkorban untukku. Bahkan selama hidup denganku dia baru satu kali pulang kampung. Itu pun hanya seminggu, karena Siska cemas mendengar keadaanku yang kacau. Aku berbaring di sampingnya, memeluknya erat. Tubuh ini hanya milikku, tak ada orang lain selain aku. Jangankan tubuhnya, seorang pria lain mendekatinya pun aku tak rela. Seperti kejadian tadi siang. Aku dengan jelas mendengar laki-laki itu menyatakan perasaannya pada Siska. Jika saja bukan di tempat umum, sudah kuhabisi dia! Anehnya, aku marah pada Siska. Mungkinkah aku cemburu? Saat melihat tatapan sendunya, dan meminta maaf. Jujur aku pun tak tega. Rasanya, seperti ada yang hancur di balik d**a ini. Oh Tuhan, apa yang terjadi? Aku terjebak dalam perasaanku sendiri. *** "Andra ...." "Hmm ...." Aku bergeming, tetap pada posisiku. Memeluknya erat, tidak melepasnya semalaman. "Di mana kita?" bisiknya. "Samudera." "Samudera?" "Ya, kita sedang mengarungi Samudera Pasai," jawabku masih dengan mata tertutup. "Apa? Samudera Pasai!" Siska terperanjat. Mau tak mau aku ikut membuka mata. "Kok, bisa?" Mata Siska membulat. "Kamu 'kan yang mau?" Aku pun ikut bangun. "Kapan? Emang aku pernah ngomong?" tanyanya heran. "Aku buka laptop kamu, terus aku lihat foto kapal pesiar. Emang itu foto apa?" Aku mulai ragu. Siska diam, merunduk. Lalu menangis. "Kenapa? Aku salah, ya? Oke, aku tau ini emang enggak sama dengan yang di foto. Kapal pesiarnya besar dan mewah, sedangkan ini kapal pesiar kecil dan sederhana. Tapi aku janji suatu hari nanti aku ajak kamu berlayar keliling Benua Eropa dengan kapal pesiar mewah dan megah, kapal pesiar yang besar, yang bisa kita--" "Cukup Andra, cukup!" Siska merangkul tubuhku, menangis di pundakku. Akhirnya kubalas memeluk. Membiarkan dia menangis sepuasnya. "Maaf, aku liat foto itu beberapa hari lalu, sepulang kita dari Puncak. Aku enggak punya banyak waktu buat nyiapin liburan kita di cruiser mewah. Kalau kamu mau, minggu depan aku siapin liburan kedua kita." Aku berusaha merayunya. "Cukup, Andra! Kenapa kamu lakukan ini semua?" Suaranya terdengar serak. "Apa?" Aku sudah mulai khawatir. "Kenapa kamu selalu membawaku semakin dalam pada perasaan ini?" Suaranya terdengar parau. "Hah?" Aku tak percaya dengan perkataannya. "Kenapa kamu selalu memberikan semua mimpiku, Andra?" "Aku ... aku mau kamu selalu tersenyum dan bahagia," dalihku. Siska melepaskan pelukannya, dia mengusap air mata di wajahnya. Lalu menatap wajahku. "Kamu tau, sejak kecil aku tinggal di kampung terpencil. Buat aku mengunjungi laut itu mustahil, apalagi untuk berlayar mengarungi samudera. Tapi kamu bawa aku ke Bali, Anyer, Lombok. Kamu bawa aku ke laut, Andra! Kamu wujudkan mimpi-mimpiku. Dan sekarang kamu bawa aku berlayar!" Tangisan Siska berubah menjadi tawa, dia turun dari ranjang dan berlari sambil mengangkat tangannya menuju lantai atas. Benarkah dia anggap aku sebagai pewujud mimpi-mimpinya? Aku masih diam, badanku terasa kaku, kakiku mendadak lemas. "Pantas saja saat aku panggil dia dengan sebutan sayang, dia enggak membalasnya. Ternyata pendapatmu salah Dicky." Kulangkahkan kaki meski terasa berat. Aku hanya bisa melihat Siska yang sedang berteriak-teriak, memanggil lumba-lumba dan ikan yang berloncatan. "Andra, makasih banyak!" Siska berlari menghampiri. Memelukku, mencium pipiku. Aku tak menanggapinya. Dia pun menatapku heran. "Ayolah, Andra. Aku senang dengan semua ini. Aku enggak peduli ini kapal pesiar besar atau kecil. Yang pasti aku sudah bisa berlayar bersamamu, Andra," ucapnya, lalu memelukku dari belakang. "Berlayar bersamamu." Siska mengulang kata-kata itu. Hanya saja terdengar sedikit berat. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN