Airin kembali membuka buku diary yang tadi dia baca. Dia mencari jawaban di sana. Namun, saat dia membuka halaman satu persatu buku itu, tak ada satupun pembahasan tentang tespek. Dia kembali menatap alat itu.
"Ini punya siapa?" tanya Airin. "Ah, Hape," ujarnya. "Di sana pasti aku menemukan jawaban," katanya bersemangat.
Airin lantas mengambil satu kotak lagi. Tepat, dia mengambil kotak yang berisi ponsel, headset, charger, dan laptop. Benar, dugaan Airin. Ponsel Irene pasti sudah mati. Dia segera memasang charger pada terminal yang ada di ruangan itu. Setelah tersambung, Airin segera mengaktifkan ponsel itu.
Menunggu beberapa detik untuk terbuka layarnya. Setelah layar muncul dengan wallpaper gambar Airin, Irene dan Hilda yang sedang tersenyum lebar, membuat Airin lagi-lagi tersenyum. Kenangannya bersama Airin terlalu banyak. Anak itu selalu menjadi mood booster-nya di saat dia lelah. Bawel yang selalu menjadi senjata andalannya ketika Airin sedang bermalas-malasan.
Airin mengusap layar itu sehingga terbuka, menampilkan beberapa aplikasi di sana. Airin mencari sebuah aplikasi w******p. Dia membukanya, namun hasilnya nihil. Dia mencari nama-nama yang menurutnya mencurigakan. Namun, tetap saja tidak ada. Hanya ada pesan dari dirinya, Hilda, ada beberapa grup kelas, dan dari dua orang temannya yang memang Airin kenal.
Airin mengembuskan napas. "Nggak ada ternyata." Airin putus asa.
Dia menutup aplikasi itu, dan mencari aplikasi lainnya. Kini dia membuka aplikasi galeri. Di mana banyak sekali foto dia, dan Airin, juga Hilda.
Airin sepertinya tak akan menemukan jawaban di sana. Dia kembali menutupnya. Selagi dia mencari, matanya terfokus pada galeri dengan kata kunci. Galeri itu dikunci dengan menggunakan nomor pin.
"Apa ini?" tanya Airin bingung. "Pin-nya berapa?" Airin mengerutkan kening.
Dia mencoba dengan tanggal lahir Irene. Ternyata salah, mencoba lagi dengan tanggal lahir Hilda, juga salah. Airin berpikir keras, jika dia satu kali salah lagi, sudah dipastikan aplikasi itu akan terblokir. Airin mencari cara, dia menatap layar ponsel itu dengan lekat.
"Apa, ya?" tanyanya penasaran. Dia terus berpikir. "Ah," ucapnya setelah mengingat sesuatu. "Dia selalu menggunakan kode lain dengan tangga lahir terbalik," katanya. Dia mencoba memasukan angka-angka itu. "Berhasil!" cetusnya antusias.
Dia membuka satu persatu foto di dalamnya. Awalnya tak ada yang mencurigakan, namun foto-foto itu membuat Airin bertanya siapa cowok di samping Irene.
"Bukankah ini adalah foto di puncak? Iya, waktu itu dia meminta izin pergi ke puncak bersama teman-temannya," kata Airin. Foto-foto yang dia lihat adalah foto Irene dengan cowok yang mungkin kekasihnya.
"Apa dia kekasih Irene? Kenapa nggak cerita?" tanya Airin. "Ah, pasti kamu takut ketahuan, dan Kakak bisa ngomel," ucap Airin tersenyum.
Banyak sekali foto di dalam galeri terkunci itu. Ada juga video di sana. Airin sembari mengenang sosok Irene melihatnya tersenyum.
"Kamu cantik," puji Airin pada foto Irene yang duduk di samping cowok itu.
Mungkin akan lebih seru melihat video, karena nanti di sana dia akan mendengarkan suara Irene. Airin langsung membuka video itu. Video yang berjumlah lebih dari enam, dia buka satu-satu.
Video pertama, menampilkan Irene yang mengambil pemandangan sebagai objeknya. Lantas beberapa detik, dia menyorot pada cowok.
"Hai, hai, gimana? Gimana? Rasanya ke puncak berdua bareng aku?" Suara Irene tampak sangat jelas.
Airin mengerutkan kening. "Berdua?" tanya Airin bingung. Dia kembali fokus pada video itu.
Cowok itu tampak tersenyum. "Mmm, seneng banget dong. Setelah seminggu jadian, kok seperti bulan madu ya," ujar cowok itu. Dia meledakkan tawanya. Begitu juga Irene. Walaupun wajahnya tak terlihat, namun suaranya sangat tampak jelas.
"Makasih, ya. Udah ajakin aku jalan-jalan," ujar Irene.
"Tapi kamu bohong, sama Kakak dan Mama kamu, pastiin kamu minta maaf ke mereka," kata cowok itu lagi.
"Iya, Tristan bawel! Nanti aku minta maaf, karena udah bohongin mereka," kata Irene. Video itu berakhir.
Airin mengerutkan kening. "Jadi, Irene hanya berdua dengan cowok itu?" tanya Airin. "Bukan bareng-bareng sama teman sekelasnya?" tanya Airin lagi. Dia membuka video kedua.
Video itu diambil saat malam hari. Keduanya sedang menyantap jagung bakar. Sedangkan Tristan sibuk dengan ponselnya. Lagi-lagi Airin yang mengambil video itu.
"Gini nih, kalo jalan sama anak Mama. Selalu aja chatingan sama Mama. Sampe pacarnya dilupain." Suara Airin lagi-lagi membuka Video itu.
Tristan tampak menoleh dan tersenyum. "Sabar, ya. Mama lagi bete kayaknya. Jadi, aku dikejar-kejar mulu buat temenin dia chating," kata Tristan. Terdengar gelak tawa Irene.
Video ketiga menampilkan Mereka sedang menikmati pemandangan dari bukit. Pemandangan yang sangat bagus dan juga indah. Kedua tangan mereka saling mengait. Tristan menciumi punggung tangan Irene berulang kali.
"Jangan diciumi mulu," ucap Irene. Namun, video dengan durasi terpendek dari video lain itu berhenti.
Airin kembali membuka video kelima. Mereka sedang terlihat berada di sebuah ruangan. Irene bersandar pada bahu Tristan. Kali ini wajahnya terlihat jelas. Dia terlihat sangat bahagia dalam video itu.
Bahkan sampai Airin ikut tersenyum melihatnya.
"Sepertinya kamu seneng banget punya pacar," ujar Airin.
Tiba-tiba Airin menutup matanya karena Tristan mencium bibir Irene. Dan itu berlangsung sangat lama.
Airin gerah, dia yang ngos-ngosan seperti melihat langsung adegan itu. Dia mengambil jeda waktu sebentar sebelum lanjut di video yang terakhir.
Airin mengatur napasnya. "Apa yang kamu perbuat? Kamu bilang nggak akan pacaran?" tanya Airin. Dia tak menyangka Irene yang polos, akan melakukan hal seperti itu. Setelah semua tenang. Airin kembali membuka video terakhir.
Video itu tampak gelap. Namun, suaranya terdengar sangat jelas. Airin mengerutkan kening. Dia dengan teliti melihat video itu. Namun, ada yang membuat Airin sangat penasaran. Kenapa ada suara desahan dalam video itu. Bahkan suara Irene terdengar sangat jelas. Bahwa suaranya terengah dan sesekali mendesah.
Airin tak sanggup. Dia menghentikan video itu. Dia takut apa yang ada dalam pikirannya menjadi nyata. Namun, rasa penasarannya mengalahkan kekhawatiran itu.
Setelah Airin tenang, dia kembali memutar video itu. Sepertinya ponsel yang sedang merekam diambil, karena sudah tak gelap lagi.
Airin terkejut saat video itu menyorot pada Irene yang bertelanjang bulat. Ponsel yang dipegang Airin terjatuh. Bagaimana bisa Irene melakukan itu.
Napasnya memburu. Rasa penasarannya benar-benar terjawab sekarang. Napas Airin masih memburu. Dia tak ingin melanjutkannya lagi. Sudah dipastikan ada adegan panas selanjutnya.
Itu sebabnya galeri itu dikunci. Airin menyesal. Dia gagal mendidik Irene. Dia kembali beralih pada tespek tadi.
"Apa karena ini?" tanya Irene.
"Rin! Belum tidur?" Suara Hilda menggema di telinga perempuan itu. Airin terkejut. Dia segera membereskan barang-barang itu dalam satu kotak. Membiarkan kotak lain kosong dan disimpannya.
Airin melihat pintu kamarnya terbuka. Tentu saja Hilda akan menanyakannya.
"Iya, Ma. Bentar lagi," teriak Airin.
"Sedang apa kamu di sana?" tanya Hilda. Dari lantai satu memang terlihat bahwa pintu-pintu dua ruangan itu terbuka.
"Ah, aku lagi cari buku aku. Ken membutuhkannya," kata Airin beralasan.
"Ah, ya sudah. Nanti jangan lupa beresin lagi. Dan tidur, istirahat," kata Hilda mengakhiri.
"Iya," jawab Airin singkat.
Untung saja, Hilda tak naik ke atas. Sudah dipastikan dia bakalan mengeluarkan banyak pertanyaan untuknya.
Airin segera membereskan barang-barang milik Irene. Dia akhirnya membawa satu kotak ke kamarnya. Untuk mencari bukti lain. Namun, tentu saja dia harus mengawasi dulu ibunya. Memastikan wanita paruh baya itu sudah masuk ke kamarnya lagi.
Setelah sampai di kamarnya. Airin terlihat sangat lega. Dia meraih ponselnya. Menghubungi Desta malam itu.
"Apa lagi? Brian?" jawab Desta tanpa basa-basi.
"Bukan," jawab Airin. "Sepertinya Irene punya pacar. Namanya, Tristan," kata Airin.
"Iya, kan? Nah, aku mau selidiki tentang cowok itu," ujar Desta tegas.
"Aku ingin bertemu dengan cowok itu," kata Airin.
"Kenapa?" tanya Desta. "Kamu yakin dia penyebabnya?" tanya Desta lagi.
Airin menggelengkan kepala, walaupun Desta tak mengetahuinya.
"Enggak," jawab Airin. "Aku harus memastikan sesuatu," katanya.
"Dia pindah ke luar negeri. Tapi, katanya akan pulang akhir tahun ini," jelas Desta.
"Serius!" Airin mulai berantusias. "Aku harus ketemu sama dia," kata Airin tegas.
"Rin, belum jelas. Belum tentu dia penyebabnya. Kita harus selidiki dulu," kata Desta.
"Nggak perlu, pokoknya aku harus ketemu sama dia," ujar Airin.
"Aneh," jawab Desta.
Malam itu Airin memilih untuk begadang. Dia membaca semua buku milik Irene. Saking penasarannya dengan alat kontrasepsi yang dia temukan dan bergaris dua.
"Aku harus tahu ini milik siapa," ujar Airin bertekad.
Airin membaca semua buku diary milik Irene. Hampir selesai. Namun, tak ada pembahasan di sana. Airin putus asa.
"Apa dia tak pernah mencatatnya? Padahal setiap hari dia mencatat semua kegiatannya di sini," ujar Airin sedikit kecewa.
Airin memutuskan untuk menghentikan aktivitas. Dia kembali membereskan buku yang berdominan warna pink. Memasukan kembali dan menatanya. Termasuk ponsel milik Irene. Namun, saat dia memasukan buku-buku itu terjatuh, karena menabrak ujung kotak. Sehingga buku itu kembali bercecer di lantai.
"Aish," gerutunya. Dia terpaksa membereskan lagi. Namun, sebuah surat terjatuh di sana. Airin penasaran. Sedari tadi dia tak menemukan sepucuk surat berwarna biru itu.
"Apa ini?" tanyanya.
Airin membuka amplop itu yang juga berwarna biru. Ternyata tulisan Irene.
Dear My Tristan.
Terima kasih, sudah mau menjadi bagian hidupku. Aku sangat bersyukur Tuhan kirim kamu untuk aku. Aku bahagia banget, ada cowok yang diam-diam suka sama aku, terlebih cowok itu kamu.
Terima kasih juga atas liburan kemarin. Aku suka banget ke puncak bareng kamu. Bahagia dan nggak bisa aku ungkapkan.
Aku nulis surat ini karena mau kasih kamu kejutan. Kejutan yang mungkin akan membuatmu khawatir.
Tristan, apapun yang terjadi nanti. Jangan pernah tinggalkan aku. Aku pasti sangat butuh kamu nanti.
Tristan, jika boleh aku tahu gimana perasaan kamu sama aku? Aku yakin, kamu juga cinta sama aku bukan? Tulus, kan?
Tristan, semenjak kejadian itu. Aku terus memikirkan kamu, memikirkan aku, memikirkan kita. Aku nggak tahu harus ngomong dari mana. Aku nggak tau harus berbuat apa, dan aku nggak tahu harus bagaimana.
Yang jelas, aku ingin kamu tahu. Bahwa sejak kejadian itu, aku hamil.
___
Airin terkejut. Dia menghentikan bacaan surat yang ditulis oleh Irene. Otaknya tak bisa berpikir jernih. Saking terkejutnya dia sampai lemas.
"Nggak mungkin!" ujarnya tak percaya.
"Irene!" Airin membekap mulutnya sendiri. Saking tak percayanya.
"Bagaimana bisa kamu hamil?" tanya Airin. Dia menyesal. Dia menyalahkan dirinya sendiri.
"Irene!" Lagi-lagi mengucap nama Irene. Dia kembali mengambil tespek yang disimpannya tadi.
"Jadi, ini punya kamu?" tanya Airin tak percaya.
Karena tinggal beberapa kata lagi yang belum dia baca. Airin kembali pada surat tadi. Matanya sudah terlihat menggenang air mata. Rasanya campur aduk.
____
Aku lagi hamil anak kita. Anak dari perbuatan kita waktu di puncak. Semoga kamu bahagia mendengar ini. Aku bakal jaga anak kita. Aku tahu resikonya sangat banyak. Tapi, tolong dukung aku.
Perasan Airin campur aduk.
"Berarti saat dia bunuh diri, dalam keadaan hamil?" tanya Airin. Wajahnya penuh penyesalan.
Menyesal karena gagal mendidik Irene. Gagal karena tak menanyakan keadaan Irene.
"Pasti kamu ketakutan waktu itu," ujar Airin. Dia meneteskan air mata.