Dua hari sebelumnya.
Ken datang menemui Brian ke apartemennya. Di sana ada Desta dan Dava yang masih setia kepada sang artis. Dava sudah banyak mengeluarkan pernyataan kepada publik. Dia bahkan sampai menggelar konferensi pers tanpa Brian.
Mental Brian benar-benar down ketika berita itu muncul. Dia ketakutan. Dia trauma kepada semua orang yang akan mem-bully. Laki-laki itu mengurung diri. Namun, Desta tak bosan dan tak lelah terus menyemangati. Dia tak ingin Brian kembali pada kehidupan lamanya sebagai Attar.
"Buat apa kamu datang ke sini?" tanya Desta begitu membuka pintu dan mendapati Ken di depannya.
"Aku harus bertemu dengan Brian," jawab Ken.
"Nggak bisa, dia nggak ada," ujar Desta berbohong.
"Enggak, dia ada di dalam. Biarkan aku bertemu dia," pinta Ken.
"Kalian belum puas, sudah menghancurkan karir Brian? Kalian enak sebagai wartawan, jadi terkenal, jadi dipercaya sama orang-orang, jadi ..." Belum sempat Desta meneruskan suara Dava menggema di telinga keduanya.
Desta menoleh secepat kilat. Dia menggeser sedikit tubuhnya, dan Dava dengan jelas melihat sosok Ken.
"Ah, buat apa ke sini?" Pertanyaan yang sama yang mereka lontarkan.
"Aku hanya ingin bertemu Brian," ujar Ken tegas.
"Brian? Ah, artis yang udah kamu hancurkan karirnya? Mau apa lagi ketemu sama dia?" tanya Dava mendekat.
"Please, aku mohon." Ken memohon. "Ada yang perlu aku jelaskan," ucap Ken memelas.
Dava mengerutkan kening. "Jelasin? Jelasin apa?" tanya Dava penasaran.
"Ada," jawab Ken pasti. Akhirnya setelah sedikit berdebat, akhirnya Dava memutuskan untuk mempersilakan masuk. Ken bernapas lega sekarang.
Setidaknya dia harus bertemu Brian lebih dulu. Saat dirinya masuk, dia tak mendapati Brian di ruangan itu.
"Di mana Brian?" tanya Ken. Tak ada yang menjawab. Dava memilih untuk duduk, sedangkan Desta menuju kamar Brian.
Desta mengetuk pintu. "Yan! Kita makan," kata Desta berbohong. Hal itu membuat Ken mengerutkan kening.
"Aku belum lapar," jawab Brian dari dalam. Ken dengan jelas mendengarnya.
"Enggak, kali ini harus makan!" Desta lagi-lagi berbohong. Kini Ken memandang Dava. Laki-laki maskulin itu hanya menatap nanar Ken.
"Kenapa Desta bohong?" tanya Ken bingung.
"Dia nggak akan keluar kalau bukan disuruh makan," ucap Dava. "Setelah banyak sekali komentar jahat buat dia. Dia ketakutan, dia trauma akan masa lalunya," kata Dava. Ken merasa sangat bersalah.
Dengan susah payah, akhirnya Brian keluar dengan malas.
"Makan apa?" tanya Brian ketus. Netranya terkejut saat melihat sosok Ken.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya dia sinis. "Mau apa?" tanyanya dengan nada tinggi.
"Yan, dia bilang mau minta maaf," ujar Dava, dia segera bangkit dari duduknya. Melihat Brian sedang marah, membuat Dava khawatir.
"Minta maaf? Kenapa? Kenapa baru datang setelah semuanya sudah ramai," kata Brian. Dia enggan duduk.
"Yan, dengerin dia dulu," bisik Desta.
"Buat apa? Dia sama Airin itu sama saja!" kata Brian dengan nada tinggi.
"Enggak, Airin berbeda." Ken menatap Brian serius. "Ini murni aku yang lakukan," kata Desta. "Kamu tahu kenapa? Karena aku cemburu!" kata Ken.
"Apa?" Brian tak mengerti maksud Ken. "Cemburu?" tanyanya ragu.
Ken mengangguk. "Aku kesal setelah Airin menolakku, aku kesal saat tahu bahwa kamu adalah cinta pertama dia, aku kesal saat dia mengurungkan niatnya untuk balas dendam," kata Ken tegas.
"Apa?" Brian bingung dengan ucapan Ken.
Lagi-lagi Ken hanya mengangguk. "Maka dari itu, aku minta maaf, karena telah membuat kekacauan," ucap Ken. "Semua terjadi karena keegoisanku, bukan perbuatan Airin. Itu murni perbuatan aku," ujar Ken jujur.
"Jadi, Airin nggak melakukan apapun?" timpal Desta. Ken mengangguk. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah.
"Dia memilih tidak balas dendam," kata Ken.
Brian memejamkan matanya sebentar. "Lalu di mana Airin sekarang?" tanya Brian.
"Dia hanya berdiam diri di rumah. Dia nggak bisa berbuat apa-apa setelah kalian menolak permintaan maafnya." Ken menatap Brian serius.
"Semuanya sudah terlambat. Aku akan kembali ke Korea. Aku akan menetap di sana," kata Brian datar. Dava mengangguk mengiyakan.
"Kenapa?" tanya Ken.
"Buat apa aku di sini, masa laluku sudah terkuak, pasti banyak diantara mereka yang menertawakanku. Sebentar lagi, akan ada pemberitaan bahwa aku adalah anak dari Wiratayudha, sudah jelas karirku akan hancur." Brian berucap serius.
"Jadi kapan kamu akan berangkat?" tanya Ken.
"Lusa," jawab Brian singkat.
____
Setelah mendapat kabar bahwa Brian akan kembali ke Korea. Airin panik. Dia ingin menemui Brian, untuk meminta maaf. Dia ingin bertemu Brian walaupun untuk yang terakhir kalinya.
"Jam empat sore," kata Ken memberi tahu Airin.
Itu artinya sebelum jam empat sore, Airin sudah harus berada di sana. Dia membawa serta mobilnya. Melaju dengan kencang untuk berpacu dengan waktu. Untung saja, lima menit sebelum keberangkatan Brian. Dia melihat sosok laki-laki itu.
Airin mengejarnya.
Brian menyatakan perasaannya. Membuat Airin tak percaya. Benar, mereka sama-sama mencintai. Namun, sepertinya Airin mencintai Brian karena rasa iba.
Dia ragu, hingga Brian menariknya dalam pelukan.
____
Brian tersenyum. Lantas dia melepaskan pelukan Airin. Laki-laki itu menatap Airin lekat, hingga keduanya tersenyum bersamaan. Desta yang seperti obat nyamuk hanya berdehem beberapa kali.
"Ada orang kali di sini," kata Desta ketus. Airin dan Brian menoleh secara bersamaan. Menatap Desta nanar.
"Ya biasa aja lihatnya!" protes Desta lagi. Brian tersenyum, begitu pula Airin.
Airin mengalihkan pandangan. Kini dia menatap Brian yang akhirnya dibalas tatapan itu.
"Kamu yakin akan pergi?" tanya Airin. Brian mengangguk.
"Kenapa?" tanya Airin lagi.
"Hanya sebentar. Aku akan mengurus urusanku di sana, dan kembali ke sini," kata Brian.
"Urusan apa? Apa tidak bisa diwakilkan?" tanya Airin lagi.
Brian menggelengkan kepala.
"Aku juga belum memastikan," ucap Airin. Brian menarik garis keningnya.
"Memastikan apa?" tanya Brian penasaran.
"Memastikan perasaan aku terhadap kamu," ucapnya. Brian tersenyum. Dia mengangguk sebagai jawaban.
"Aku akan secepatnya kembali," kata Brian.
Seseorang memanggil nama Brian dengan lantang.
"Yan! Pesawat ke Inggris udah mau take off," kata Jonathan, dia membawa dua buah paspor di tangannya.
"Inggris?" tanya Airin lirih. Brian mengangguk. Dia melepaskan tangannya dari tangan Airin.
"Aku harus berangkat," kaya Brian.
"Bukankah kamu akan ke Korea?" tanya Airin polos.
"Ayo!" Jonathan lagi-lagi mengajak Brian.
"Nanti aku jelasin, aku bakal hubungi kamu setelah sampai sana," ucap Brian terburu-buru. Dia segera mendekat ke arah Jonathan.
Brian berpamitan kepada Desta.
"Jagain cewek gue," ucap Brian lirih.
"Sialan lo," ucap Desta. Membuat Brian tersenyum.
Brian berjalan menuju Jonathan yang sudah berjalan. Airin menatapnya hingga punggung Brian semakin mengecil.
"Ayo kita pulang!" Suara Desta menyadarkan bahwa keberadaannya masih ada di samping Airin.
Alih-alih menjawab ucapan Desta, Airin malah menyerbu Desta dengan berbagai pertanyaan.
"Kenapa dia ke Inggris? Katanya ke Korea? Nggak jadi? Mau apa dia ke Inggris?" Airin bertanya secara cepat.
"Satu-satu kali," jawab Desta. "Nanti aku jelasin," kata Desta lalu berjalan. Tak puas dengan jawaban Desta. Airin mengejarnya.
"Mau jelasin sekarang aja!" paksa Airin. "Kenapa dia ke Inggris? Bukan Korea?" tanya Airin.
"Kamu ke sini bawa mobil sendiri?" tanya Desta.
"Desta! Jawab!" Airin memaksa.
"Iya nanti aku jelasin," ujar Desta meyakinkan.
"Kapan?" tanya Airin.
"Temui aku di kafe biasa. Kita ketemu di sana," ujar Desta.
Airin harus menelan rasa penasarannya. Di jalan dia terus mengikuti mobil Desta. Takut anak itu kabur tanpa menjelaskan. Hingga satu jam Airin membuntuti, benar bahwa Desta mendatangi kafe di mana tempat biasa mereka bertemu. Airin lega, karena Desta tak kabur.
Lagipula mana mungkin Desta kabur, hidupnya tak mungkin terus menerima panggilan secara terus menerus dari Airin.
"Des, kenapa?" tanya Airin.
"Mau pesen apa?" tanya Desta berbalik.
"Apa aja," jawab Airin. Dia terlalu penasaran. Dengan apa yang Desta tawarkan.
Setelah keduanya mendapatkan dua gelas minuman, baru mereka duduk di tempat yang nyaman dan aman dengan pelanggan lain.
"Kenapa? Ayo! Jelasin," ujar Airin saking penasarannya.
"Kamu penasaran? Atau pengen tahu, sih?" tanya Desta.
"Dua-duanya," jawab Airin tegas.
Desta mulai berancang-ancang menjelaskan. Dia menarik napas terlebih dahulu.
"Jadi, Nyokapnya Brian pulang ke Indonesia," kata Desta. "Katanya dia ingin menetap di sini," lanjut Desta.
"Terus?" tanya Airin. "Katanya dia akan menetap di Korea?"
Desta mengangguk. "Awalnya rencana dia seperti itu. Tapi, Nyokap dia bilang pengen di Indonesia sama dia. Mau nggak mau, dia nurut lah. Lagi pula dia nggak mungkin ninggalin Nyokapnya tinggal bersama Wiratayudha. Bisa-bisa penyakitnya bisa kambuh." Desta menjelaskan.
"Lalu kenapa dia ke Inggris? Berapa lama?" tanya Airin menggebu.
"Dia akan urus semua dokumen ibunya di sana. Paling lama dua bulan," ujar Desta.
"Lalu, rencana dia apa? Apa akan kembali ke dunia hiburan?" tanya Airin.
"Kalau masalah itu, kamu tanyakan saja kepada dia. Aku nggak ada hak buat menjawab." Desta menjawabnya dengan tenang. Airin mengembuskan napas.
"Kamu cinta sama Brian? Atau hanya kasihan sama dia? Kenapa tiba-tiba berubah, nggak jadi balas dendam?" tanya Desta beruntun.
"Entahlah," jawab Airin lemas.
"Rin, jangan permainkan dia." Desta menasehati. "Kamu tahu, kenapa dia berani mengakui perasaannya?" tanya Desta. Airin hanya menggelengkan kepala.
"Ken bilang, bahwa dia adalah cinta pertama kamu, iya, kan?" Desta berucap. "Tapi, sekarang keadaan sudah berubah. Mungkin kamu menyukai Attar bukan Brian. Atau kamu kasihan sama dia?" tanya Desta menyelidik.
"Aku bingung. Aku harus menyelidikinya, harus memastikan perasaan ini. Entah itu karena rasa cinta yang dulu tumbuh lagi, atau karena aku kasihan sama dia," kata Airin lemas.
"Please, jangan permainkan dia," kata Desta memohon. "Dia sudah cukup menderita," ujar Desta.
Airin menatap Desta lekat, hingga akhirnya wanita itu mengangguk.
"Oh ya, apa barang-barang Irene masih kamu simpan?" tanya Desta.
"Barang Irene? Kenapa?" tanya Airin balik.
"Enggak. Aku pikir, akan ada petunjuk melalui barang-barang Irene," ujar Desta.
"Aku masih menyimpan ponselnya. Tapi, aku nggak berani buat buka. Mungkin sekarang ponselnya mati karena aku simpan," ujar Airin.
"Ah, iya! Ponsel. Aku harus melihatnya," ujar Desta berantusias.
"Untuk apa?" tanya Airin bingung. "Dia nggak simpan hal aneh di ponselnya. Dia juga nggak simpan semua chat di aplikasi w******p," kata Airin.
Desta menggelengkan kepala. "Apa kamu pernah cek galeri fotonya?" tanya Desta.
Airin menggelengkan kepala cepat. "Buat apa aku cek, foto Irene di ponselku terlalu banyak. Dia jarang berfoto dengan menggunakan ponselnya." Irene berucap pasti.
"Enggak, kita harus cek," ujar Desta.
Airin pun akhirnya mengangguk.
"Oke, nanti malam coba aku buka," ujar Airin.
Mereka mengobrol panjang lebar, hingga lupa waktu. Ternyata langit sudah berubah menjadi gelap.
"Sepertinya aku harus pulang," ujar Desta. Dia melirik jam tangannya sudah hampir setengah tujuh.
Airin mengangguk setuju. Pembicaraannya dengan Desta sangatlah menarik, hingga dia lupa waktu. Menceritakan masa SMA yang tak akan pernah usai.
Airin mengemudikan mobilnya. Untung tak terlalu jauh jarak antara kafe dan rumahnya. Selain itu adalah tempat favorit Desta, tempat itu juga dekat dengan wilayah tempat tinggal Airin.
Sesampainya di rumah, Airin mendapati ibunya tengah menonton serial TV. Airin menyalami dan mencium pipi Hilda.
"Ketemu sama Brian?" tanya Hilda penasaran.
"Kok Mama tahu, aku ketemu Brian?" tanya Airin bingung. Padahal dia sama sekali tak mengatakannya.
"Ken tadi datang, kata Dia kamu lagi nyusul Brian. Pantesan tadi buru-buru." Hilda menjelaskan.
Airin mengambil posisi duduk di samping Hilda.
"Mama udah nggak benci sama Brian lagi?" tanya Airin ragu.
Hilda tersenyum. "Buat apa Mama benci. Lagipula kalau Mama benci sama dia, bukan berarti Irene akan kembali ke sini, kan?" tanya Hilda. "Mama udah maafin dia. Mungkin, itu memang sudah takdir Irene pergi ninggalin kita. Dia memilih untuk pergi," kata Hilda panjang lebar.
Airin mengangguk mengerti. "Ya udah, Ma. Aku ke atas dulu," ucap Airin. Hilda hanya mengangguk sebagai jawaban.
Airin menaiki anak tangga. "Aku akan ke kamar Irene setelah Mama tidur," batinnya.
Airin memilih untuk membersihkan diri. Bersantai, merebahkan tubuhnya. Matanya menatap langit-langit kamarnya.
"Apa dia belum sampai?" tanya Airin. Dia lantas tersenyum. "Bodoh! Mana mungkin Indonesia-Inggris hanya menempuh jarak waktu lima jam." Airin menepuk keningnya.
Setelah waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Airin memastikan ibunya sudah tak berada di ruang keluarga. Sehingga dia dengan bebas masuk ke kamar Irene. Bukan berarti itu dilarang masuk, tetapi Airin hanya ingin leluasa mencari bukti di sana.
Kamar yang sudah disulap menjadi tempat penyimpanan barang itu terlihat sangat rapi dan terang. Walaupun banyak sekali barang di sana, namun Airin menatanya dengan sangat rapi dan teratur.
Airin langsung menuju sebuah lemari. Di mana, di sana adalah tempat barang-barang milik Irene dulu. Banyak sekali kotak di dalamnya. Airin membuka satu persatu kotak itu.
Hilda sengaja memilah barang kenangan Irene di kotak yang berbeda-beda. Ada di satu kotak itu hanya berisi buku-buku pelajaran Irene dan ada juga yang berisi buku diary milik Irene.
"Wah, banyak banget," kata Airin. Dia melihat ada sekitar lima buku di sana. Namun ada satu buku digembok tanpa kunci. Airin penasaran.
"Aku baru lihat ini," ujar Airin membolak-balik buku itu. "Bagaimana cara bukanya?" Airin mencari kuncinya. Namun, tak menemukannya.
"Aku harus lihat isinya," ujar Airin bertekad. Dia mencari cara membongkar gembok itu.
Airin mengambil peralatan tukang yang hanya berisi kunci-kunci dan obeng, juga banyak berbagai macam gunting. Dengan obeng, Airin berhasil membukanya dengan susah payah.
Airin tersenyum, dia membuka halaman pertama. Tersenyum melihat tulisan Irene dan foto dia.
"Dasar bocah! Kenapa senyum itu manis banget," kata Airin. Dia membuka halaman demi halaman. Namun tak sengaja dia menjatuhkan buku itu. Airin kembali meraihnya, namun ada sesuatu yang ikut terjatuh. Airin mengerutkan kening. Dia meraihnya. Terkejut dengan apa yang dilihatnya.
"Alat kontrasepsi?" tanya Airin. Dia membulatkan dua bola matanya setelah melihat dua garis merah di sana.
"Apa mungkin?" Pikiran negatif Airin mulai liar.