Mengerti tanpa bisa dimengerti, memang menyakitkan sebelah pihak. Segala sesuatu hanya mengandalkan ego sesaat hanya menimbulkan malapetaka semata.
Salah memang, jika bermain api di belakang orang lain. Pengkhianatan tidak bisa dibenarkan, sebab bagaimanapun telah melukai perasaan banyak pihak.
Tidak ada suatu pembenaran bagi pelaku pengkhianatan, sebanyak apa pun ia memberikan pembelaan pada diri sendiri, tetap saja namanya salah akan tetap salah.
Arkana uring-uringan di tepi kolam renang belakang rumah. Sedari tadi ia terus mondar-mandir sambil menggigit ibu jari sebelah kanan. Ia terus saja gelisah dan ketakutan akan satu peristiwa yang entah bisa terjadi atau tidak.
Ingatannya masih berkeliaran pada pembicaraan di meja makan beberapa saat lalu. Ucapan demi ucapan mereka tidak bisa dibendung betapa melukai relung hati. Ia ingin mengatakan pada orang tuanya, jika Elena dan dirinya saling mencintai.
Namun, lagi dan lagi niat itu diurungkan mengingat sang kakak begitu mencintai Elena. Sebagai salah satu pihak yang menjadi kekasih gelap, Arkana hanya bisa diam tanpa banyak bicara.
"Bagaimana jadinya kalau Elena sampai menikah dengan mas Elang? Apa yang aku lakukan jika hari itu tiba?" celotehnya memendam perasaan.
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
Di tengah kebingungan melanda, tiba-tiba suara yang selama tiga bulan ini memenuhi pikirannya datang menerjang.
Arkana membalikkan badan, melihat senyum sang pujaan hati mengembang indah di wajah cantiknya. Ia tidak menyangka wanita itu akan datang menyusulnya, tidak mempedulikan ada orang lain di rumah.
"Elena?" Panggil Arkana, tidak menyangka.
"Iya ini aku. Kenapa? Apa kamu pikir aku tidak bisa mendekatimu hanya ini di rumah kalian?" cerca Elena sambil melipat tangan di depan d**a, seolah tahu apa yang tengah dipikirkan pria itu.
Arkana mengembangkan senyum lalu berjalan mendekat. Tanpa takut ketahuan, ia memegang pinggang ramping sang pujaan.
"Aku tahu kamu akan datang. Kamu... memang sangat berani." Arkana menjawil hidung bangir Elena membuatnya hanya menyunggingkan senyum saja.
Sedetik kemudian, Elena berjalan ke depan sedikit menjauhi prianya. Ia berdiri tepat di tepi kolam renang menyaksikan riak air tertiup angin.
Wajahnya berubah sendu kala melihat pantulan diri di dalam air. Begitu menyedihkan, pikir Elena membatin.
"Apa yang sedang kamu pikirkan, hm?" Arkana datang dari belakang, memegang kedua bahu sang pujaan.
Elena langsung menoleh membuat pegangan tadi terlepas. Arkana terkesiap, melihat sorot mata berbeda dari lawan bicaranya.
"Sebaiknya kita akhiri saja hubungan ini. Aku pikir... aku pikir kita sudah sangat salah menjalin hubungan tanpa kepastian. Seharusnya, kita tidak pernah-"
"TIDAK! Aku tidak mau. Bagaimana bisa kamu setega ini Elena? Kenapa kamu tiba-tiba saja ingin mengakhiri hubungan kita?"
"Apa mungkin, kamu benar-benar ingin menikah dengan mas Elang? Iya aku tahu... aku tahu kalau mas Elang lebih pandai, lebih kaya dariku."
"Dia bahkan sudah menjadi pemimpin perusahaan di kantor ayah, sedangkan aku? Aku hanya bawahannya saja yang tidak berguna. Bagus Elena, kamu-"
"Bukan seperti itu!" Giliran Elena menyambar perkataan pria tercintanya, sembari mencengkram lengan kekar Arkana kencang.
"Bukan seperti itu! Kamu tahu sendiri, aku... tidak tertarik dengan harta yang dimilikinya atau apa pun. Aku menerima mas Elang, sebab... aku tidak bisa menolak. Kamu tahu sendiri akan hal itu, kan?" tuturnya cepat.
"Lalu apa? Kenapa kamu tiba-tiba berkata ingin mengakhiri hubungan kita?" tanya Arkana lagi.
Perlahan, Elena menundukkan pandangan, pegangan di kedua lengannya pun memudar. Ia tidak sanggup membalas tatapan mendamba pria idamannya.
"Karena aku... tidak ingin menyakitinya lagi. Sudah cukup pengkhianatan yang kita lakukan, sangat fatal bagi keutuhan keluarga kalian."
"Bahkan... saat ini saja aku tidak sanggup melihat wajah orang tua kalian. Aku bagaikan pencuri ulung yang berhasil mengelabui mereka. Aku tidak bisa melangkah lebih jauh lagi," racau Elena, suaranya parau menahan tangis.
Arkana terdiam beberapa saat, mencerna setiap kata keluar dari mulut ranum pujaan hatinya. Ia tahu, sangat mengerti bagaimana hubungan mereka pasti melukai banyak pihak.
Namun, tetap saja ia tidak bisa mengakhirinya begitu saja. Karena perasaan itu sudah terlanjur dalam dan semakin dalam lagi.
"Aku tahu... aku sangat mengerti, Sayang... tapi, aku tidak bisa melepaskan mu begitu saja. Sampai kapanpun aku akan menunggu sampai hubungan kita diterima," kata Arkana kembali, lembut.
Kepala bersurai hitam legam itu menggeleng beberapa kali. Elena masih mempertahankan posisinya, enggan memperlihatkan kepedihan.
"Tidak! Seharunya kamu bersama Queensha, dia... wanita yang sangat baik dan cantik. Dia memiliki kedudukan sama seperti kalian. Aku yakin dia bisa membuatmu bahagia," celoteh Elena lagi, hal tersebut membuat emosi Arkana memuncak.
"Cukup Elena! Aku tidak mau mendengar siapa pun lagi di antara kita, sudah cukup mas Elang yang menjadi penghalang. Masalah Queensha, biarkan saja berlalu," sambar Arkana meninggikan suaranya beberapa oktaf.
Elena yang khawatir jika pembicaraan mereka akan didengar oleh orang lain cepat-cepat mendongak. Lengkungan bulan sabit yang kehilangan cahayanya hadir menerjang.
"Aku-"
"Sedang apa kalian di sini?"
Suara lain mengusik kebersamaan mereka, Arkana dan Elena kompak menoleh ke arah pintu yang menghubungkan ruangan santai dengan kolam renang.
Mereka terkejut pada satu sosok yang kini tengah mengembangkan senyum manis ke arah keduanya.
"Ah, Mas Elang? Aku sedang bicara dengan Arkana... habis dari toilet tadi aku tidak sengaja melihatnya di sini dan sekalian minta pendapatnya mengenai konsep pernikahan kita nanti," jawab Elena enteng.
Selesai makan tadi, Elena memang meminta izin untuk ke toilet. Namun, siapa sangka jika Elang melihatnya bersama sang adik. Ia pun mengangguk mengiyakan atas ucapan kekasihnya barusan.
Sontak saja hal itu membuat Arkana mengernyitkan dahi. Ia sungguh berpikir jika Elena benar-benar telah menerima hubungan palsunya bersama Elang.
"Apa yang kamu pikirkan, Elena?" benak Arkana membatin sembari melihat Elena pergi begitu saja dari hadapannya mendekati sang kakak.
"Benarkah? Wah! Pasti Arkana memberikan ide kekanakan, kan?" tanya Elang merangkul hangat bahu sang kekasih.
Menyaksikan adegan manis tepat di depan mata kepalanya, seketika d**a Arkana terasa panas. Ia ingin menyingkirkan tangan itu sekarang juga.
Tanpa Elang ketahui, kedua tangan Arkana sudah mengepal kuat.
"Iya sangat kekanakan, bahkan aku harap pernikahan kalian tidak lebih dari pertunjukan badut."
Setelah mengatakan itu ia angkat kaki dari hadapan Elang dan Elena. Wajah sang kakak penuh tanya menyaksikan ratapan tidak biasa dari adik bungsunya.
"Dasar dia itu! Selalu saja bersikap kekanakan, kamu jangan ambil hati yah, Sayang." Elang kembali beralih pada Elena yang tengah menundukkan pandangan.
Ia tahu saat ini Arkana sedang marah besar padanya. Ia hanya menganggukkan kepala singkat tanpa mengatakan sepatah kata.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tahu, sejak awal hubungan kami sudah sangat salah. Seharusnya aku tidak terbawa arus dan menerima perasaan Arkana waktu itu. Bukan karena aku jatuh cinta pada pandangan pertama padanya... lantas aku menerimanya begitu saja. Aku memang sudah bermain dengan diri sendiri."
"Aku bodoh! Sangat bodoh. Juga, bagaimana bisa sekarang kamu menerima lamaran Elang begitu saja? Bahkan kami merencanakan pernikahan? Ya Tuhan, apa yang kamu pikirkan Elena?" Elena terus saja me-racau dalam benak memikirkan jalan keluar.
Namun, semakin dipikirkan, semakin buntu, tidak ada jalan keluar. Ia terlalu asyik bermain dengan napsu sesaat nya semata.
"Sudah Sayang, jangan dipikirkan. Ayo, aku antar kamu pulang." Elang merangkul pinggang ramping Elena posesif membawanya pergi dari sana.
Sepanjang jalan menuju pintu keluar, Elena tidak henti-hentinya melihat ke lantai dua di mana kamar Arkana berada. Ia ingin berlari ke arahnya dan memeluknya detik itu juga.