2 : He Saw Her

1901 Kata
Benjamin Davis selalu suka suasana hiruk pikuk yang ada di dalam sebuah kelab malam. Ia suka dengan suara musik menggelegar hingga mampu menggetarkan gendang telinga. Dengan suasana ruangannya yang redup dan disoroti lampu-lampu disko beraneka warna, seperti biru, merah, dan hijau. Tequila, whiskey, dan vodka. Asap putih yang mengepul dari dry ice. Bau rokok yang tercium di sekitar ruangan. Serta cewek-cewek yang biasa mengelilinginya setiap kali Ben datang berkunjung ke tempat dimana orang-orang penganut aliran hedonisme berkumpul. Ben sendiri sudah mengenal tempat terlarang itu semenjak dirinya baru menginjak tahun pertama SMA, berawal dari ajakan salah satu teman berandalannya. Demi masuk ke tempat itu, Ben bahkan rela membuat sebuah fake ID . Apa yang telah dilakukannya secara repot-repot itu pun tidak berakhir sia-sia. Karena sejak kedatangan hari pertamanya ke sana, Ben langsung jatuh cinta dengan keramaian yang ada di dalam kelab. Menimbulkan adanya kunjungan kedua, ketiga, dan seterusnya, hingga Ben lupa dengan hitungannya sendiri. Dari semua kunjungannya ke tempat tersebut, Ben banyak mendapatkan cerita dan pengalaman. Di sana, Ben merasakan mabuk untuk yang pertama kali. Di sana juga, ia pernah hampir ditangkap polisi karena kelab yang ia datangi mengalami penggebrekan. He also got his very first hoe there. Ben pun pernah bertengkar dengan orang mabuk. Pernah juga--tepatnya sering--mendapat tamparan di pipi dari cewek-cewek yang tidak terima karena telah ia campakan. Singkat kata, kehidupan dunia malam Ben telah memberikannya banyak cerita di masa muda yang mungkin bisa ia bagi untuk anak-anaknya di masa depan kelak. Tentunya, kelakuan Ben tidak untuk ditiru, hanya bermaksud jadi cerita untuk pembelajaran. Ben masih cukup waras untuk menyadari kalau apa yang dilakukannya itu adalah salah dan sangat berpotensi untuk membuat malu nama keluarga jika semua orang tahu tentang apa yang pernah ia perbuat. Tetapi, meski tahu seberapa salahnya dia, Ben masih belum ingin lepas dari kesenangan duniawi yang mortal ini. Baginya, hidup itu hanya sekali dan harus dinikmati semaksimal mungkin. Lakukan apa yang ingin dilakukan. Tentang resikonya, itu urusan belakangan. Pemikiran Ben memang masih sedangkal itu. Padahal, usianya sudah menginjak kepala dua. Bukannya mulai menata masa depan seperti apa yang dilakukan Rean dan Gio, Ben justru semakin liar. Semenjak tamat SMA, Ben memang jadi lebih bebas. Tidak ada lagi peraturan sekolah yang mengikatnya dan usianya juga sudah legal untuk melakukan banyak hal. Sekarang, Ben tidak hanya datang ke kelab malam di akhir pekan saja. Hampir setiap hari ia datangi tempat itu dan hampir tiap hari pula, gandengannya berganti. Dari mulai yang rambut pendek hingga rambut panjang, dari yang mungil sampai yang bohay, hingga yang otak kosong dan yang super pintar. Dengan wajah rupawan, dompet tebal, dan potongan tubuh kokoh serupa prajurit perang, menggaet cewek-cewek tentunya bukan hal yang sulit untuk dilakukan seorang Benjamin. Hanya saja, khusus malam ini, tepatnya malam Minggu, Ben datang ke kelab malam langganannya tanpa seorang gandengan di sisi ataupun teman-teman sepermainan yang mengekori. Ia hanya datang sendiri dan langsung mendudukkan diri di salah satu kursi tinggi yang ada di depan bar, memesan sebotol tequila kepada bartender yang bertugas, lalu menyalakan rokok. Ben menghisap rokoknya dalam-dalam, kemudian melepuskan cincin asapnya, sebelum menenggak habis cairan beralkohol yang telah dituangkan oleh bartender ke dalam shot glass, meresapi sensani hangat membakar yang ditinggalkan minuman itu pada kerongkongannya. Lalu, ia kembali menghisap rokok, menenggak minuman, menghisap, menenggak. Terus begitu. Saat melakukannya, tidak ada ekspresi yang ditunjukkan Ben pada wajahnya. Hanya seraut ekspresi datar. Namun, siapa pun yang melihat ekspresi tersebut pasti akan menilai kalau Ben sedang frustasi. Pikir mereka, mungkin Ben adalah seorang anak broken home yang kurang perhatian atau seorang laki-laki yang sedang terlilit hutang. Tentunya, itu tidak benar. Ben bukan anak broken home. Ia merupakan bungsu dari tiga bersaudara dalam keluarga yang masih lengkap dan harmonis. Ben pun sedari kecil sudah dimanja oleh orangtua dan dua kakak lelakinya. Sama sekali tidak kurang perhatian, ia hanya suka menjadi pusat perhatian. Ben juga tidak sedang terlilit hutang. Jelas saja, ia berasal dari keluarga yang berada. Selain itu, Ben juga merupakan satu-satunya anak yang masih tinggal dengan orangtua, sementara dua kakaknya telah berkeluarga dan berpenghasilan sendiri. Sehingga Ben merupakan satu-satunya anak yang masih menerima pemasukan uang saku dari orangtua. Dan uang saku Ben tentunya tidak sedikit. Malam ini, Ben datang sendiri dikarenakan suasana hatinya yang sedang buruk. Entah apa sebabnya, Ben juga tidak mengerti. Yang pasti, malam ini dirinya sama sekali tidak berminat untuk main-main dengan perempuan manapun. Ben cuma mau merenung, minum, dan merokok, sambil memandangi keramaian di tempatnya berada. Sendirian. Dan tentunya, dihampiri oleh mantan sama sekali tidak termasuk dalam daftar rencananya. "Fuck." Ben mendesiskan u*****n tersebut kala matanya menangkap seorang perempuan yang berada di dance floor. Tanpa sengaja, pandangan mereka bertemu-sesuatu yang sesungguhnya disesali Ben. Tak lama kemudian, perempuan itu berjalan menghampirinya diiringi bunyi tak tuk tak tuk dari heels yang melekat di kedua kaki jenjangnya. Sudah tidak ada waktu lagi bagi Ben untuk melarikan diri. Yang ia lakukan hanya mematung di tempatnya duduk dan menatap lurus guna menantang perempuan yang kini menatapnya dengan penuh minat seolah Ben adalah steak daging sapi wagyu. "Ben!" Perempuan itu berseru ceria tatkala jaraknya dengan Ben tinggal satu langkah saja. Bibirnya yang dipulas lipstik semerah darah pun membentuk senyum lebar yang entah mengapa terkesan seduktif. "Kak Citra, what a surprise." Ben ikut tersenyum, meski dalam hati ia dongkol setengah mati. Ah, Ben memang pandai berakting, pintar menyembunyikan apa yang sebenarnya ia rasakan. Ben memang laki-laki yang penuh kepalsuan. Senyum Citra semakin mengembang lebar. Tanpa merasa takut ataupun canggung, perempuan itu memeluk Ben. Singkat, namun erat. "I know, what a surprise," ujar Citra manis seusai melepas pelukannya. "Kita udah lama banget nggak ketemu, eh tiba-tiba ketemu di sini. Kamu apa kabar, Ben?" "As you see, I'm good. Kakak sendiri apa kabar? Bukannya dengar-dengar kamu kuliah di luar ya, Kak?" Citra menarik kursi di sebelah Ben dan mendudukkan diri di sana, membuat Ben diam-diam mendengus kesal. Perempuan ini berencana untuk tinggal lebih lama di dekatnya. Mungkin juga, bermaksud untuk menggoda. Tapi tidak terima kasih. Ben tidak akan tergoda untuk kedua kali pada mangsa yang pernah ia cicipi. Apalagi Citra ini merupakan mantan pertamanya di tahun awal SMA, merangkap kakak kelasnya, and also the one whom he gave his virginity to. Citra sangatlah tidak girlfriend material dan membosankan. Klisenya, Citra ini merupakan tipe mean girl yang kaya raya, manja, suka menindas yang lemah, tapi otaknya kosong. "Aku lagi liburan." "Hm, gitu." Ben hanya mengangguk singkat. "Kamu sendirian aja, Ben?" Tanya Citra sembari mengibaskan rambut panjangnya ke belakang punggung, membuat tulang selangkanya yang menonjol terlihat dan bagian dadanya terekspos jelas. Sekilas Ben melirik Citra lewat ekor mata. Sebentuk seringai lantas menggantung di bibirnya. Ternyata, Citra belum berubah. Masih suka mengenakan pakaian yang mengekspos beberapa bagian tubuh serta mempertontonkan lekuknya. Dan dulu, dengan mudahnya perempuan itu memberi apa yang dia punya kepada Ben karena dibutakan oleh kerupawanan yang Ben miliki. Padahal, tidak lama setelah itu, dengan mudahnya Citra tercampakan. Habis manis sepah dibuang. Brengsek? Memang. "Iya, sendiri," jawab Ben setelah kembali menghisap dan melepuskan asap dari rokok yang masih ada di tangan. "Nggak sama pacar gitu?" Tawa kecil keluar dari mulut Ben. Ia menoleh ke arah Citra dan sedikit memiringkan kepala. "Nggak punya pacar, Kak." Citra mengerjapkan mata hingga helaian bulu matanya yang panjang dan lentik bergerak dengan anggun. "Tumben," gumam Citra, cukup keras untuk didengar Ben. Ben hanya tersenyum manis. "Kakak sendiri gimana?" "Aku juga nggak punya pacar kok." "Enggak, maksud aku, Kakak juga sendiri ke sini?" Balas Ben dengan sebersit rasa geli. Ternyata perempuan ini masih menaruh hati padanya. Padahal sudah berapa tahun berlalu. "Oh." Citra tertawa canggung. Mungkin malu. Tapi, Ben tak terlalu yakin. "Aku sama temen-temen aku kok, mereka ada di sana." Ditunjuknya sebuah meja yang ada di dekat dance floor. "Kakak malah kabur ke sini, nggak dicariin sama mereka?" Citra hanya mengibaskan tangan santai. "Tadi aku udah bilang sama mereka, tenang aja." Diam-diam Ben kembali mendengus. Gue ngusir lo secara halus, b*****t, kaga peka amat. "Soalnya aku mau ngobrol banyak sama kamu, Ben," lanjut Citra lagi. Ben bisa merasakan bahwa posisi perempuan itu semakin dekat dari sebelumnya. Bahkan, dengan leluasanya satu tangan Citra kini beristirahat di atas paha Ben. What a hoe. "Kamu sekarang lagi sibuk apa, Ben? Kuliah?" Ben meletakkan gelas minumannya ke atas meja bar. Tanpa melihat Citra, ia menjawab, "Iya, kuliah." "Which department?" "Law." Mendengar jawaban itu, Citra malah tertawa. Dan sesunguhnya, Citra bukanlah orang pertama yang tertawa saat mendengar jurusan apa yang Ben tekuni di perkuliahan ini. Ben telah ditertawakan oleh hampir semua temannya. Bisa ditebak, tawa Rean dan Gio adalah yang paling keras. "Lucu ya, orang yang paling sering melanggar peraturan malah kuliah hukum," ujar Ben, mengejek dirinya sendiri. "Aku pikir kamu kuliah di bidang ekonomi gitu." "Maunya sih, tapi dipaksa Mami masuk hukum, katanya biar nggak bandel lagi." "But it's no use, I guess?" "Yah, sejauh ini sih begitu. Susah jadi anak yang baik-baik." "Besides, you're too hot to be anak baik-baik," ujar Citra sembari mengerling. "Itu pujian atau rayuan, Kak?" "Terserah kamu mau anggapnya gimana." "Ternyata Kakak belum berubah ya, masih agresif." "Aku nggak mau berubah demi menuruti ekspetasi orang lain." "Ah, I see." Sesaat, tidak ada lagi yang berbicara di antara mereka. Ben sudah mulai malas menanggapi Citra, sementara Citra pun sepertinya mulai menyadari itu. Sadar bahwa Ben tidak akan termakan oleh pesonanya lagi. Time flies. Feelings change. People change. Polanya seperti itu. Semenit hingga lima menit mereka saling diam, hanya mendengarkan dentuman lagu yang keras serta suara tawa dan cakap-cakap orang yang ada di ruangan besar itu. Sampai pada akhirnya Citra memutuskan untuk menyerah. Ia turun dari kursinya dan menepuk bahu Ben guna menarik perhatian laki-laki yang sejak tadi sibuk merokok sembari merenung. "Aku mau balik ke temen-temen dulu," ujar Citra setelah Ben menoleh padanya. Dalam hati, Ben bersorak senang. "Kamu mau gabung nggak, Ben? Di sana banyak anak-anak SMA kita dulu. Ada Rena juga." "Hah?" Ben yang awalnya hendak langsung menolak pun lantas membeliakkan mata. "Renatta Aurum?" Tanyanya guna memastikan. "Iya," angguk Citra. "Dia kembarannya Rean sobat kamu itu, kan?" "Iya," gumam Ben. "Tapi, kok Rena bisa dateng?" "Soalnya diundang sama Mona yang lagi ulang tahun. Kamu kan tahu sendiri Mona sama Rena itu deket banget." "Oh." Ben hanya mengangguk. Matanya langsung memandang ke tempat yang sebelumnya Citra tunjuk. Ia harus menyipitkan mata untuk melihat wajah-wajah tak asing di sana. Dan salah satunya, ada sesosok Rena yang tadi siang ia temui. Perempuan itu nampak sedang tertawa ceria bersama orang-orang yang ada di sekitarnya. "Jadi, kamu mau gabung, Ben?" "Kakak duluan aja, nanti aku nyusul," jawab. Citra mengangguk. Sebelum melangkah pergi, ia masih menyempatkan diri untuk meninggalkan sebuah kecupan singkat di pipi Ben. "See you when I see you, Ben." Ben hanya menggumam tidak jelas dan tidak menggubris apa yang telah dilakukan Citra padanya sampai perempuan itu pergi menjauh. Tangan Ben kini merogoh saku, meraih ponselnya. Tanpa perlu berpikir panjang, ia segera menghubungi sebuah nomor untuk mengabarkan keberadaan seorang Rena di tempat ini. Itu adalah protokol pertama yang harus dilakukannya jika melihat keberadaan Rena di sebuah kelab malam. Pada dering kedua, panggilannya itu diangkat. "Halo?" Suara Gio langsung menyambut gendang telinga Ben. "Lo dimana, Yo?" Ben bertanya langsung. "Hah?" "Lo dimana?" "Lo ngomong apa, anjing, kaga kedengeran!" Seru Gio di seberang sana. Suara Ben tidak terdengar dengan jelas olehnya karena teredam dentum suara musik yang keras. "Lo dimana?!" Ulang Ben lagi, lebih keras dari sebelumnya, bahkan terkesan membentak. "Oh, gue masih di kampus, baru kelar acara ini abis beres-beres. Kenapa?" Ben terlebih dahulu menarik nafas sebelum menjawab, "Gue liat Rena di Fable."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN