1 : She Loves Him

2912 Kata
Terkadang, Rena ingin kembali menjadi siswi SMA, kembali ke masa putih abu-abunya yang menyenangkan. Yang dipenuhi oleh teman-teman yang kompak, PR dan tugas yang masih bisa ditoleransi, lingkungannya yang ramai dan penuh derai tawa, OSIS dengan semua kegiatan serunya, guru-guru yang killer, dan lain-lainnya, termasuk Gio. Di masa kuliah, semuanya jauh berbeda sama sekali. Tidak ada tuh teman-teman yang kompak, karena dunia perkuliahan ini keras dan semuanya terkesan melakukan sesuatu secara individu-kecuali kalau ada tugas kelompok. Teman-teman yang sering nongkrong bareng sih ada, cuma teman-teman SMA jauh lebih seru daripada mereka. Rena juga tahu alasan mengapa teman-teman kuliahnya mau berteman dengannya. Semua hanya karena sebatas Rena seorang Selebgram yang pastinya terkenal. Dan siapa sih yang tak ingin terciprat popularitasnya Rena? Semua pasti mau. Apalagi hanya dengan menampangkan wajah di ** Rena mampu membuat followers naik pesat dan tawaran endorse datang secara tiba-tiba. See, jadi teman Rena itu enak. Namun bagi Rena, punya teman seperti mereka yang tidak enak. Tugas-tugas di dunia perkuliahan pun seabrek dan kadang membuat Rena ingin menangis karena deadline-nya yang singkat dan jumlahnya yang banyak. Selain itu, dosen killer jauh lebih killer daripada guru yang paling killer di sekolah. Dan untuk mendapatkan nilai B saja, susahnya setengah mati. Berbeda dengan SMA yang nilai tidak begitu menjadi masalah asal kelakuanmu baik. Yang penting kan, sekolah bisa meluluskan siswa 100% sehingga nama baiknya terjaga. Kalau di dunia perkuliahan, jangan harap. Jika ada nilai yang jatuh di suatu mata kuliah, siap-siap saja tidak lulus dan dengan terpaksa harus kembali mengulang. Tapi, yang paling parah dari itu semua dan harus dihadapi Rena di masa kuliahnya ini adalah fakta kalau dirinya dan Gio kini melanjutkan proses menuntut ilmu mereka di universitas yang berbeda. Rena melanjutkan pendidikannya pada sebuah universitas swasta terkenal di ibukota, sementara Gio-bersama Rean dan Shadira, sukses tembus ke universitas negeri ternama di daerah Depok. Setelah terus-menerus satu sekolah semenjak SD, Rena dan Gio pada akhirnya harus berpisah. Dan itu, cukup menyiksa, mengingat saat SMA dulu mereka bertemu nyaris setiap hari. Sekarang, tidak ada lagi kata setiap hari untuk keduanya. Dalam kurun waktu tujuh hari dalam seminggu, hanya Sabtu dan Minggu yang bisa mereka gunakan untuk bertemu secara seharian penuh, bukan hanya sekadar bertemu beberapa jam saja. Karena hanya pada dua hari itu Gio yang kini berstatus sebagai mahasiswa Teknik Metalurgi dan Material, serta merupakan anggota BEM fakultas, mendapat waktu luangnya. Tapi dalam dua hari itu pun, Rena terkadang harus berbagi waktu luang tersebut dengan tugas kelompoknya Gio, kegiatan organisasinya, keluarganya, me time-nya, bahkan Rean dan Ben. Seperti saat ini. Di hari Sabtu, Rena harus kembali merelakan Gio yang hari ini tidak bisa ia temui. Padahal, sudah hampir dua minggu mereka tidak saling bertatap muka karena kesibukan masing-masing dan sudah seharusnya mereka bertemu hari ini. Tetapi, untuk yang kesekian kalinya Rena harus mengalah dengan kesibukan yang Gio punya. Selama dua minggu belakangan, Gio sedang sibuk dengan kuliahnya, serta sebuah kegiatan fakultas dimana dirinya dipercaya untuk menjadi ketua panitia penyelenggara. Dengan statusnya itu, tentu saja Gio sangatlah disibukkan karena ada banyak hal yang harus diurus. Hari ini dan besok adalah hari dimana kegiatan Gio tersebut dilaksanakan. Boro-boro Gio bisa menemui Rena, menghubunginya tepat waktu saja sudah merupakan sebuah keajaiban. Dan sekarang, di akhir pekannya yang kebetulan sangat luang, tanpa diganggu tugas, ataupun pemotretan endorsement dan kegiatan lain yang berhubungan dengan karirnya sebagai Selebgram, Rena hanya bisa berbaring santai di atas sofa ruang keluarga sambil mengganti channel televisi secara acak tanpa benar-benar menontonnya. Sesekali Rena memandangi ponselnya yang tergeletak di atas meja di sebelahnya. Menanti benda tersebut berdenting tanda pesan masuk atau berdering karena ada sebuah panggilan dari Gio tercinta. Tapi sayang, benda itu tidak menerima kabar apapun dari Gio sejak tadi pagi. Hal itupun cukup membuat pikiran Rena tersita. Memikirkan apa yang sedang dilakukan Gio sekarang, apakah acara yang diketuainya itu berjalan lancar, apa semalam Gio tidur dan tidak melawatkan jam makannya, apa Gio pagi ini mandi-mengingat biasanya panitia acara tidak sempat mandi karena terlalu sibuk, serta hal-hal yang lainnya tentang Gio, Rena pikirkan. Dan Rena benci karena ia tidak tahu jawabannya. Membuatnya merasa cukup nelangsa. "Kamu capek nggak? Kalau capek istirahat dulu aja, biar aku yang lanjutin." "Aku nggak apa-apa kok. Nanggung ini sebentar lagi juga selesai." Jauh lebih nelangsa lagi karena dengan sangat terpaksa Rena harus menjadi penonton atas Rean dan Shadira yang sedang bermesraan-walau sebenarnya sedang mengerjakan tugas-di ruangan yang sama dengan Rena. Kedua orang itu duduk di atas karpet dengan tubuh menghadap Rena yang berbaring di sofa, meski arah pandang mereka sama sekali tak tertuju padanya. Baik Rean dan Shadira sama-sama sibuk memandangi laptop masing-masing dengan berbagai macam buku tebal yang sama sekali tak menarik bagi Rena berserakan di sekitar mereka. Sejak tadi pagi Shadira datang untuk mengerjakan tugas bersama dengan Rean. Tetapi Rena tahu, sudah sejak malam tadi mereka mengerjakan tugas di tempat masing-masing. Terlihat dari lingkaran hitam di bawah mata mereka yang mengindikasikan kurangnya waktu tidur karena tugas yang mau tidak mau harus diselesaikan. Raut wajah frustrasi pun terpancar jelas di wajah pasangan tersebut. Entah apa tugas yang mereka kerjakan, Rena tidak mau tahu. Melihatnya saja sudah bikin pusing. Rena harus merasa bersyukur karena setidaknya tugas-tugas kuliah yang ia miliki sebagai mahasiswi Manajemen dan Bisnis tidak akan lebih buruk daripada tugas-tugas mahasiswa Kedokteran seperti Rean dan Shadira. Kalau Rena ada di posisi mereka, sudah bisa dipastikan ia akan menangis dan merengek minta berhenti kuliah dengan ayah dan bunda. Because bruh, being medical student is not easy. At all. Harus punya mental baja dan tentunya tahan banting. Sementara Rena tidak bermental baja dan tidak pula tahan banting. "Udahan dulu deh, Shadi." Rean akhirnya menjauhkan tangan dari keyboard laptop dan menguap. Wajahnya sendu dan nampak kelelahan. "Aku nggak kuat lagi. Capek." Shadira yang awalnya masih ingin melanjutkan, tak lama kemudian ikut menyerah karena melihat sang kekasih yang telah membaringkan tubuh di atas karpet. Dijauhkannya sedikit laptop yang ada di atas meja guna memberi ruang kosong untuk meletakkan kedua lengannya yang terlipat. Setelah itu, Shadira membenamkan wajah di lipatan lengannya. Perempuan itu terlihat sama lelahnya dengan Rean. Rena prihatin melihat mereka berdua. Namun di satu sisi, Rena juga iri. Selelah-lelahnya mereka karena mengerjakan tugas, pasti rasanya jauh lebih menyenangkan karena mengerjakan bersama dengan kekasih. Hah, Rean dan Shadira memang beruntung. Mereka adalah pasangan kekasih sejak SMA yang langka karena keduanya mampu memasuki universitas yang sama dengan fakultas, jurusan, dan kelas yang sama pula. Jurusan yang diambil pun bukanlah jurusan sembarangan yang mudah untuk dimasuki. Kedokteran. Itu merupakan sebuah pembuktian kalau dua-duanya sama-sama pintar. Masa depan sama-sama terjamin cerah dan menjadi kebanggaan orangtua. Bonus tambahannya, mereka jadi bisa bertemu setiap hari meskipun kegiatan perkuliahan mereka padat dan selalu dipenuhi tugas-tugas yang bisa bikin otak berasap dan badan serasa mau patah. "Tugas kalian masih lama ya selesainya?" Rena iseng bertanya, padahal sudah tahu jawabannya. Rean yang sudah berbaring dengan mata terpejam hanya mendengus. Shadira lah yang mengangkat kepala dan merespon pertanyaan Rena. "Sebentar lagi selesai kok." Rena mengangguk mengerti. Lalu, pandangnya jatuh pada piring camilan serta gelas-gelas kosong yang ada di atas meja. "Kalian laper nggak?" Rena kembali bertanya. "Laper," jawab Shadira sambil memegangi perut. "Banget." Rean menambahkan. "Ya, makan dong kalau laper." Mata Rean terbuka, langsung menatap tajam pada Rena yang masih berbaring di atas sofa dengan posisi bak seorang putri raja sedang bersantai di pantai. "Nggak usah bikin gue jengkel," desis Rean kesal. Harus diakui, Rean terlihat seram meski Rena sama sekali tidak takut melihatnya. "Gue ngomong bener loh, kan kalau laper ya solusinya makan," sahut Rena santai. Rean memutar bola mata jengah. "Pertanyaan lo tadi kesannya PHP, Ren," ujar Shadira yang kini bersandar pada love seat di belakangnya. "Gue pikir lo mau ambilin makanan, masakin kita, atau delivery gitu." Rena terkekeh. "Gue aja mager." "Entar kalau kiamat lo juga mager aja, biar mati duluan." "Gentum!" Shadira refleks langsung memukul lengan Rean hingga laki-laki itu mengaduh kesakitan. "Ngomong suka kasar banget sih," omel Shadira. "Maaf, Shadi." Rean merengek. Persis seperti Rion yang berusia tiga tahun kala dimarahi oleh bunda. Omong-omong tentang bocah menggemaskan itu, dia lagi ikut ayah dan bunda kondangan. "Aku kan sebel sama dia. Udah tau orang capek malah digituin." "Ye, manja amat lo," ejek Rena seraya mengernyit jijik melihat Rean yang telah kembali duduk dan kini bersandar manja pada bahu Shadira. "Najisin." "Bilang aja sih lo iri, soalnya udah lama kan nggak ada yang bisa dimanjain," balas Rean, langsung mengena telak di hati Rena yang sedang nelangsa karena rindu kekasih tercinta. Rean babi. Wajah Rena sudah berubah masam. Kesal, ia mengalihkan pandangan dari pasangan itu dan tidak menggubris ejekan Rean tadi sama sekali. "Tuh kan, Rena jadi ngambek." Didengarnya Shadira berujar, tapi Rena tetap tidak menoleh dan memilih untuk meraih ponselnya yang sejak tadi tak disentuh di atas meja. "Biarin aja, paling bentar lagi nengok. Nyembuhin kamu yang lagi ngambek lebih susah, tau?" "Ih, enggak ya! Seringan kamu kali yang ngambek nggak jelas." "Aku jelas kok, ngambeknya karena kamu ada salah." "Jelas apaan? Kamu aja pernah ngambek sama aku cuma karena ada kating yang ngambilin buku aku yang jatoh." "Kating itu tuh modus, Shadi. Aku ini cowok jadi aku bisa melihat binar di matanya yang menunjukkan kalau dia naksir kamu." "Hak dia kali mau naksir siapa. Yang penting kan, aku nggak naksir balik. Dasar kamunya aja yang lebay. Cuma masalah itu doang, ngambeknya berhari-hari." "Ya gimana dong. Aku kan takut kamu terpesona sama tuh kating yang katanya primadona FK. Padahal nih, gantengan aku kemana-mana." "Dih, gimana mau berpaling coba kalau aku dicekokin muka kamu setiap hari? Lagian ya, kating itu bukan tipe aku. Dia terlalu kurus." "Nggak peluk-able kayak aku ya?" "Aku nggak bilang gitu." "Tapi intinya gitu kan? Hu, ngaku aja, Shadi. Kamu kan suka dipeluk sama aku." "Enggak ah, biasa aja." "Ngomong sana sama tembok." Rena hanya bisa diam dan memaki dalam hati mendengar percakapan yang terjadi antara Rean dan Shadira. Memang percakapan itu hanyalah percakapan kasual yang biasa terjadi di antara keduanya. Tetapi percakapan itu membuat Rena tertohok dan menyadari kalau dirinya rindu Gio dan apa yang dikatakan saudara kembarnya tadi benar, Rena iri melihat interaksi antara Rean dan Shadira. Pelan napas Rena terhela kala ia kembali memeriksa ponsel dan mendapati belum ada satupun kabar dari Gio. Hanya ada notifikasi dari sosial medianya yang menumpuk. Rena pun memilih untuk melihat akun ** miliknya yang tidak henti menerima notifikasi. Mulai dari notifikasi orang-orang yang mengikuti, foto yang disukai, sampai foto yang dikomentari. Notifikasi-notifikasi yang masuk itu pun hanya dibaca olehnya sekilas seraya ibu jarinya menggeser layar ke atas pelan-pelan. Sampai pada akhirnya, sebuah komentar pada fotonya bersama Gio yang di-upload sekitar dua minggu lalu saat mereka terakhir bertemu. Satu komentar itu membuat Rena tertegun sejenak sebelum dibuat jengkel. Komentar dari sebuah fake account itu kurang lebih berisi seperti ini : Kenapa sekarang udah jarang upload foto sama Gio? Jarang ngevlog bareng? Putus? Hahaha pasti karena beda kampus banyak cobaannya ya? Lol. Susah payah Rena menahan diri supaya tidak tergoda untuk membalas komentar dari orang yang tidak dikenalnya itu. Ingin membalas dengan huruf-huruf besar yang menyatakan bahwa hubungan Rena dan Gio baik-baik saja, walau Gio akhir-akhir ini memang sedang sibuk. Kadang Rena heran, kenapa sih banyak orang-orang yang sering sok tahu tentang kehidupannya? Rena begini, dibilang begitu. Rena aneh sedikit saja, langsung dikomentari yang seolah menghakimi. Padahal Rena kan manusia, bukan seorang dewi yang sempurna. Dan juga, bukan hanya sekali komentar sejenis itu Rena dapatkan. Melainkan sudah teramat sering. Terlebih lagi komentar orang-orang yang mengharapkan Rena dan Gio putus. Padahal, mereka tahu apa sih? Kenal juga cuma sebatas lewat sosial media. Yang menjalani hubungan ini juga Rena dan Gio, bukan mereka. Sumpah ya, Rena kesal. Liat aja nanti, Rena akan membuktikan bahwa hubungannya dan Gio baik-baik saja. Mereka yang sudah berpacaran selama lima tahun, tidak akan goyah hanya karena komentar-komentar sepele seperti itu. Rena juga terlalu sayang dengan Gio. Dan Rena tidak ingin hubungan mereka berakhir hanya karena masalah mereka berbeda universitas, seperti alasan kenapa kebanyakan teman-teman SMA-nya putus cinta. Bahkan selama ini Rena juga bersabar menghadapi kesibukan Gio dan menahan diri untuk tidak menimbulkan pertengkaran karena pasal kesibukan tersebut. Singkat kata, Rena yang dulunya gampang merajuk, kini telah bertransformasi menjadi pacar yang super pengertian. Jadi, mereka-mereka yang sok tahu itu mending diam saja karena tidak tahu perjuangan apa yang telah Rena lakukan demi mempertahankan hubungannya dan Gio tercinta. Baru jadi Selebgram aja udah bikin pusing. Pikir Rena. Apalagi kalau jadi seleb betulan. Untung saja Rena selalu menolak tawaran untuk main sinetron atau layar lebar yang pernah diajukan padanya. Kehidupan Rena cukup dalam batas dunia modelling saja. Biar nggak semakin repot sama komentar para netizen. "Ren," Rena yang kepalanya masih mendidih tidak menggubris Rean yang tiba-tiba memanggil. "Rena," panggil Rean lagi, kali ini ditambah dengan menyenggol kaki Rena yang selonjoran dengan kakinya sendiri. Rena masih tidak menggubris. "Woy, b***k!" Barulah Rena melirik, ditambah dengan decakan. "Apaan, Setan?" "Buka pintu tuh ada yang dateng," perintah Rean dengan lagak seorang bos yang sedang memerintah bawahan. Tentunya, Rena ogah. "Buka aja sendiri," sahutnya kesal, diiringi dengan suara bel rumah yang kembali ditekan. "Gue lagi nugas, Ren. Nggak pengertian banget sih." "Bodo amat." Shadira yang juga ada di ruangan itu gerah juga mendengar perdebatan pasangan kembar tersebut. "Yaudah, gue aja yang buka," ujarnya kemudian sebagai jalan keluar. Namun, belum sempat Shadira menggerakkan badan sedikit saja, Rean menahannya. "Jangan, Shadi, kita kan lagi capek. Biarin Rena aja yang gerak." "Gak." Rena bersikeras. "Lo nggak mau gerak entar gue santet jadi ikan pari." "Impossibru." "Ren, buruan." "Lo sama Shadira tuh nggak boleh dibiarin berdua, Yan. Bahaya. Entar ada setannya, terus lo khilaf." "Astaghfirullah, Rena. Aku tidaklah senista itu." "Bullshit." "Rena, nurut sama Abang." Rena kembali berdecak, mendelik pada Rean yang kini tersenyum menjijikkan. Meski hati dongkol, Rena lantas berdiri. "Taik," umpatnya pada Rean terang-terangan sebelum melangkah menuju pintu depan dengan langkah yang nyaris terseok-seok karena malas melanda. Rena menggerutu pelan mendengar bel rumah yang tidak henti-hentinya dinyalakan oleh siapapun itu yang ada di depan pintu. "Nggak sabaran banget sih," gerutunya kesal. Ia menggaruk kepala sebentar sebelum membuka pintu depan rumahnya lebar-lebar hanya untuk mendapati Ben berdiri di sana dengan penampilan rapinya yang kasual. Kening Rena berkerut melihat kehadiran laki-laki itu. Dari atas sampai bawah ia perhatikan Ben. Dan kerutan di keningnya semakin dalam kala melihat sebuket mawar biru di tangannya serta sebuah kantung kertas dengan logo resto siap saji terkenal. Tanda tanya besar muncul di dalam kepala Rena. Mempertanyakan apa maksud dan tujuan Ben datang ke rumahnya saat ini. "Cari siapa?" Tanya Rena setelah melihat wajah Ben yang dihiasi ekspresi yang menurut Rena menyebalkan karena terlalu tengil. "Saya cari Mbak Renatta Aurum, mau ngasih titipan ini," kata Ben dengan nada sopan, persis seperti seorang kurir JNE. Ia menyodorkan buket bunga dan kantung kertas di kedua tangannya pada Rena. "Hah?" Otomatis Rena mengambil langkah mundur. Ben berdecak. "Ogeb," gumamnya pelan. "Titipan Gio nih. Jangan kagak seneng lo." "Titipan Gio?" Tanya Rena. "Lo abis ketemu Gio?" "Jangan banyak tanya, terima aja," ujar Ben cepat seraya memindahkan bawaan di tangannya ke tangan Rena. "Demi apa lo, ini dari Gio?" "Nggak percaya banget sama gue ya?" Balas Ben jengah. "Lagian buat apa juga gue bohong? Tadi gue ke kampusnya Gio, ada urusan, nggak sengaja ketemu dia. Terus dia titip tuh bunga yang katanya udah dari semalem dia beli buat lo. Kalau masalah makanan itu sih gue yang beli karena Gio nitip. Tapi tenang aja, Gio yang bayarin kok, kalau-kalau lo takut makan duit gue." Mata Rena mengerjap, masih bingung dengan dua benda yang kini ada di tangannya, dan masih mencerna penjelasan Ben barusan. "Kata Gio, ponselnya mati jadi nggak bisa ngasih kabar dan nggak sempet nge-charge juga. Katanya lagi, kalau entar malem ada waktu, dia bakalan ke sini buat nemuin lo," jelas Ben lagi. Barulah sebuah senyum kecil terbit di bibir Rena dan ada perasaan senang yang menyusup di dalam d**a. Senyum itu pun semakin lebar ketika mata Rena melihat sebuah kartu yang terselip di barisan bunga mawar bermahkota warna biru di tangannya. Terdapat tulisan tangan Gio terukir di kartu tersebut, membuat hati Rena berdesir hangat. Rasa dongkol dan kesal yang sebelumnya ia rasakan, hilang begitu saja. Hanya karena apa yang Gio berikan untuknya. Simpel sih, hanya sebuket bunga yang sebenarnya sudah sering Rena dapat, baik dari Gio maupun dari online shop yang memakai jasa endorsement-nya, serta kantung plastik yang berisi makanan favorit Rena. Meskipun Gio tidak memberikannya secara langsung dan hanya dititipkan lewat Ben, Rena tetap merasa senang. "Thanks ya," kata Rena pada Ben setelah selesai mengagumi bunga di tangannya. "Masuk dulu, di dalem ada Rean sama Shadira." Di depan Rena, Ben hanya mendengus pelan. "Nggak usah," tolaknya. "Gue cuma niat jadi kurir doang, nggak niat mampir." "Oh, yaudah kalau gitu." Rena kembali mengangkat kepala, membuat pandangannya dan pandangan Ben bertemu jadi satu. "Seneng nggak lo?" Tak disangka, Ben menanyakan itu. Tanpa memutuskan eye contact, jujur Rena menjawab, "Banget." "Good," gumam Ben pelan. "Gue cabut kalau gitu." "Oke. Makasih." Ben mengangguk singkat, lalu berbalik dan berjalan meninggalkan teras rumah. Belum sampai Ben hilang dari pandangan, Rena sudah terlebih dahulu menutup pintu dan tersenyum lebar. Hatinya girang dan ia menciumi mawar-mawar dari Gio dan seketika lupa akan kehadiran Ben. Di luar, Ben sudah berjalan mendekati pagar rumah Rena. Samar kepalanya menggeleng karena teringat dengan senyum Rena yang terbit begitu saja hanya karena benda-benda titipan dari Gio. Semudah itu Rena tersenyum, meski kehadiran Gio hanya disalurkan lewat benda mati. Well, no wonder. She loves him that much and being loved by him the same way. They're so lucky and happy, while Ben is only the witness of their happiness. "Such a fool." Ben mengejek diri sendiri. Miris.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN