"Halo, Mbak!"
Helaan napas terdengar dari mulut Sedayu. Anak ini setiap sore datang ke rumahnya. Sejak kedatangannya bersama sang papa pada malam itu. Ini sudah hari keenam. Ia tidak akan lelah menemui Sedayu hingga gadis itu mau menerima lamaran papanya. Ia tidak keberatan memiliki ibu sambung yang usianya tidak beda jauh. Biar kayak artis-artis katanya.
"Ini ada kolak pisang. Buatan papa, lho, Mbak. Dijamin makyus."
"Pakai jampi-jampi enggak?"
"Ih, suuzan. Papaku pejuang tangguh, bukan pengecut yang menggunakan cara instan seperti itu."
Sedayu menarik rantang di tangan Bintang, lalu makan kolak kiriman tersebut. Entah apa yang tersimpan dalam benaknya. Pesan-pesan Gilang selalu dibaca dengan senyum semringah, tetapi tidak dibalas. Enam hari sejak Gilang berkunjung ke rumah, mereka belum bertemu lagi. Rentetan pertanyaan dari Bintang dan Pak Sandi belum juga ditanggapi. Tiap kali Bintang membawa sesuatu pasti diterima. Meski menampakkan wajah tidak bersahabat.
"Mbak gitu, deh. Malu-malu, tapi mau. Sebenarnya apa yang membuat Mbak tarik ulur gini? Kasihan lho, papa udah bangkotan."
"Udah tahu tua, masih aja pengin nikah."
"Lah, papamu sendiri juga pengin nikah. Masa papaku enggak boleh."
"Kata siapa?"
Bintang menutup mulut. Kemudian berlari keluar. Tidak ingin diinterogasi calon mama sambungnya.
"Mbak, aku pulang. Besok datang lagi. Pokoknya aku datang terus sampai Mbak jadi mamaku."
Gadis itu menggaruk pelipis. Kemudian memandang kolak yang tersisa separuh. Hatinya kini telah terpaut pada Gilang, tetapi masih ada yang mengganjal. Ia belum bisa menerima karena kepalanya botak. Besok Gilang mengajaknya jalan-jalan. Tempatnya terserah Sedayu. Keraguan menyelimuti hati dan pikirannya. Sampai detik ini ia belum memutuskan, harus menerima ajakan itu atau tidak. Terima berarti ia harus membiasakan diri melihat si kepala botak.
Gadis berparas memesona itu memukul-mukul keningnya. Berharap dengan pukulan itu ia bisa menetapkan pilihan yang tidak meragukan lagi.
"Mbak Dayu pusing?"
Ia mendongak, melihat Hana berdiri di samping meja. Tangannya memegang sapu. Sepertinya baru selesai menyapu di kamar papa, pikir Sedayu.
"Aku pusing mikirin lamaran Om Gilang."
Seketika derai tawa Hana membahana saat mendengar Sedayu menyebut Om Gilang. Tidak bisa dibayangkan kalau setelah menikah panggilan Om tetap digaungkan. Bukankah kebiasaan itu sulit diubah.
"Kalau menikah, Mbak Dayu tetap memanggilnya om? Lucu banget, sih. Lagian, itu om-om kenapa bisa naksir sama anak ingusan, ya?"
"Enak aja aku dikatai anak ingusan. Kamu tuh yang ingusan."
Sedayu melemparkan buntalan tisu ke arah Hana. Ia kesal melihat remaja itu terus tertawa. Bukannya memberi solusi, malah dianggap lelucon. Namun, tawa Hana sepertinya menular. Diam-diam Sedayu ikut tertawa meski tanpa suara.
Ketukan pintu menghentikan tawa Hana. Ia bergegas ke ruang depan, membuka pintu untuk tamu yang entah siapa.
"Nyari siapa, Mas?"
"Sedayu. Ada?" Hana memperhatikan tamu tersebut dari atas sampai bawah. Selama dua minggu tinggal di rumah ini, ia belum pernah melihat teman-teman Sedayu.
"Mbak Dayu, ada cowok ganteng nyari!"
Kernyitan di dahi Sedayu terukir jelas saat mendengar teriakan Hana. Cowok ganteng siapa yang datang sore-sore begini. Ia berdiri dan melangkah ke depan. Senyuman manis tersungging saat melihat Iyan berdiri sok ganteng di ambang pintu.
"Masuk, Yan. Mau ke rumah Ari, ya? Mereka pindah ke Brebes."
"Aku sudah tahu, kok. Ari sendiri yang cerita di grup. Dia pengin minta maaf, tapi nomormu enggak aktif."
Andai waktu bisa diputar, Sedayu akan menemui keluarga Ari dan melarang mereka pindah. Kesalahan sahabatnya malam itu hanya bentuk sebuah kekhilafan sebagai manusia. Tidak ada yang sempurna, pikir Sedayu muram. Ia telah kehilangan sahabat. Fitrah manusia itu saling memaafkan dan Sedayu memilikinya. Memaafkan kesalahan yang diperbuat Ari bahkan sebelum diminta.
"Aku enggak benci atau marah sama Ari. Dia sahabat aku. Dia yang menjaga aku selama ini."
Perih menusuk hati kala ucapan itu terlontar. Tetesan air mata mengalir tak dapat ditahan. Sungguh nestapa, ribuan kebersamaan mereka yang ceria harus berakhir dengan rentetan air mata kehancuran.
"Kamu memang gadis unik, Cantik. Ingat, si ganteng ini belum menyerah mendapatkanmu. Di mana papamu, Bidadari?"
"Belum pulang."
"Ya, sayang sekali. Padahal ingin kulamar dirimu menjadikan kau ratu dalam istanaku."
Sedayu menggeleng dan tertawa. Ia menganggap itu hanya gombalan receh Iyan yang tidak perlu ditanggapi. Iyan juga tidak perlu tahu tentang lamaran Gilang. Toh, ia tidak punya kewajiban mengetahuinya. Lagi pula, lamaran itu belum diterima.
Berbeda dengan Hana yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka. Ia tidak suka Sedayu tertawa ceria dengan laki-laki yang menurutnya ganteng itu. Entah, ia pun tidak mengerti kenapa tidak suka melihat kebersamaan mereka. Sebuah ide terlintas. Ia mengambil ponsel Sedayu yang diletakkan di atas meja makan. Diam-diam ia mengambil gambar dari jarak jauh, lalu dikirimkan ke nomor Gilang.
Om cepatan ke sini. Ada laki-laki ngerayu calon istri Om.
Di tempat yang berbeda, Gilang sedang pusing dengan kelakuan mertuanya. Perempuan berusia lanjut itu mendatangi warung, lalu memarahi karyawan-karyawan perempuan.
"Koen sengaja nganggo androk pendek nggo narik perhatiane mantune enyong, oiya?" Sang karyawan yang sudah memahami sifat ibu mertua itu hanya menunduk dalam diam. Toh, bukan ia sendiri yang kena omel. Beberapa karyawan juga disemprot dengan tuduhan yang sama. Bagi mereka, perempuan itu sudah gila. Entah sampai kapan ia mengukung Gilang agar tetap setia pada sang istri yang telah lama meninggal.
"Ma, mereka enggak tahu apa-apa. Gilang antar pulang, ya?"
Seburuk apa pun perilaku mertua, ia tidak ingin bersikap kasar. Perempuan ini yang telah melahirkan dan menjaga mamanya Bintang. Kemudian berlanjut merawat cucunya kala sang anak dipanggil Sang Penguasa Hidup. Lagi pula, mertua tetap mertua meski perpisahan telah terjadi antara suami dan istri.
"Kowe ora seneng nek enyong ana neng kene? Ben kowe bisa bebas mesra-mesraan karo karyawan menjeng kae? Awas bae nek kowe wani mbojo maning!"
Gilang menarik napas. Ini yang ditakutkan Bintang. Neneknya tidak pernah mengizinkan Gilang menikah lagi. Bagi perempuan tua itu, anaknya tidak mati. Ia tidak akan mengizinkan perempuan lain masuk ke rumah yang dulu ditempati anaknya. Sebuah kesalahan yang pernah dilakukan Gilang semasa istrinya masih hidup, membuat laki-laki itu tak berkutik. Semua titah sang mertua dijadikan sebagai kewajiban yang harus dituruti.
Bunyi bip di ponsel mengalihkan perhatiannya. Ia terbelalak saat melihat pesan dari kontak Sedayu.
Laki-laki itu memandang sang mertua yang masih mengomel karyawan. Ia menggeleng, lalu melangkah pergi tanpa pamit. Selama ini ia menuruti mertuanya. Setelah bertemu Sedayu, mungkin titah sang mertua tidak lagi diindahkan. Apalagi melihat foto yang dikirim Hana. Tidak. Ia tidak akan membiarkan gadisnya dimiliki laki-laki lain.
Motor dipacu dengan kecepatan tinggi. Hanya berselang beberapa menit, ia telah tiba di depan rumah Sedayu. Urat-urat di leher dan dahi terlihat menonjol ketika ia mendengar suara tawa Sedayu bersama seorang lelaki muda. Ia membuka pintu kasar tanpa mengucapkan salam. Tatapan tajamnya membuat Sedayu terkesiap.
"Siapa dia?" tanyanya pada Sedayu yang sudah memejamkan mata. Tidak ingin melihat kepala Gilang yang licin.
"Anda siapa? Datang-datang ngamuk di rumah orang."
"Diam kamu!" Iyan tidak terima dibentak. Ia hendak berdiri, menantang Gilang. Namun, Sedayu menahannya.
"Iyan, kamu pulang, deh!"
"Enggak. Kamu harus bilang siapa nih orang. Kenapa kamu nutup mata kayak gitu?"
"Om ini calon suaminya Mbak Dayu, Mas. Mas tahu? Si Ari sampai pingsan itu dipukul sama Om Gilang. Mas mau dipukul juga?"
Hana mengambil kesempatan. Tidak ingin disia-siakan. Kalau anak majikannya marah, itu urusan nanti.
"Calon suami?" Iyan tergelak. Tidak heran sih pernikahan beda usia jauh. Ia tidak mentertawakan perbedaan usia mereka, melainkan nasibnya sendiri. Kenapa setelah terbebas dari Ari, ia malah memiliki saingan seperti ini.
"Dayu, benarkah dia calon suamimu? Kalau iya, aku enggak akan ganggu kamu lagi. Seburuk-buruknya aku, enggak pernah berniat menikung perempuan yang sudah dilamar.
Ya, itu yang diajarkan neneknya. Ketika ia melihat Sedayu mengangguk, ia tersenyum pias. Lalu, melangkah pergi membawa sebongkah luka karena cinta yang tak bisa dimiliki.
Sementara Gilang tersenyum miring. Sedayu mengakui ia sebagai calon suami. Itu artinya, perempuan ini tidak akan bisa dilepaskan lagi.
Ia mendekat, duduk di samping Sedayu. Kemudian membawa tangan gadis itu ke kepalanya. Ia tertawa saat merasakan Sedayu gemetaran.
"Botak ini bisa jadi adegan romantis kita yang antimainstream, lho."
Sedayu semakin gemetar. Ingin melepaskan diri, tetapi genggaman tangan Gilang semakin erat.
"Jangan ngompol lagi, Dayu."
Note:
Koen sengaja nganggo androk pendek nggo narik perhatiane mantune enyong, oiya?》 Kamu sengaja pakai rok pendek untuk menarik perhatian menantuku, ya
Kowe ora seneng nek enyong ana neng kene? Ben kowe bisa bebas mesra-mesraan karo karyawan menjeng kae? Awas bae nek kowe wani mbojo maning 》Kamu nggak senang saya ada di sini? Biar kamu bebas bermesraan dengan karyawan-karyawan centil itu? Awas saja kalau kamu berani nikah lagi!