Propose

1090 Kata
Seminggu telah berlalu, Sedayu masih mengurung diri. Ditemani seorang ART yang baru disewa papanya. Pintu rumah pun jarang dibuka. Keluarga Ari entah ke mana. Sejak keluar dari rumah sakit, rumah mereka selalu gelap. "Kata Bu Sani, mereka ke Brebes. Tinggal di rumah neneknya di sana. Nggak tahan setiap hari dihujat orang-orang." Begitu jawaban Hana, gadis 16 tahun yang jadi ART. Saat ditanya kenapa mau jadi pembantu, jawaban Hana membuat Sedayu menyesal karena selamanya ini tidak pandai bersyukur. "Papaku pemabuk. Hobinya main judi. Suka main tangan. Sekarang Ibu sakit-sakitan. Masih ada tiga adik kecil yang harus dirawat. Kalau aku enggak kerja, kami mau makan apa. Adik-adikku enggak bisa sekolah. Ya, enggak mimpi sekolah tinggi yang penting enggak bodoh-bodoh amatlah jadi manusia." Air mata Sedayu menetes. Lirih ia mengucapkan rasa syukur. Kehidupannya jauh lebih baik. Meski sibuk kerja, papanya masih perhatian. Ia tidak kekurangan uang jajan. Memiliki tetangga yang merawatnya dari bayi. Memiliki sahabat yang selalu menemaninya. Walau kini persahabatan itu tergores oleh nafsu angkara murka. "Mbak Dayu kenapa enggak kerja? Kan, sudah sarjana. Gampang to nyari kerjaannya? Apa keasyikan buat donat?" "Aku masih ngumpulin modal buat usaha sendiri." Rencananya ia akan membangun toko roti. Itu mimpinya sejak lama. Ia ingin menggaji bukan digaji. Uang pemberian papanya dan hasil jualan donat sudah lumayan. Saat ini masih mencari lokasi yang strategis. Kedua gadis itu masih asyik berbagi cerita. Obrolan mereka terhenti ketika terdengar suara salam. Itu suara Pak Sandi. Sedayu milirik jam di ponsel. Baru pukul lima sore. "Tumben udah pulang?" Papanya tersenyum sembari meletakkan tas di meja, lalu duduk di samping Sedayu. Hana hendak berdiri, tetapi Pak Sandi memberi isyarat agar ia tetap duduk. "Nanti malam ada tamu. Kalian berdua mau masak atau papa beli makanan jadi?" "Tamu dari mana, Pa. Calon mama baruku?" "Papa sudah tua, Dayu." "Tua dari mana? Papa baru 52. Tuh, suaminya Maya Estianti udah 58." "Gimana kalau kamu aja yang nikah? Kemarin suka chatting itu sudah klop?" Sedayu mencibir. Ponsel pemberian orang itu masih tersimpan dalam lemari. Tidak sekali pun ia aktifkan lagi. "Dayu udah ketemu sama anak remaja itu, Pa. Ponsel itu pemberian papanya. Mana mungkin Dayu berhubungan sama suami orang." "Kalau dia duda gimana?" Sedayu terdiam. Bibir terbuka hendak bicara, tetapi tidak ada kata yang terucap. Pak Sandi masih memandangnya. Gadis itu salah tingkah. Ia juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba tidak menanggapi pernyataan tersebut. Tak ingin diinterogasi lagi, ia pun berdiri. "Hana, ayo kita masak." Tangannya cekatan meracik bumbu, pikirannya pun tak kalah sibuk. Memikirkan pernyataan papanya tentang status duda sang pangeran bisu. Benarkah? Gemuruh di d**a bertalu tiba-tiba. Sampai detik ini ia masih berharap kalau pangeran bisu itu bukan suami orang. Desiran menyenangkan menyembul di d**a. Menciptakan senyuman manis tercetak di bibir Sedayu. Bahagia sekali kalau si pangeran bukan milik siapa-siapa. Namun, senyumannya perlahan meredup saat mengingat laki-laki kepala botak yang melamarnya minggu lalu. Mungkinkah orang itu sama dengan si pangeran bisu? Rasanya tidak mungkin. Si kepala botak sangat irit berbicara. Sementara pangeran bisu suka sekali menggombal meski hanya berupa pesan di w******p. Pukul tujuh malam Sedayu masuk ke kamar. Ia berdiri di depan lemari, menimbang-nimbang antara membuka kembali ponsel pemberian pangeran bisu atau tidak. Lemari telah dibuka. Tangannya terulur, hendak mengambil ponsel itu. Namun, ia dipanggil sang papa yang memintanya keluar. Tamu papanya sudah tiba. Lemari ditutup kembali. "Hai, Mbak!" Langkah Sedayu terhenti. Gadis itu terpaku di tempatnya berpijak. Pernyataan papanya tentang duda bukan sekadar ucapan kosong. Ia yakin, papanya sudah menyelidiki sang pangeran. Sedayu menggaruk kepala. Bagaimana bisa papa tahu tentang papa anak remaja ini? Ia tidak pernah cerita. Di meja makan, hanya ada Pak Sandi dan anak remaja itu. Papa Bintang tidak ada. Apa mungkin papanya adalah si kepala botak. Sedayu menggeleng, mengenyahkan kemungkinan-kemungkinan yang muncul di pikirannya. "Hai!" Suara bariton dari belakang membuat Sedayu terperanjat. Ia membalikkan badan dan mendapati d**a bidang seseorang yang berdiri dari jarak dekat. Tingginya hanya sebatas d**a memaksa Sedayu mendongak agar bisa melihat wajah orang tersebut. Mata gadis itu terbedur saat melihat si kepala botak. Bibirnya gemetaran. Ia melangkah mundur sembari menggeleng-gelengkan kepala, tidak bisa menerima kenyataan kalau pangeran bisu adalah si kepala botak. Ia berlari ke kamar. Tidak peduli teriakan papanya. Pak Sandi hendak berdiri, tetapi Gilang mencegah. "Saya minta izin ke kamarnya, Pak Dokter." Pak Sandi mengangguk. "Jangan tutup pintu." Gilang mengangguk hormat, lalu berjalan masuk ke kamar Sedayu. Ia tersenyum melihat gadis itu menelungkup di ranjang, menyembunyikan wajahnya di bantal. Laki-laki itu tidak menyangka mendapat telepon dari Pak Sandi dan memintanya datang. Mungkin selama seminggu ini Pak Sandi menyelidikinya. Kelegaan memenuhi ruang hatinya kala mendapat lampu hijau dari calon mertua. Kalau sekarang Sedayu belum bisa menerima, itu sesuatu yang lumrah. Ia gadis muda, mungkin selama ini membayangkan laki-laki seumurannya sebagai pendamping hidup. Tidak heran kalau gadis itu terkejut mendapati seorang duda berusia 40 tahun. Ia menarik napas, lalu melangkah ke arah ranjang. Tanpa suara ia duduk di samping Sedayu yang masih menyembunyikan wajahnya di bantal. "Aku enggak mau dekat-dekat orang botak, Pa," kata Sedayu tanpa menoleh. Ia pikir yang duduk di sampingnya itu Pak Sandi. "Kamu fobia?" Sedayu mencengkeram erat-erat bantal yang menyangga kepalanya. Wajahnya semakin dibenamkan. "Lihat aku!" pinta Gilang. "Enggak mau. Keluar!" "Tidak akan sebelum memenuhi permintaanmu di chat waktu itu." Sedayu membelalak. Deretan ingatan tentang percakapan di w******p kala itu terngiang kembali. Duhai calon istriku, apa hal pertama yang kamu lakukan saat kita bertemu? Meninju perutmu Oh, manis sekali. Lalu aku harus berbuat apa? Membelai rambutku Sedayu menahan napas saat merasakan belaian lembut di rambutnya. Ia memejamkan mata dan kembali mengingat deretan pesan kala itu. Apa lagi? Menangkup kedua pipiku. Sedayu tak berdaya saat tubuhnya didudukkan. Tubuh gadis itu kaku seketika saat tangan kekar menangkup kedua pipinya. Ia tidak berani membuka mata. Embusan napas Gilang terasa semakin dekat. Kamu mau aku cium? Saat itu Sedayu tidak membalas iya atau tidak. Ia hanya mengirim stiker menutup wajah. Sama seperti keadaannya sekarang, tidak berani membuka mata. Bibirnya digigit kencang. Perih. Namun, ia tetap menggigitnya. Gilang memandang lekat-lekat wajah imut Sedayu. Melihat gadis itu menggigit bibir, ia tergoda mengisengi. Ia menggerakkan ibu jari, mengusap bibir Sedayu. Tawanya hampir meledak saat melihat Sedayu semakin berkeringat dan gemetaran. Ia melirik ke tangan gadis itu. Kepalan tangannya mengencang. "Belum berakhir. Kamu lucu," ujar Gilang sembari menggenggam tangan Sedayu. Wajahnya semakin dekat. Tidak ada jarak di antara keduanya. Bahkan hidungnya sudah menempel di pipi Sedayu. Ketika hendak menempelkan bibirnya di bibir Sedayu, ia mencium bau khas yang sangat familiar. Ia menjauhkan wajah dan melihat ke bawah. Celana baby doll yang dikenakan Sedayu sudah basah. Tawa yang ditahan sejak tadi akhirnya pecah dan suaranya menggema dalam ruangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN