Positif+

1191 Kata
[Aku minta izin pulang ke rumah Papa. Tolong jangan temui aku sampai kamu percaya kalau aku enggak sekejam itu. Aku enggak pernah membenci neneknya Bintang. Dia yang berusaha menghasut agar kalian membenciku.] Pesan Sedayu pada Gilang 27 hari yang lalu. Selama itu, tidak sehari pun Gilang datang atau meneleponnya. Padahal ia sangat berharap kalau suaminya datang dan meminta maaf. Sekarang ia meyakini bahwa kepercayaan yang diharapkan tidak mungkin lagi didapat. Gilang lebih memercayai mertua. Pedih menusuk hati. Air mata selalu setia menemani. Pernikahan yang didambakan bahagia, justru kandas pada usia yang hanya terhitung hari. Ia lebih suka mengurung diri di kamar. Kedatangan Ari tidak pernah digubris. Baginya, ia masih istri Gilang. Sebagai istri, ia harus menjaga pergaulan dengan laki-laki. Apalagi laki-laki yang pernah menjadi penghuni hatinya selama bertahun-tahun. Sore itu, ia sangat ingin makan mangga muda. Bergegas ia keluar dari kamar. Namun, langkahnya terhenti di ambang pintu. Kepalanya mendadak pusing. Tanah tempatnya berpijak terasa berputar-putar. Ia memegang kepala dan berteriak memanggil Hana. Saat Hana menghampiri, Sedayu telah jatuh terduduk dan tidak sadarkan diri. Remaja itu bingung. Tidak ada orang di rumah. Pak Sandi sudah satu minggu tidak pulang ke rumah. Indonesia sedang dilanda pandemi. Tenaga medis seperti Pak Sandi lebih banyak berada di rumah sakit. Bahkan ada yang tidak pulang karena takut menularkan virus pada anggota keluarga. Setelah membaringkan Sedayu ke tempat tidur, Hana mengambil ponsel Sedayu dan menelepon Gilang. Tidak peduli nanti dimarahi. Ia harus bertindak untuk membantu mendamaikan dua manusia yang harusnya hidup bersama. Bukan berpisah seperti saat ini. Ketika Gilang tiba, Sedayu sudah siuman. Namun, perempuan itu masih terbaring lemah. Dengan mata mengatup, ia memanggil Hana. Lirih. Hampir tidak terdengar oleh Gilang yang duduk di sampingnya. "Sayang, kamu butuh apa?" Perlahan Sedayu membuka mata. Ketika melihat wajah suaminya, ia memalingkan wajah. Bukan karena melihat kepala sang suami, tetapi hatinya masih tidak terima. Kenapa hingga 27 hari ia tidak dipedulikan. Gilang menyadari kemarahan istrinya. Ia menunduk, memberikan pelukan, dan mengecup kening Sedayu. "Maafkan aku, Sayang. Aku enggak bermaksud biarin kamu di sini berhari-hari. Dua hari setelah kamu pulang ke sini, aku pulang ke Jakarta. Mama kritis. Baru sepuluh hari aku bertemu, Mama malah dipanggil Tuhan. Aku ..." Gilang menarik napas. Dadanya sesak saat mengingat momen terakhir pertemuannya dengan sang Mama. Mengingat kalau ia sangat jarang pulang ke Jakarta. Laki-laki bertubuh kekar itu tidak sanggup menahan kesedihan. Ia sesenggukan. Sedayu terperanjat mendengar kabar duka tersebut. Betapa egois dirinya yang mengharapkan Gilang datang dan meminta maaf. Bahkan diam-diam ia mengutuk laki-laki itu karena tega mengabaikannya. Namun, ternyata dirinya yang tega. Tidak ada di samping suami ketika duka sedang melanda. "Ya, Allah! Maafin aku, ya. Aku enggak ..." Telunjuk Gilang menempel di bibir Sedayu, meminta berhenti mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya dikatakan. Bukan salah Sedayu karena ia pun tidak sempat mengabari. "Aku yang minta maaf. Aku bahkan tidak memberimu kabar." Sedayu mengendus ketika Gilang kembali memeluknya. Perutnya diaduk-aduk. Bau tubuh Gilang yang semula menjadi candu, kini tercium bagai sesuatu yang menyebalkan. "Kamu bau!" Sedayu mendorong tubuh suaminya menjauh. Tangannya masih menutup hidup. Bau tubuh yang membuat perutnya seperti diaduk-aduk itu seolah melekat. Baunya tidak hilang meski ia sudah menutup hidup dan mulut. "Aku mau muntah." Sedayu hendak turun dan berlari ke toilet, tetapi Gilang mencegahnya. "Muntah sini saja. Enggak usah turun. Nanti aku yang bersihin." Ia hendak menarik selendang di dalam lemari agar muntahan Sedayu tidak mengotori kasur. Namun, gerakannya terlambat. Istrinya sudah memuntah isi perut, mengotori baju Gilang. "Maaf, ya!" ujar Sedayu. Badannya lemas setelah muntah. "Enggak apa-apa, Sayang. Berbaringlah! Aku ambilkan air hangat." Gilang melangkah ke dapur. Saat keluar ia melihat Ari duduk di ruang tengah. Pemuda itu tidak menyapa atau memberikan senyuman persahabatan. Ia bahkan berdiri hendak pulang. Ketika melewati Gilang, ia melempar tatapan permusuhan. Tidak ingin urusan rumah tangganya dicampuri, Gilang melangkah menjauh. Mengabaikan kilatan tajamnya tatapan Ari. "Hana, tolong kasihkan air hangat buat Mbak Dayu, ya. Aku mau membersihkan baju yang kena muntahannya." Ia melangkah setelah mengucapkan kalimat seruan tersebut. Namun, langkahnya kembali terhenti saat mengingat sesuatu. "Apa bulan ini Mbak Dayu sudah haid?" Hana menggeleng. "Kemarin Mbak Dayu ngeluh keram perut. Katanya hari haid udah lewat dua hari. Padahal biasanya enggak telat. Perutnya malah kembung terus." Helaan napas Gilang membuat Hana mengernyit. Meski tidak mengerti apa yang terjadi, ia hanya bisa terdiam. Tidak ingin menanyakan apa yang terjadi. Sementara Gilang sudah melangkah masuk ke toilet. Laki-laki itu memandang cermin di atas wastafel. Bajunya sudah dilepaskan, tetapi belum dicuci. Ia letakkan begitu saja di keranjang. Pikirannya mengembara pada masa lalu. Masa ketika mamanya Bintang merenggang nyawa. Ia masih ingat betapa murkanya sang mertua. Ingatan itu menciptakan kekhawatiran luar biasa. Gemuruh di dadanya semakin bertalu. Tangan kekarnya gemetar. "Om Gilang!" Lamunannya terburai oleh teriakan Hana. Ia tidak menyahut. Tatapannya masih mengarah ke cermin, memandang wajahnya yang mendadak pucat. "Om Gilang dipanggil Mbak Dayu!" "Tunggu sebentar!" Rasanya ia enggan keluar dari toilet. Tidak ingin perang batinnya semakin bergelinjang saat melihat Sedayu terkulai lemas. Ia ambil kemeja di keranjang, lalu mencucinya. Sengaja mengulur waktu agar Sedayu bosan menunggu dan tertidur. Ia tidak ingin perempuan itu melihat wajah pucatnya. Sedayu pasti mengusut apa yang sedang terjadi. Ia tidak ingin mengarang cerita bohong lagi. Beberapa menit berlalu, ia pun keluar. Seperti harapannya, sang istri tertidur pulas. Ia menghela napas sembari menyandarkan kepala ke tembok kamar. Tidak mungkin selamanya ia menghindar. Terpikir satu cara yang harus ia lakukan, berpura-pura gembira jika Sedayu benar-benar positif hamil. Gilang belum pulang hingga malam menjelang. Ketika makan malam, Sedayu kembali muntah-muntah. Tidak bisa makan. Minum air dingin pun rasanya tidak enak. Tubuhnya semakin lemas. Gilang tidak tahan melihatnya. Ia semakin yakin kalau istrinya mengandung. "Ikut aku sebentar, ya!" Sedayu tidak bertanya. Ia terlalu lemas untuk membantah. Ia pasrah ketika tubuhnya digendong masuk ke mobil. "Aku hamil, ya?" tanyanya dengan suara lirih ketika mereka tiba di klinik. Gilang mengusap puncak kepala sang istri sembari menyunggingkan senyuman tipis. Meski pikiran dan hatinya sedang kacau memikirkan nasib Sedayu. Sungguh, ia pun bahagia jika bisa memiliki anak lagi. Namun, ingatannya pada masa istrinya merenggang nyawa semakin suasana hatinya keruh. "Kita akan tahu setelah diperiksa." Sedayu menyandarkan kepala di bahu Gilang saat mereka menunggu giliran dipanggil. "Kamu senang enggak kalau benaran hamil?" Senyuman manis terukir di balik wajahnya yang pucat. Tentu saja ia bahagia jika kebersamaannya dengan Gilang yang hanya hitungan hari membuahkan hasil. Tanpa menjawab apa pun, ia mengeratkan pelukan. "Kenapa? Enggak malu lagi, ya dilihatin orang?" tanya Gilang menggoda. "Pa, jangan tinggalin aku, ya!" Gilang tertawa pelan dan hendak menjawab kegundahan hati sang istri, tetapi nama Sedayu dipanggil perawat. Ia mengajak istrinya masuk. Kemudian menyalami dokter yang merupakan tetangganya. Sedayu diberika tespack dan diminta melakukan tes sendiri di kamar mandi. Sementara Gilang berbicara dengan dokter. "Piye tok, raimu ra senang kayak ngono?" "Aku takut, Mbak." "Takut kenapa?" Si dokter tidak lagi menggunakan bahasa Jawa karea yang diajak bicara menjawanbnya dengan bahasa Indonesia. "Takut hal buruk menimpa istrimu seperti Diani?" Gilang menghela napas. Ia tidak ingin kehilangan lagi. "Enggak usah takut. Diani meninggal karena ajal." "Aku bukan takut itu, Mbak. Tapi, mertuaku pernah ...." Ucapan Gilang terhenti saat ekor matanya melihat Sedayu berdiri tak jauh dari mereka. Sedayu melangkah ragu. Seharusnya tadi ia menyembunyikan diri agar bisa mendengar kalimat lanjutan Gilang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN