Lost

1389 Kata
Delapan bulan telah berlalu. Gilang sangat bahagia saat mengikuti perkembangan janin. Meski rasa cemas kian melonjak, ia berusaha menepis. Mungkin itu hanya bisikan setan yang suka menciptakan waswas di d**a. Ia izinkan Sedayu tetap tinggal di rumah papanya. Khawatir konflik dengan neneknya Bintang kembali mencuat jika Sedayu pulang. Nanti saja kalau anaknya sudah lahir. Ia tidak menyangka bahwa mertuanya bisa berbohong juga. Restunya hanya pura-pura dan Gilang menemukan bungkus garam inggris di tasnya. Artinya Sedayu tidak bersalah, tetapi sang mertua. [Mbak, kakekku datang dari Jakarta. Mau ketemu Mbak. Mbak datang, ya.] Selain Gilang, kebahagiaan juga memenuhi hati Bintang. Remaja itu sangat senang ketika mengetahui sebentar lagi bakal punyak adik. Baginya, jadi anak tunggal itu tidak seru. Kadang ia iri pada temannya yang memiliki adik. Meski sering berantem, tetap saja ada yang bela ketika salah satunya dirisak. Pesan yang masuk di w******p Sedayu membuat kening perempuan itu berkerut. Pasalnya, si anak jarang sekali mengirimnya pesan atau menelepon. Selama delapan bulan ini, Bintang selalu mengunjunginya tiap hari Sabtu atau Minggu. Meski hanya menghabiskan waktu dengan main PS, Sedayu tetap senang karena kehadirannya. Meski merasa aneh, Sedayu bersiap-bersiap ke rumah suaminya. Rumah yang seharusnya ia tempati, tetapi harus bersabar demi keselamatan bayi yang dikandungnya. Kalau perempuan tua itu mencelakai dirinya demi memisahkan Gilang dengannya, bukan tidak mungkin ia akan berbuat nekat. "Papa, aku izin keluar, ya!" Papanya sedang menyeruput kopi di ruang tengah. Pada bulan ketiga pandemi merebak, papanya terinfeksi covid-19. Sedayu di rumah hanya bisa menangis karena sudah lama tidak bertemu. Pikirannya juga kacau memikirkan hal-hal buruk yang belum terjadi. Ia drop dan Gilang mengomelinya sepanjang hari. Rasa syukur tidak henti ia lirihkan ketika papanya dinyatakan sembuh. "Mau ke mana? Minta Hana temani, ya!" "Enggak usah, Pa. Aku pulang ke rumah. Mungkin ntar malam mau nginap saja. Kakeknya Bintang datang dari Jakarta. Mau ketemu aku." "Kalau papanya datang, kenapa Gilang tidak pernah ngomong?" Sedayu terdiam. Ia membenarkan ucapan papanya dalam hati. Apalagi musim pandemi seperti sekarang. Orang tua seperti kakeknya Bintang sangat rawan terinfeksi. Apa mungkin keluarganya Jakarta tidak melarang? Keraguan merasuk pikiran, tetapi ia tepis. "Mungkin lupa, Pa. Aku berangkat, ya." "Papa antar saja." Kecemasan tergambar jelas di wajah Pak Sandi. Ia tidak ingin anaknya dirisak nenek tua itu. Sedayu mengangguk. Setelah Sedayu turun dari mobil, Pak Sandi masih memperhatikannya. Belum ingin pulang. Laki-laki paruh baya itu bersandar di jok mobil. Ia bertekad menunggu hingga satu jam ke depan. Pintu rumah tidak dikunci. Sedayu melangkah masuk. Sepi. Kening perempuan berambut keriting itu mengerut hingga dua alisnya menyatu. Kalau mertuanya datang, kenapa rumah tidak ada siapa pun. Tidak mungkin juga mertua yang sudah berumur datang jauh-jauh dari Jakarta seorang diri. Ia mengetuk pintu kamar Bintang. Tidak ada sahutan. Beberapa kali ia memanggil sang anak, tetap saja hanya desahan napasnya yang terdengar. Sore seperti sekarang, biasanya Bintang main basket di halaman belakang. Ia hendak melangkah ke belakang, tetapi terdengar bunyi dari ruang perpustakaan mengalihkan perhatiannya. Bunyinya seperti orang memalu paku ke dinding. Sembari mengelus perut buncitnya, ia melangkah pelan menuju asal suara. Berharap ada Bintang dan kakeknya di sana. Pintu ruangan itu terbuka. Ia semakin yakin ada Bintang di dalam. Langkahnya dipercepat. Namun, ia terpeleset di ambang pintu. Lantai yang licin membuatnya jatuh terduduk. Ia berteriak kencang karena sakit di perutnya tak tertahankan. Perlahan ia rasakan sesuatu merembes di pahanya. Ia ingin mengambil ponsel, tetapi tas tangannya terlepas dan tergelincir jauh dari jangkauan. Sambil menahan sakit, ia merayap mendekati tasnya. Fokusnya hanya pada tas sehingga tidak melihat seorang perempuan membersihkan tumpahan minyak di ambang pintu. Setelah bersih, ia berdiri dan mengukirkan siringai sinisnya ke arah Sedayu. *** Di dalam mobil, gelisah semakin merajai hati dan pikiran Pak Sandi. Ia membuka pintu mobil hendak turun, tetapi ponselnya berdering. Ia mengernyit saat melihat nama 'Putri Cantik' tertera di layar ponsel. Itu nama kontak Sedayu. Tanpa menerima panggilan tersebut, ia berlari masuk. Saat masuk, tidak ditemukan siapa pun. Ponselnya kembali berdering. "Kamu di mana?" "To-tolong aku, Pa." "Kamu di mana?" "Di ruangan dekat dapur." Pak Sandi berlari ke arah dapur. Untunglah rumah ini besar, tetapi tidak berkelok-kelok. Jadi, arah dapur bisa ditebak dengan mudah. Laki-laki paruh baya itu membelalak melihat anaknya terkapar. Darah bercampur air ketuban merembes ke lantai. Tidak ingin mengulur waktu, ia menggendong Sedayu dan dilarikan ke rumah sakit. Gilang datang setelah setengah jam berlalu. Wajah paniknya tidak bisa disembunyikan. Lututnya melemas kala Pak Sandi mengabari kalau Sedayu baru masuk ruang OK. Pak Sandi ingin ceritakan tentang chat yang diterima Sedayu. Namun, diurungkan kala melihat Gilang begitu terpuruk. Air mata menantunya tidak bisa dibendung. Ia akan beberkan setelah situasi sudah tenang. Operasi selesai dalam hitungan 33 menit. Gilang menemani Sedayu. Sementara anaknya masuk ruang NICU. "Gilang, saya pergi sebentar," pamit Pak Sandi. Laki-laki paruh baya itu ingin ke rumah Gilang. Ia harus pastikan sesuatu di sana. Rumah tadi sepi. Artinya, kedatangan kakeknya Bintang hanya kebohongan. Mungkinkah remaja itu bersekongkol dengan sang nenek atau ponselnya digunakan untuk mengelabui Sedayu. Andai benar Sedayu diminta datang agar bisa dicelakai, ia tidak tahu nasib rumah tangga putrinya. Gilang memang baik. Kasih sayangnya tulus pada Sedayu. Namun, itu saja tidak cukup. Kepercayaan Gilang pada Sedayu belum seratus persen. Apalagi kalau menyangkut neneknya Bintang. Haruskah ia meminta Sedayu dan Gilang menjalani kehidupannya masing-masing. Pikirannya benar-benar kacau. Memikirkan nasib rumah tangga sang putri membuatnya lupa berkonsetrasi di jalanan. Sebuah motor melintas tiba-tiba. Pak Sandi membanting kemudi. Mobil menabrak pohon di bahu jalan. Polisi ditelepon pengendara lain yang harus berhenti karena kecelakaan tersebut. Pak Sandi dibawa ke rumah sakit dalam kondisi tidak sadarkan diri. Setelah diperiksa dokter, laki-laki paruh baya itu dinyatakan tewas. *** 13 jam setelah operasi, Sedayu baru bisa bergerak. Sedari tadi hanya membisu, meski ia sadar ada Gilang di sampingnya. Ia belum ingin menceritakan penyebabnya terjatuh. Bahkan mungkin tidak akan bercerita. Ia khawatir Gilang kembali menuduhnya merekayasa cerita. "Kamu kenapa, Yu?" Untuk sekian kalinya Gilang bertanya, Sedayu tetap bungkam. Hatinya tersayat menyadari kenyataan jika suaminya pernah lebih memercayai si nenek tua daripada dirinya. Sekarang pun mungkin tak ada bedanya. "Suster, di mana anak saya?" tanyanya dengan suara lirih saat perawat mengganti perban. "Masih di ruang NICU, Bu. Dia butuh penanganan khusus karena kelahiran prematur." "Suster kenal Dokter Sandi, kan? Apa Suster melihatnya?" Perawat itu melirik Gilang yang menggeleng pelan, mengisyaratkan agar tidak mengatakan apa pun. Gilang tidak ingin Sedayu syok. "Papanya lagi istirahat," ujar sang perawat. Sedayu tidak bertanya. Ia memiringkan badan ke kiri menghadap tembok, seolah menghindari obrolan dengan Gilang. "Kamu kenapa, Yu? Apa aku berbuat salah? Kok, kamu seolah enggak mau bicara denganku?" Bukan jawab seperti harapan Gilang, melainkan tangisan pilu yang begitu memilukan. Laki-laki itu memberikan pelukan hangat sembari mengusap kepala istrinya. "Anak kita enggak apa-apa, Sayang. Meskipun memang harus dirawat di NICU, kita doakan saja semoga dia baik-baik saja." Pelukan itu seperti magnet yang menariknya ke dalam pusaran. Kekesalannya seketika berganti dengan sebuah pemakluman: Bukankah Gilang tidak tahu? Salahnya sendiri kenapa tidak menelepon Gilang dulu sebelum memenuhi ajakan Bintang yang sedari awal sudah terasa ganjil. "Aku mau melihatnya." Tidak ingin Sedayu kembali murung dan menolak berbicara dengannya, Gilang menuruti keinginan tersebut. Ia ambil kursi roda dan mendorong ke ruang NICU. "Aku minta izin perawat dulu, ya!" Gilang beranjak, meninggalkan Sedayu di depan ruangan NICU. Dua orang perawat hendak melangkah masuk sembari berbincang. "Kasihan Dokter Sandi, ya. Padahal baru kemarin menemani anaknya caesar, tapi malah beliau yang dipanggil Tuhan." Sedayu ternganga. Ia masih berusaha mencerna ucapan perawat yang sudah melangkah masuk. "Suster, tunggu!" Dua perawat itu berhenti melangkah. Sedayu menghampiri. "Dokter Sandi yang kalian maksud itu siapa?" Dua perawat itu saling pandang. Mereka tidak kenal anaknya dr. Sandi. Namun, keduanya meyakini bahwa perempuan yang duduk di kursi roda inilah anaknya. Gilang kembali. Wajahnya dipenuhi mendung. Baru saja perawat mengabarkan anaknya sedang kritis, sementara ditangani dokter. Melihat Sedayu menginterogasi dua perawat, ia pun menghampiri. "Apa yang terjadi dengan Papa? Kenapa mereka bilang Papa sudah dipanggil Tuhan?" Gilang mendekap istrinya ke dalam pelukan. Sesuatu yang masih ditutupi harus terkuak lebih awal. Maka, ia harus siap menemani sang istri yang bakal drop setelah ini. "Tenang ya, Sayang. Papa kecelakaan. Kemarin langsung dikuburkan pihak rumah sakit." Teriakan Sedayu tak terkendali. Gilang hendak membawa Sedayu beranjak dari depan ruang NICU. Namun, langkahnya terhenti ketika nama istrinya dipanggil perawat. Ia menghampiri perawat dan dokter yang berdiri di ambang pintu ruang NICU. "Maaf, Pak. Anaknya tidak bisa diselamatkan." Sekarang bukan hanya Sedayu yang terpuruk, Gilang pun tak berdaya menopang pijakannya di bumi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN