CHAPTER LIMA

2117 Kata
            Jam menunjukkan pukul sepuluh malam saat Wina menerobos masuk ke sebuah kamar tanpa mengetuk dan menjatuhkan dirinya di atas ranjang. Seorang gadis yang sedang terduduk di meja belajar menoleh lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Sudah bukan hal aneh kalau melihat teman-temannya minim sopan satun.              "Mbok yo permisi gitu lho, Na." kata Elisa.              "Udah permisi tadi di pintu utama." jawabnya sambil menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Matanya melirik kamar Elisa yang tampak rapi, bersih tanpa cela. "Lo lagi ngapain?" tanyanya.              "Ngerjain tugas akuntansi." jawab Elisa. Ia kembali melempar pandangan ke buku di hadapannya.              "Emang ada tugas?" tanya Wina penasaran.              "Kamu tuh kalau di kelas ngapain toh, Na. Kupingmu tuh jangan cuma buat pajangan aja. Masa tugas segitu banyaknya ndak tahu." Sosor Elisa. Wina berdecak sambil memutar bola matanya malas. Tangannya bersidekap lalu menatap punggung Elisa yang tampak serius.              "Ini malam minggu, El. Orang mah jalan- jalan keluar, bukan malah ngumpet di kamar ngerjain tugas. Hidup lo suram banget." kalimat Wina membuat Elisa menoleh. Ia menatap Wina dengan tatapan menyelidik.              "Kamu abis dari rumah Lala ke mana lagi?" tanyanya.              Wina tersenyum kaku lalu bergumam, "Jalan sama Ibnu." Elisa berdiri dari duduknya lalu mendekati Wina.              "Kok bisa? Bukannya kamu nolak buat dijodohin?"              "Tadinya sih iya." Wina berdiri lalu duduk di meja belajar sementara Elisa berganti duduk di tepi ranjang. "tapi kalau dipikir- pikir, nggak ada salahnya gue nyoba. Toh, dia nggak maksa kok. Kalau memang nggak cocok, kita nggak perlu lanjut." Mata Wina menelisik buku tugas milik Elisa.              "Jangan mainin perasaan orang lain." kata Elisa.              "Masih muda main- main mah nggak apa- apa, El." Wina tersenyum lalu memeletkan lidahnya pada Elisa yang langsung mendesis sinis.              "Tante Widya balik kapan?" tanya Wina.              "Minggu depan, abis seminar langsung ke Malaysia." jawabnya. Suami Widya memang bekerja di Malaysia dan hanya pulang sebulan sekali. Sesekali Widya dan Ervan memang pergi ke sana kalau pekerjaan suaminya sedang tidak bisa ditinggal.              "Bebas dari sangkar emas dong lo." Ejek Wina. Matanya menajam saat mendengar sesuatu dari luar balkon Elisa. "kayak ada suara diluar, El." Ia berdiri lalu mendekat ke arah balkon saat mendengar suara lagi.              Elisa yang sudah tahu betul siapa yang sekiranya ada diluar tak lagi penasaran. "Lo dengar suara nggak sih, El?" tanya Wina sebelum mencapai balkon.              "Ndak, aku ndak bisa dengar suara- suara ghaib."              "HAH? setaan itu yang di luar?" Wina menatap Elisa dengan pandangan tak percaya dan melihat sahabatanya mengangkat bahu tak acuh. Dengan keberanian penuh, langkah kakinya berhenti di depan pintu kaca yang dapat di buka dan setelah menarik napas panjang, ia menyingkap tirai jendela besar itu. Matanya melirik sekeliling. Tak ada yang aneh, pikir Wina, hingga akhirnya kedua bola matanya menangkap sesuatu mencurigakan yang ada di bawa meja bundar berbahan kayu jati di balkon.              "El, bom panci, El." Teriaknya sambil menutup tirai dan membalik badan. Menatap sahabatnya yang lagi- lagi tampak tak acuh.              "Bom panci?" kali ini dahi Elisa mengenyit dalam. Ia berdiri lalu mendekati Wina yang masih berdiri di depan jendela.              "Iya, bom panci. Buruan panggil security." teriak Wina dengan nada panik.              Tangan Elisa tergerak untuk menyibak tirai. Matanya menatap sebuah panci yang ada di kolong meja.               "Benar kan bom panci? Udah buruan panggil security. Wah rumah lo nggak aman ternyata. Bahaya tahu itu." Wina mengguncang-guncangkan pundak Elisa yang masih saja terdiam.              "Kamu yakin itu bom panci?"              "Terus lo pikir panci macam apa yang bisa ada di balkon kamar lo. Lo nggak lihat berita apa? Bom panci lagi hits banget akhir- akhir ini." kata Wina. Gadis di sampingnya masih saja bergeming dan menatap lurus- lurus panci itu. Elisa yakin itu bukan bom panci seperti yang Wina pikirkan, lagipula, siapa orang yang mau menaruh bom panci di balkonya? Untungnya apa? Keluarganya jelas tak punya musuh yang bisa dicurigai.              "El, kok lo malah diam aja sih? Payah nih, security lo tugasnya ngapain aja di bawah sampai bisa kebobolan bom panci gini." Wina mulai terlihat kesal. Ia sudah membalik badan dan bersiap pergi dari kamar itu hingga suara Elisa menghentikannya.              "Itu bukannya bom panci. Itu panci punya mbok Asih yang tadi siang dicari-cariin." kata Elisa. Wina berhenti lalu kembali membalik badan. Ia melihat sahabatnya membuka kunci dan membuka jendela besar itu. Membuat angin malam langsung berembus memasuki kamar.              "HAH? Panci mbok Asih?" sebelah alis Wina terangkat. Ia kembali melangkah mendekati Elisa yang sudah berada di balkon.              Dengan keberanian penuh, Elisa membuka panci itu. Seperti dugaannya, panci itu kosong, hanya ada selembar post it di dalamnya.              Aku tanpamu, sama seperti mbok Asih tanpa panci ini. Kehilangan, kebingungan, tak berdaya. Mungkin saat ini mbok Asih tak bisa tidur nyenyak, sama seperti aku yang selalu terganggu oleh bayang-bayangmu. Tertanda : Fabian (Pemuda Harapan Pemudi)                "Cah gemblung." Lirih Elisa.              Wina yang ikut membaca tulisan itu lantas terpingkal sementara Elisa mendesis kesal. Wina mengambil kertas itu dari tangan Elisa lalu membaca tulisan itu sekali lagi. Sungguh, tulisan serupa ceker ayam ini ternyata tak berubah meski laki-laki itu sudah dewasa.              "Gila. Ini dia ngerayu ceritanya? Norak banget caranya." Kata Wina. Ia makin tertawa melihat Elisa mengerucutkan bibirnya kesal. Matanya mengitari sekeliling hingga akhirnya kakinya tergerak mendekati pembatas balkon. Kepalanya menjulur ke bawah dan terkejut melihat Fabian berdiri di bawah dan melambaikan sebelah tangan ke arahnya.              "Lah, kenapa lo yang nongol?" kata Fabian dengan nada berbisik.              "Elu ngapain di situ? Ngerayu tuh pakai bunga kek, atau cokelat. Ini malah pakai panci." kata Wina sambil tertawa.              "Berisik lo. Gue kan anti mainstream." kata Fabian lalu melambai pada Elisa yang sudah berdiri di sebelah Wina dengan tampang masam.              "Kamu tuh ndak bosan-bosannya ya ngumpetin barang-barang orang." Katanya sambil melirik sinis. Fabian tersenyum lalu mendirikan tangga yang tergelak di sampingnya. Memposisikan tangga dengan benar lalu naik menuju balkon kamar Elisa.              "Jadi gini kerjaan lo tiap malam? Nyatronin putri Solo diam-diam." Wina bersidekap lalu melihat Fabian yang tengah menyisir rambut dengan jari-jarinya.              "Iya, lo ganggu aja sih. Ngapain lo di sini?" tanya Fabian.              "Gue mau nginep mumpung tante Widya nggak ada."              "Wah parah, harusnya gue yang tidur sama Elisa, bukan lo." kata Fabian. Mendengar kata-kata kurang ajar laki-laki itu, Elisa melempar panci dan tepat mengenai kepala Fabian yang langsung mengaduh. "Ampun, bekas centong kemarin aja masih nyut-nyutan, udah ditambahin lagi sama panci. Sakit tahu, El." katanya dengan nada memelas, kembali menyulut tawa Wina.              "Makanya kalau punya mulut itu dijaga."              "Iya... iya... yaudah, aku kerja dulu ya, Ajeng." Fabian berpamitan.              "Lho, lo mau ke mana?" tanya Wina penasaran.              "Kerja lah."              "Kerja apaan lo malam-malam gini? Ngepet?" ejek Wina.              "SIALAN." runtuk Fabian sambil melirik penampilannya sendiri. "yakali ganteng gini mau ngepet." Sekali lagi, ia menyisir rambut dengan tangan sambil tersenyum manis pada Elisa.              "El, ikut Fabian yuk." ajak Wina.              "Ngapain? Kamu tahu kan dia kerja di mana? Di Bar. Banyak asap rokok, bau alkohol, banyak laki-laki mesum." beber Elisa. Ia ingat bagaimana pertama kalinya dirinya mengunjungi tempat kerja Fabian. Baginya, tempat itu benar-benar mengerikan.              "Sekali-kali cari suasana baru. Ini malam minggu, El. Masih jam setengah sebelas lagi." katanya sambil melirik jam dinding di kamar.              "Ndak mau." Elisa bersidekap dan memalingkan muka. Wina menghela napas lalu melirik Fabian yang mengangkat bahu.              "Ayolah, El. Kita nggak usah nunggu sampai Fabian selesai. Sejam atau dua jam aja. Nggak salah kok sekali-kali pergi ke tempat itu."              "Ndak salah gimana? Kalau kita kenapa-kenapa gimana?"              "Kan lo punya bubuk cabe. Tenang aja." Wina membujuk Elisa. Elisa melirik Fabian sinis. "Lo bawa motor, Fa?" tanya Wina.              "Iyalah. Nggak apa-apa, bertiga bisa kok. Ajeng di tengah tapi." katanya sambil terkekeh ringan. Kali ini tutup panci sukses mengenai dahinya. "Duh, kena lagi gue."              "SIAL. Emang gue cabe-caben." Wina meninju bahu Fabian seraya berpikir. "pesan taksi online aja. Ia meraih ponsel di sakunya. "mumpung nggak ada tante Widya, El. Kapan lagi lo bisa keluyuran malam."              "Iya tapi ndak ke bar juga, Na."              "Sekali-kali nggak apa-apa."              "Kita harus manjat pagar belakang lho, kalau mau keluar." Elisa memberitahu.              "Nggak apa-apa, dulu gue suka manjat pagar buat kabur dari sekolah."    ***                Elisa menghela napas saat tangannya digandeng Wina memasuki ruangan besar dengan padatnya manusia dengan berbagai aroma. Mata jeli Wina mengitari sekeliling dan menemukan Fabian duduk di meja bar.              Elisa menatap risih sekeliling saat ia mendudukan diri di kursi tinggi bar di samping Wina.              "Kalian mau minum apa?" tanya Fabian. Wina melirik ke arah Elisa, meminta pendapat gadis itu.              "Air putih aja." jawab Elisa dengan nada ketus.              "Payah nih anak. Masa ke sini cuma minum air putih. Lo ke toilet aja sana kalau mau air putih, gratis." Ejek Wina yang langsung membuat Elisa melotot tajam. "apa aja, yang penting yang non alkohol." lanjutnya. Matanya menoleh lagi pada sahabatnya, meminta persetujuan. Tapi gadis itu terdiam.              "Reng." Fabian sedikit berteriak dan melambaikan tangan pada Loreng. Laki-laki berambut ikal itu mendekat dan menatap Wina dan Elisa bergantian.              "Kasih mereka berdua minuman ya. Yang non alkohol. Nanti gue yang bayar." kata Fabian. Loreng terdiam sambil menatap Elisa lekat-lekat.              "Dia yang waktu itu menghina tato gue kan?" kata Loreng sambil menatap Elisa. Gadis itu balik menatap Loreng sambil melotot.              "Iya, memangnya kenapa? Wong memang tatomu jeleek kok." kata Elisa dengan nada khasnya. Loreng menghela napas sementara Wina dan Fabian terkekeh ringan. Pandangan Loreng beralih pada Wina. Gadis dengan rambut sebahu yang ukuran tubuhnya lebih pendek dari Elisa.              "Yang ini siapa?" tanyanya.              "Ini Wina. Teman gue." Kata Fabian.              "Gue Tiger." Laki-laki itu mengulurkan sebelah tangannya.              "Wina." Gadis itu menjabat tangan itu.              "Panggil aja Loreng." Kata Fabian. Dahi Wina mengernyit bingung.              "Jatohin pasaran gue aja lo." Kata Loreng sambil berbalik untuk membuat pesanan Fabian. Wina menatap sekeliling, ini memang bukan pertama kalinya ia mendatangi tempat seperti ini. Tidak seperti Elisa yang terus menerus menatap sekeliling dengan waspada, Wina malah asik mengangguk-anggukan kepalanya mengikuti musik yang berdebam keras.              "Gue tinggal dulu, ya." Fabian menatap Wina yang mengangguk lalu ke Elisa yang langsung melengos tak acuh. "jagain Ajeng gue, ya. Kalau ada apa, gue ada di depan sana." tunjuk laki-laki itu ke ujung ruangan di mana tempat berasal musik yang akan ia mainkan.              "Iya...iya...." kata Wina tepat saat Fabian membalik badan dan menghilang di balik kerumunan orang.              "Pulang yuk, Na. Aku ndak kuat nyium bau rokok sama alkohol." Elisa menarik lengan Wina agar menghadapnya.              "Bentar, El. Minum juga belum." Wina masih asik memerhatikan sekeliling hingga akhirnya Loreng kembali ke hadapan mereka dengan dua buah gelas yang langsung di taruh di depannya.               "Thanks." kata Wina sambil menggeser satu gelasnya ke arah Elisa yang tampak ragu.              "Reng, kayak biasa dong." Keduanya menoleh mendengar suara itu. Di samping Elisa, seorang gadis dengan sepotong kaos ketat dan rok mini berwarna hitam tengah menghisap rokoknya dalam-dalam.              Loreng mengangguk lalu pergi dari hadapan ketiganya. Jika Wina bersikap biasa saja, Elisa justru terbatuk-batuk saat merasakan asap rokok memenuhi rongga penciumannya. Gadis perokok itu menoleh ke arah Elisa lalu memerhatikan penampilan gadis itu baik-baik. Agak aneh melihat gadis dengan kaos panjang dan rok batik selutut ada di bar itu.              "Lo nyasar?" kata Anggi, gadis dengan rokok yang masih terselip di antara jari telunjuk dan jari tengahnya.              Elisa menggeleng, masih berusaha mengusir asap rokok di sekitarnya dengan kibasan tangannya.              "Dia pacarnya Fabian." kata Loreng saat kembali dengan segelas minuman permintaan Anggi.              "Hah? Pacar?"              "BUKAN!!!" sangkal Elisa.              "Calon pacar." Ralat Loreng sambil melirik pada Elisa dan Wina.              Sekali lagi, Anggi menatap Elisa baik-baik, lalu ke arah Wina dan kembali ke arah Elisa.              "Masa sih Fabian suka yang begini?" Anggi menatap Loreng dengan bingung.              "Maksud kamu apa?" Elisa bersidekap lalu menatap tajam ke arah Anggi.              "Nggak, bukan apa-apa. Maksudnya, lo yakin mau sama Fabian?" kata Anggi, berusaha tidak menyinggung gadis di depannya.              "Siapa yang bilang aku mau sama dia. Dia itu mimpi." kata Elisa.              "Udah... udah... El." Wina mengusap pundak Elisa yang mulai tersulut emosinya.              "Kamu pikir ada yang mau sama laki-laki kaya dia? Udah DJ, tukang mabok, tatoan lagi."              "Ada kok, banyak lagi." jawab Anggi.              "Kalau begitu, perempuan-perempuan itu perlu di ruqyah." kata Elisa dengan embusan napas kasar.              "Lo belum tahu siapa Fabian, ya?" kata Anggi. Ia menghisap rokoknya dan kali ini tidak mengembuskan asapnya ke arah Elisa.              "Lo emang kenal banget sama Fabian?" tanya Wina penasaran dan melihat gadis itu mengangguk sambil tersenyum.              "Dia tinggal sendiri?" tanya Wina. Ini adalah hal yang belum sempat ditanyakannya pada Fabian. Ia hampir mengenal seluruh keluarga Fabian sewaktu mereka bertetangga. Dan melihat bagaimana orangtua Fabian begitu memanjakan anak bungsunya, ia tak yakin kedua orangtua Fabian akan membiarkan laki-laki itu bekerja di bar seperti ini.              "Nggak, berdua." jawab Anggi.              "Sama siapa?" tanya Wina penasaran.              "Miranda." jawab Anggi. Ia melihat kedua pasang mata itu melebar dan menatapnya tidak percaya.              "Tuh kan, Na. Sekarang ketahuan kan dia tuh laki-laki macam apa. Mana ada laki-laki baik yang kumpul kebo sama perempuan lain." Elisa menggeleng-gelengkan kepalanya, "Sudah, kita pulang aja. Ndak ada gunanya kita di sini." Elisa menarik tangan Wina dan bergegas keluar. Meninggalkan Anggi dan Loreng yang saling menatap bingung.              "Kumpul kebo? Yakali Fabian kumpul kebo sama kucing."  To Be Continue  LalunaKia  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN