BITTER LIFE CHAPTER 1
.
PERTAMA
"ini seragam sekolah barumu non, Tuan sudah menunggu di kamarnya"
Seorang pria tersenyum lebar menatap tubuh di hadapannya, Dia merasa sangat puas, dengan segera dia meninggalkan kamar itu. Gadis itu melepaskan ikatan di pergelangan kakinya, menarik selimut menutupi tubuhnya, bibirnya menghisap dalam rok*k yang baru saja dinyalakan, asap mengepul di atas kepalanya, dia menatap kosong langit-langit kamar.
*********************************
Tidak mudah menjadi bagian dari sekolah ini, St Morin, sekolah pilihan di kota ini, dapat masuk sebagai siswa ditempat ini seperti sebuah anugrah untuk Sylvia.
Dia berdiri lama di pintu gerbang, udara masih terasa amat sejuk pagi ini, angin yang berhembus menggoyahkan dasi dan ujung rambut Sylvia, dia tidak bergeming, matanya seperti menahan haru, tangannya mengepal, pundaknya sedikit bergoyang, aah.. dia sendiri tidak percaya dengan anugrahnya.
piiip.. piiip..
Sylvia tersadar, dia menghapus air di sudut matanya, suara HP polyponic dari saku mengagetkannya, dari pak Felen, dengan segera dia menyahuti suara berat diseberang sana.
"Sylvia, nanti sore gudang terima barang, apa Kamu akan membantu? Saya sengaja memberitahumu terlebih dahulu, Ibumu selalu mendesakku"
"tentu saja Saya akan membantu, terimakasih Bapak Felen sudah memberikan Saya pekerjaan"
Gadis itu berlari memasuki gerbang sekolah, tangannya masih menggenggam ponsel keluaran entah berapa tahun yang lalu. Bagi Sylvia sekolah dan kesehatan ibunya adalah yang utama saat ini.
Jika Sylvia adalah siswa pertama yang memasuki gerbang di tahun ajaran baru kali ini, berbeda dengan..
Keriuhan upacara penerimaan murid baru masih menggema, siswa-siswa berbaris rapi di aula sekolah, beberapa orangtua bahkan ikut mengantar di halaman sekolah, sekedar mengambil gambar, mengabadikan momen masuk ke sekolah ini adalah kebanggaan.
Seorang gadis berjalan santai, bahkan pintu mobilnya dibiarkan terbuka di belakang punggungnya, sontak saja tingkah nya itu mencuri perhatian sekitar.
"ini jam berapa? Apa dia senior ?"
"mungkin anak pejabat"
"aaah lihat cara berjalannya, apa dia model"
Rose tidak perduli dengan bisikan orang sekitar, pasti mereka orangtua kelas 1, dia masih dengan santainya memasuki ruang aula, dan bergabung dalam barisan.
Beruntungnya dia, pintu aula pas sekali menembus barisan belakang, jadi dia tidak perlu menghentikan pidato kepala sekolah yang berkoar-koar di depan sana.
Lirikan mata tak berhenti menatap Rose, dia sungguh mencuri perhatian sekitar. wangi parfumnya, gaya berpakaiannya, dan wajahnya, tidak mungkin membuat orang lain berpaling darinya.
Rose memakai seragam seperti yang lainnya, hanya saja roknya terlalu pendek untuk seorang siswa, pahanya yang mulus itu bisa membuat silau mata yang melihat. Dia juga memakai jam tangan ternama, belum lagi tas dan sepatu pantofelnya, itu merk ternama dunia.
Vicko mengelus ujung hidungnya, wangi yang menyeruak membuat nya ingin bersin, tangannya mengkibas pelan di depan wajah, menghalau udara barangkali bisa membuat udara yang dia hirup lebih netral. Wangi itu tentu saja pertanda kedatangan Rose, tapi Vicko tidak ambil peduli, matanya masih fokus melihat ke mimbar dimana kepala sekolah berpidato. Beberapa siswa disekitarnya mulai berbisik, sepertinya mereka kehilangan tanda fokus.
"Apa sih yang mereka bicarakan ?" tanya Vicko dalam hati, Karena barisannya adalah yang paling sedikit, jadi gerak gerik yang lain lakukan sangat terlihat oleh Vicko, kelas akselerasi memang dibatasi untuk beberapa siswa saja, tentu saja, kualitas otaklah yang membatasi mereka. Beberapa teman dibarisannya mulai mencuri-curi pandang, sesekali menoleh kebelakang dengan wajah bersemu. Vicko mengerutkan dahi, ada siapa dibelakang sana ?
Kepala sekolah berganti dengan ketua perwakilan siswa yang memberikan banyak wejangan. Banyak siswa sudah merasa jenuh dengan acara formal pagi ini, mereka ingin segera melihat bagaimana penampakan kelas dan teman-teman barunya.
Sylvia memainkan ujung sepatunya, matanya sibuk sendiri memperhatikan lantai, dia bosan mendengar kata-kata di depan sana, saat matanya menyapu lantai, sungguh sadar dia akan perbedaan pada sepatunya, hanya dia yang memakai sepatu kanvas lusuh dengan sisi kiri-kanan sudah mengelupas, kaos kakinya kendor, Dia menarik, dan merapatkan kakinya.
Matanya memperhatikan satu persatu kaki-kaki disekitarnya.
"ahh.. sepatunya cantik sekali"
tentu saja itu hanya bisikan hati Sylvia, semuanya sepatu baru yang licin dan mengkilap, gadis-gadis memakai sepatu pantofel yang cocok sekali dengan rok kotak-kotak mereka. Tapi tidak dengan nya.
Kaki yang jenjang mencuri mata Sylvia, Dia memperhatikan sepatu gadis itu.
"Woooah.."
Tanpa sadar dia bergumam sendiri, lihatlah kaki jenjang itu, kulitnya bersih dan mulus, pantopel dari bahan kanvas dengan print huruf F berwarna hitam coklat sangat sempurna dengan seragam St Moris. Pandangan Sylvia mulai naik memperhatikan tiap jengkal pemilik kaki itu. Sipemilik kaki mulai bersandar di dinding aula, tangannya masuk ke dalam saku, dia mengambil sesuatu, tangannya menutup rapat kotak putih itu, tapi Sylvia semakin membuka matanya, melotot. Sylvia tidak percaya dengan penglihatannya.
"bukankah itu r*kok?"
Sylvia memperhatikan sekali lagi dibalik cela-cela jari gadis itu, kali ini sylvia semakin yakin kalau itu bungkus salah satu merk rok*k, dia pernah melihatnya di kotak kaca bapak Felen. Bagaimana mungkin seorang murid sekolah mer*kok? Sylvia menggelengkan kepala, mungkin dia salah.
Baru beberapa menit Rose berdiri di aula sekolah, badannya sudah mulai lelah, dia mulai bersandar di dinding, menjauh dari barisan.
"Haaaa... Aku bosan" gumamnya gusar, dia tidak pernah betah berlama-lama untuk hal tidak penting seperti ini, saat kesal seperti ini adalah hal yang melegakan kalau dia bisa menghisap dalam-dalam sebatang r*kok dan mengepulkan asapnya ke udara.
Sepertinya Rose tidak mampu menahan hasratnya, tangannya menjangkau isi saku, meremasnya, dengan sedikit kehati-hatian Rose mengeluarkan isi sakunya, dia mencuri-curi waktu yang baik untuk meninggalkan ruangan penat itu.
Beberapa saat saja Sylvia bermain teka-teki di pikirannya, meyakinkan diri sendiri bahwa yang dilihatnya bukanlah kotak rok*k, matanya kembali mencari sosok gadis tadi, Tapi Sylvia tidak bisa melihat nya lagi, teka-teki di kepalanya semakin bertambah, kemana gadis tadi ? apakah itu rok*k? apakah itu hanya bungkusan cemilan?dengan banyak pertanyaan dalam pikiran tapi Dia hanya mampu menundukkan kepala merenungkan sendiri.
***
Sylvia melirik kiri dan kanannya, semua orang sudah berkenalan bahkan sudah terlihat akrab, hanya dia sendiri yang terpojok di kelas, siswa yang lain sudah membentuk geng sesuai ketertarikan mereka, Sylvia sadar tidak akan ada yang tertarik terhadapnya bahkan sekedar menjadi teman. Bahkan masa remaja nya pun akan dihabiskan sendiri seperti biasanya. Sylvia menarik kursinya perlahan, dengan langkah tak bersuara dia meninggalkan ruangan kelasnya.
Sekolahan ini begitu luas dan megah, lorong-lorongnya yang panjang dipenuhi loker siswa yang berjejer rapi, beberapa siswa asyik mengobrol, tertawa, bercanda di sepanjang lorong, Sylvia tidak memiliki tempat di sana. Kakinya terus melangkah, kini dia mulai menaiki anak tangga terakhir, kakinya akan menginjak pembatas lantai terakhir sekolahnya. Dia berjalan menuju atap gedung st Morin.
"loteng sekolah adalah tempat terbaik untukKu" pikir Sylvia, dia memacu derap langkahnya, dengan cepat dia mendorong pintu, sedikit dengan tenaga akhirnya pintu itu bisa terbuka.
Mata Sylvia terbelalak membesar, wajahnya terkejut, dia tidak bisa menyembunyikan kekagetannya, dengan jelas dia melihat dua orang siswa berciuman panas di depan sana. Seorang gadis dengan rambut tergerai panjang yang tertiup angin, tangannya menjangkau tengkuk pria yang merangkulnya erat. Sylvia salah tingkah sendiri, Dia berusaha memalingkan wajah, berjalan mundur, hendak kembali menuruni anak tangga tapi dengan pikirannya saja, yang ada badannya masih berdiri kaku di depan daun pintu.
Gadis itu menyadari keberadaan Sylvia, tentu saja membuat Sylvia kwajtir, dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan, apa gadis itu akan marah padanya, memaki atau memukulnya karena bisa saja gadis itu mengira bahwa Sylvia sengaja ikut campur urusan mereka.
"ups, ada yang lihat"
Suara gemas gadis itu memecah ketegangan, Pria dengan tinggi semampai itu sontak menoleh, membalikkan badan. Sylvia semakin terkejut mengetahui wajah pria itu.
"Ketua wakil siswa !" hati Sylvia seperti berteriak, tidak percaya dengan pandangannya. Bagaimana mungkin seorang ketua siswa melakukan hal seperti ini di sekolah? Sylvia ingat betul saat di mimbar ketua ini mengingatkan untuk fokus belajar bukan hal lainnya, dasar munafik! upat Sylvia dalam hati.
Gadis cantik itu menyentuh dagu sang ketua, sekali lagi mereka berciuman panas dihadapan Sylvia yang tiba-tiba merinding, dia ingin ke kamar mandi, mereka gila ya ! melakukan semua itu dihadapan orang lain, adegan panas itu menaikkan hormon yang melihatnya.
Angin berhembus kencang, waktu istirahat sekolah tinggal beberapa menit lagi. Sylvia masi berdiri di sana, sementara ketua sudah meninggalkan tempat itu. Dengan langkah santai gadis itu menghampiri Sylvia, dialah Rose.
"Hey! sampai kapan kamu begini"
Rose menepuk pundak Sylvia, dan menyadarkannya. Rose membenarkan makeup dan bajunya, sementara Sylvia hanya tertunduk diam , dalam hatinya berbisik.
"bukankah dia gadis cantik di aula waktu itu, gadis yang menggenggam bungkus r*kok. kali ini dia berciuman dengan ketua siswa " Sylvia tidak habis pikir, seperti apa gadis ini sebenarnya.
"namaku Rose"
Dia mengulurkan tangan, dengan ragu dan tatapan penuh selidik pada akhirnya Sylvia menyambut tangannya.
"Syl...Syl.. via.."
"siapa !"
Sahut Rose dengan suara lantang, membuat Sylvia kaget, tentu saja Rose tidak bisa mendengar suara pelan Sylvia yang berbarengam dengan hembusan angin.
"Sylvia" ulangnya dengan nada yang berusaha naik. Rose tersenyum lebar.
"Mulai sekarang kita berteman, ayo bertemu lagi besok, disini" ucap Rose sambil menarik tangan Sylvia, menggandengnya menuruni anak tangga atap.
Beberapa pasang mata menatap mereka, dua teman baru yang mencuri perhatian, seorang gadis berwajah malaikat, bertubuh model dan status sosial yang sulit disaingi menggandeng seorang siswi perbantuan yang lusuh, dengan seragam lungsuran, pemandangan yang kontras, tapi lihatlah mereka bisa tersenyum bersama. Tidak bisa dipungkiri Sylvia merasa tak percaya bisa memiliki seseorang 'teman' , dalam tundukannya yang dalam dia berusaha menyembunyikan senyumannya.
Sylvia merapikan tasnya, dia tidak percaya dengan kejadian hari ini, tentu saja dia senang akhirnya bisa memiliki teman baru, tapi ada keraguan dalam pikirannya, seperti apa Rose sebenarnya, mengapa gadis itu merok*k, dan gaya pacarannya yang sangat ekstrim. Itu hal baru untuk Sylvia, dia tidak pernah berpacaran bahkan sampai saat ini.
Ponsel jadulnya menunjukan jam 4 sore, Sylvia bergegas mengganti pakaian, masih dengan sepatu kanvas yang sama dia berlari meninggalkan rumah, dia akan bekerja menurunkan dan menyusun barang di gudang pak Felen malam ini.
Sementara
Rose membuka kotak besar bingkisan yang terletak di atas tempat tidurnya. disitu ada nota kecil.
ini seragam mu malam ini kelinciku
Rose merobek bungkusannya dengan kasar, Dia sudah menduga apa isi kotak itu. Bando hitam dengan telinga panjang warna pink, pakaian ketat dengan jaring model swimsuit, berikut stoking hitam dengan bulu-bulu di pangkal nya. Sudut bibirnya tertarik, dia mengangkat pakaian itu, mencoba meletakkan di atas tubuhnya, dia menatap cermin.
"kelinci nakal" bisiknya dengan wajah genit. Rose membuka seragam sekolahnya, dia mencoba pakaian baru itu dengan segera.
Dan di tempat lain.
Sudah berapa jam berlalu, Sylvia masih dengan semangat memindahkan beberapa kotak besar kayu berisi stok isi toko, keringatnya membasahi bajunya, dia menyeka keringat dengan tangannya, lihatlah tubuhnya seperti anak lelaki saja, daritadi dia tak henti mengangkat beban, itulah mengapa pak Felen menyukai pekerjaanya.
"Syl, ini upah mu, jangan lupa belikan obat untuk ibumu!"
dengan berlari cepat Sylvia menghampiri pak Felen, hari ini dia bisa membelikan obat dan beberapa roti enak pikir nya, ibunya tidak perlu kwatir untuk beberapa hari ini. Pak Felen tidak pernah mengecewakan perihal uang.
"Besok kau bantu Andre jaga !"
Ucapan pak Felen membuat Andre anaknya menyibir, dia tidak menyukai bau Sylvia saat ini, daritadi dia memperhatikan gadis itu tak berjeda bekerja.
"Jangan lupa Kau mandi dulu yang bersih"
Sylvia mengangguk saja menanggapi ledekan Andre dia berpamitan ingin segera pulang, bayangan wajah ibunya terus saja timbul. Andre memberikan saputangan pada Sylvia sebelum gadis itu berlalu.
"Hey! Jangan cari muka pada gadis itu, pacari anak toko sebelah saja, Ayah tidak akan mau berurusan dengan orang susah, hidup kita saja masih susah !"
Pak Felen menepuk bahu anaknya, menyadarkan pandangan pria itu yang tak lepas menatap punggung Sylvia.
"Aku cuma kasiahan yah"
******
Rose menuangkan minuman alkohol ke gelas kosong, pakaiannya yang minim mengekspose setiap lekuk tubuhnya, dia mendarat di pangkuan tuan Abraham, tangan kasar lelaki itu tak henti mengelus paha mulusnya, sesekali di sela menuangkan minuman Rose memainkan pundak lelaki itu.
Tuan Abra begitu dia biasanya dipanggil, pemilik club malam ini sangat menyukai service Rose, dia tidak pernah bisa lepas dari gadis muda itu. Walau koleganya menuntut serius membahas proyek dan usaha bisnis mereka, tetap saja sesekali tuan Abra terdistract dengan gadis di pangkuannya.
Lelaki paruh baya dengan tampilan metroseksual itu beberapa kali mendaratkan ciuman di leher Rose, tangannya sering mengelus paha mulus rose, dan terkadang mencoba meremas bagian atas tubuh gadis nakal itu. Rose membisikan sesuatu, membuat lelaki itu mengangguk setuju, terakhir dia mencium punggung tangan Rose sebelum akhirnya mereka berpisah.
Disaat lain.
Sylvia berlari cepat dengan sekantung roti ditangannya, saking terburu-buru dia hampir saja ditabrak mobil. Seorang pria tampan dengan pakaian parlente keluar dari mobil.
"Hey, lihat-lihat kalau menyebrang !"
Sylvia hanya mengangguk sambil menunduk, dia tidak begitu peduli dengan hardikan kasar pria itu, dia hanya ingin makan roti bersama ibunya, membantu ibunya kembali ke ranjang setelah meminum obat, itulah kebanggannya sebagai seorang anak saat ini.
Pria itu masih kesal, dia membanting pintu mobilnya, wajahnya mengeryit menyimpan sisa kekesalan, dia melirik spion mobil, tertangkap bayangan gadis itu masih berlari di sisi jalan.
"dia mengejar apa sih, sampai berlari seperti itu"
Vicko melanjutkan laju mobilnya, dia tidak ingin terlambat mengikuti kelas malamnya, hari ini dia akan mengambil kelas malam untuk sastra dan piano.
Sementara,
Rose meninggalkan hingar bingar bangunan dengan lampu warna warni itu, Dia merapatkan coatnya, udara malam ini terasa dingin.
Seseorang yang dia kenal melintas cepat dihadapannya, Rose mencoba mengejarnya, gadis itu berlari dengan cepat membuat Rose kehilangan sosoknya , tapi jelas tadi Dia melihat Sylvia, teman barunya hari ini.
"SYIIIIILVIIIAAAAA....!!!"
Teriakan nyaring Rose seperti menghentikan aktivitas orang disekitarnya, begitupun langkah kaki Sylvia, dia menoleh mencari tau suara siapa barusan.
Rose berlari kecil menghampiri Sylvia yang terlihat kaget. Caranya memang jitu, dengan cepat aku bisa menemukanmu, pikir Rose sambil tersenyum kecil. Beberapa orang menatap langkah Rose, tapi dia tak ambil peduli.
"Hey, kau sedang apa malam begini ?"
tanya Rose, Sylvia tidak menjawab, entah dia masih kaget atau memang dia tidak ingin menjawab pertanyaan itu.
Rose melihat kantung roti ditangan Sylvia, dia bisa menebak seperti apa rasa roti itu, dia juga pernah merasakannya.
Rose merogoh saku celananya, mencari-cari sesuatu disana.
Tak berapa lama Rose menarik telapak tangan Sylvia, gadis itu masih saja terdiam.
Dia memberikan beberapa lipatan lembar dolar , Sylvia masi tak percaya dengan apa yang Rose berikan padanya, belum sempat dia berkata-kata Rose sudah menyetop taksi dan pergi mendahuluinya.
"ini banyak sekali" gumam Sylvia tidak percaya.
Kali ini dia tidak lagi berlari, tangannya menggenggam uang pemberian Rose di dalam saku jaket tranningnya, ada rasa tak percaya, takut tapi juga senang saat ini. Sylvia mengecek lembaran uang dari saku bajunya, ada plastik kecil yang menyelip diantaranya.
"Apa ini ?"
Sylvia mencoba merobek plastik kecil itu, mungkin permen pikirnya, tapi dia tidak mendapatkan sesuatu yang manis di dalam kemasan itu, melainkan karet elastis berwarna terang, sontak Sylvia kaget dan refleks membuangnya.
***
Jam istirahat siang
Rose bersandar pada tembok atap gedung sekolah, dia sedang mengoleskan salep di pergelangan tangannya, seseorang sedikit berjongkok di sampingnya, bukannya dia tidak menyadari derap langkah sepatu Sylvia yang mendekatinya, tapi dia hanya tidak ambil peduli.
"apa kau luka?"
Rose berhenti mengoleskan salep, dia menoleh sebentar, sinar matahari siang menyilaukan pandangan matanya, sehingga tidak jelas menangkap sosok wajah Sylvia.
"bukan apa-apa, ini sudah biasa"
Sylvia mencuri lirik, ada luka di pergelangan tangan gadis itu, tapi dia segera menutupinya dengan jam tangan. Sylvia mengulurkan tangan dengan uang dalam genggamannya.
"Ini punyamu, Aku tidak bisa menerimanya, ini banyak sekali"
Rose tertawa geli mendengar kalimat Sylvia
"hahaaaa... ambil saja Sylvia, itu untukmu, lagian aku masih punya banyak"
Mulut Sylvia menganga, dia tidak percaya saat Rose membukakan dompetnya, benar saja dompet itu penuh dengan lembaran dolar, ya ampun itu banyak sekali, pasti Rose sangat kaya raya.
"ya ampun, aku pertama kali melihat uang sebanyak itu"
"hahaha.. kau lucu sekali, kalau begitu, nih..."
Rose mengambil segepok lembaran dari dalam dompetnya lalu menerbangkannya di udara, Sylvia tambah terkejut dengan tingkah gadis cantik itu, dia tidak percaya dengan hujan uang di hadapannya saat ini.
Sementara Rose masi tertawa menikmati tingkahnya, Sylvia sibuk mengumpulkan uang yang berserakan.
"Aku harus bekerja sampai mati pun belum tentu bisa sebanyak ini" batin nya.
"belilah beberapa baju, ganti juga seragam sepatu dan tas mu, ini hadiah dariku" ucap Rose sambil menolak uluran Sylvia yang hendak mengembalikan uang itu.
"ta, ta, tapii.." dia tergagap tak percaya
"hei, bukankah kita teman"
"iya"
Pada akhirnya Sylvia menerima uang itu dengan d**a yang berdebar, uang sebanyak ini bisa untuk perawatan ibu ke rumah sakit pikirnya. Kedua gadis itu berjongkok, Sylvia merapikan uang-uang itu, Rose mencoba membantunya, tanpa sadar seorang pria sudah berdiri di belakang mereka.
"Rose, kau dengan siapa ?"
Rose membalikkan badannya, sementara Sylvia tidak berani membalikkan badan, dia mengenali suara pria itu,itu suara ketua siswa yang berpidato panjang lebar di hari pertama masuk, dan juga pacarnya Rose?, tiba-tiba degup jantung Sylvia semakin kencang, sepertinya gadis itu ketakutan, pertama pergi ke atap sekolah adalah pelanggaran, kedua dia menganggu orang pacaran.
"ooh Ada ketua, hehe.. aku sudah kangen sekali padamu, kemana saja kau hari ini"
"a, aku, aku ada urusan"
Kenapa suara pria itu terbata-bata, sebegitu sulitkah menjawab pertanyaan Rose, kalau itu terjadi padaku sih wajar, tapi untuk orang yang berdiri berorasi di mimbar bukankah hal aneh, pikir Sylvia menduga-duga.
"Rose, aku bisa melindungimu, tapi siapa gadis ini ?"
"ah dia temanku, kau harus bisa melindunginya juga"
" tapi.. "
Aku mendengar jelas pembicaraan mereka, apakah pasangan akan berbicara seperti itu antar satu sama lain, aku belum pernah memiliki pacar, jadi kata melindungi itu terasa seperti apa ya. memangnya mau perang perlu dilindungi, batin Sylvia.
"ayolah ketua tampan"
Sylvia mencoba bangkit, dia melihat temannya itu sedang merayu lelaki dihadapannya, sorot matanya begitu menggoda, bahkan tangannya sudah bersandar di bahu pria itu, wajah mereka amat dekat, Sylvia menahan tawa melihat ekspresi gugup sang ketua, pria berkacamata itu merona merah dan gemetar tapi dia menahannya.
Rose memainkan jari jemarinya di atas kemeja putih ketua, wajahnya semakin mendekat, gadis itu berbisik sesuatu di telinga ketua, entah apa tapi yang jelas laki-laki itu semakin merona. Sylvia hanya mematung melihat adegan di hadapannya, kali ini lebih jelas dan dekat.
Rose membuka perlahan kancing kemeja pria itu, mereka berciuman panas dihadapan orang lain, Sylvia menahan mual tatkala saliva saling tarik menarik antara bibir mereka. Jari lentik itu menelusuri d**a terbuka ketua, tangannya berhenti di atas kancing celana pria itu, HAH! Sylvia menutup mulut dengan kedua tangannya. Rose meremas pelan sesuatu yang menegang di bawah telapak tangannya, Sylvia tidak sanggup lagi, dia segera membalikkan badan, jantungnya berdetak kencang seakan mau lepas, keringat membasahi keningnya.
"gila, apa yang gadis itu lakukan!" batin Sylvia tegang. Dia tak berani menerka adegan apa di belakang punggungnya, suara jantungnya semakin tak beraturan, dia mulai salah tingkah dan kikuk, apa yang seharusnya dia lakukan, dia hanya bisa membatu.
"Hei, sudah selesai" gumam Rose ditelinga Sylvia, gadis lusuh itu masih saja bengong.
"kau tau sil, melawan laki-laki itu bukan dengan amarah, emosi, atau dengan perdebatan"
Sylvia mencoba menatap Rose yang santai sambil membersihkan tangannya dengan tisu basah, wajah Rose kembali seperti biasa, tadi dia terlihat garang dan menantang, sedangkan Sylvia, wajahnya merah seperti udang rebus.
"laki-laki itu mudah sekali menundukkannya, kau mau aku ajari ?"
Sylvia tidak merespon, tiba-tiba seseorang muncul dari balik pintu atap, siapa lagi itu.
"Ah maaf, Aku mencari ketua"
"ooh, ketua ke toilet di ujung sana !"
Rose menunjuk toilet atap yang berada di pojokan belakang, pria itu mengucapkan terimakasih sambil berlalu, sementara Rose masih berceloteh Sylvia menangkap pandangan Pria itu yang mencuri-curi ke arah mereka.
"aah dia cantik sekali"
gumam Vicko sambil memegang dadanya. Belum pernah dia melihat gadis cantik yang ramah, selama ini dia melihat banyak gadis cantik yang angkuh dan sombong, apalagi gadis dengan status sosial tinggi, Dia tau betul berapa harga jam tangan yang dikenakan Rose, belum lagi ikat pinggang, dan sepatu pantofelnya tapi gadis tadi menjawab pertanyaan sambil tersenyum lebar, wajahnya bersinar menyilaukan, bahkan gadis yang bersamanya tidak menjawab pertanyaanku, dia tidak cantik tapi ya sudahlah, pikir Vicko sambil menelusuri lantai atap mencari sosok Ketua yang tadi dia ikuti ke arah atap.
"ketua kau dicari pak kepala"
"i, iya.."
Vicko segera menyampaikan pesan ketika melihat ketua keluar dari toilet, Pria itu masih merapikan ikat pinggangnya, Vicko hanya menatap tanpa curiga, tapi wajah bersemu merah ketua jelas aneh menurutnya.
"ada apa ini ?" Batin Vicko sambil berlalu menuruni anak tangga, sekali lagi dia menoleh ke arah dua gadis yang masih asik mengobrol disana. Vicko tersenyum sendiri
" Hei, kau lihat apa?" Rose mengganggu andangan Sylvia yang menatap punggung kedua lelaki tadi, mereka menghilang menuruni anak tangga.
"siswa tadi, dia menatap mu terus"
"hahaha.. biarkan saja Sil, aku sudah biasa, tapi dia bukanlah tipeku"
"ah begitu.."
tentu saja ditatap banyak mata adalah hal biasa untuk gadis cantik seperti Rose, Sylvia tidak pernah merasakan itu wajar saja dia merasa aneh.
"hari minggu nanti aku akan menjemputmu, tuliskan alamat dan nomor henponmu disini"
Rose mengulurkan ponsel merk buah ternama, Sylvia gemetar menyambutnya, ini bagus sekali batin Sylvia, tapi dia menurut saja, Sylvia menaruh nomor ponselnya disitu.
piiip.... piiip..
dengan terburu-buru Sylvia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku, dia melihat nomor tak dikenal, ah ternyata Rose mencoba missed call, Sylvia menatap Rose. Wajah gadis cantik itu diam saat menatap ponsel hitam kecil di tangan Sylvia, dia tak menyangka masih ada yang memakai ponsel seperti itu, tapi dia berusaha menggaris senyum.
"itu ponselmu? ah iya, pasti itu ponselmu"
"Weekend nanti ayo pergi jalan-jalan denganku, kau tidak boleh menolak ya"
"kau tahu aku ini tidak punya seorang teman pun, aku sangat senang bisa mempunyai teman seperti mu, jadi jangan pernah menolak permintaanku yah..."
"apa kau menyukai makanan manis? aku sangat menyukai red velvet. "
Sylvia hanya diam saja menanggapi celotehan Rose, dia mengikuti langkah gadis itu menuruni anak tangga.
***
Walau ini adalah malam weekday tapi pengunjung toko kali ini bisa dikatakan ramai, Sylvia baru sempat menikmati kursi dengan busa yang sudah tak empuk lagi, dia meng-shutting down komputer toko, Sylvia meregangkan otot-otot tangannya yang kencang.
Sesaat diantara gerakan peregangan yang ia lakukan gadis itu teringat kejadian tadi siang di sekolah, matanya menerawang sambil menundukkan kepala di antara lipatan tangan di atas meja kerjanya.
--" Kau tidak apa-apa Rose ? " Aku melihat gadis cantik itu sedikit meringis saat aku mengoleskan salep untuk luka di punggungnya, walau pastinya itu nyeri tapi Rose masih saja tersenyum.--
" dia itu selalu saja tersenyum, padahal kalau sakitkan tidak apa menangis! " gerutu Sylvia sendiri sambil membenahi tas canvasnya dengan perlahan, wajahnya sedikit kesal teringat ekspresi Rose tadi siang. Sylvia memelankan gerakannya, dia masih terbayang Rose
--Sylvia menurunkan kemeja Rose yang dia singkap, kedua gadis itu lama terdiam. Sambil menikmati Sandwich sebagai santap siang yang dibawa oleh Rose.
" Rose, apa aku boleh bertanya ? "
" ah, tentu saja " Rose tak memindahkan pandangannya, dia mengunyah dengan sangat pelan bahkan bisa dikatakan dengan enggan, Sylvia menatap wajah cantik itu, dia menelan ludah, agak sulit sepertinya pertanyaanya keluar.
" kau mau bertanya apa Sil ? "
" aah.. emmmh... " batin Sylvia ragu. melihat sorot mata Rose yang sudah tidak sabar membuat Sylvia sedikit panik.
" a, apa.... kau.. kau dan ketua pacaran ?! "
Rose tertawa geli mendengar suara temannya yang setengah berteriak. tawanya pecah tak terkendali.
" hahaaahaaahaa.....hahaa, aduuuhh perutku.. perutku sakit! "
Sylvia hanya terdiam tatkala Rose yang tak berhenti tertawa geli, gadis cantik itu berusaha menahan gelak tawanya yang mulai membuat perutnya keram --
Sylvia menghembuskan nafas panjang, bebannya seolah makin berat saja
'bahkan mereka tidak pacaran,' batin Sylvia semakin bingung.
Sambil membereskan dan meneliti sekali lagi tiap sudut toko yang sudah gelap Sylvia bersiap meninggalkannya.
Gadis itu mengunci pintu utama dan merapatkan jaket traningnya, wajahnya masih seperti menyimpan sesuatu. Seperti apa kehidupan Rose sebenarnya? Sylvia penasaran.
Aku yakin tadi siang itu luka yang di sengaja, sudah dua kali aku melihat memar di badannya, ada apa sebenarnya ? batin Sylvia berdebat sendiri
jelas dia mulai mengkwatirkan keadaan temannya itu.
"Sylvia kau mau pulang ?"
Sepasang sepatu yang bertemu di ujung kakinya membuat perdebatan batin Sylvia berhenti
dengan perlahan dan enggan gadis itu mengangkat wajah, dia hapal betul siapa pemilik sepatu ini dan suara familiar ini tentunya!
"mau makan malam denganku ?" tepat sekali, siapa lagi!
Sylvia diam saja mendengar tawaran Andre, pria itu mulai mencoba tersenyum lebar, dia berusaha merayu Sylvia.
"ayolah, kali ini saja Siil.." pintanya sok merengek
langkahnya mengikuti kaki Sylvia yang tak peduli meninggalkannya.
"pleaaseee cantiikk..."
bulu kuduk gadis itu meremang, suara Andre yang di rupa sedemikian hingga membuatnya mendesir jijik.
Sylvia mempercepat langkahnya, dia mulai berlari kecil, hingga penyebrangan jalan bisa memisahkan mereka, Sylvia memacu kekuatannya meninggalkan pria itu.
Andre tersenyum sinis, dia menatap punggung gadis itu yang berlalu di ujung jalan, tangannya terangkat seolah melambai pada Sylvia.
"padahal Aku sungguh-sungguh padanya .."
gumam Andre pelan sambil menyisipkan kedua tangannya ke dalam saku celana jeans yang dia pakai.
Pria itu bersiul menyusuri jalan yang tadi dia lalui, kembali menuju toko keluarganya, sesekali dia tersenyum tidak jelas terbayang olehnya wajah Sylvia, gadis dengan semangat itu selalu mengganggu pikirannya.
"minimal Aku bisa bertemu dengannya, usahaku meyakinkan ayah tak sia-sia" gumamnya sekali lagi menghibur diri. Andre anak pak Felen, cukup menarik dan ramah. Bahkan terlalu berlebihan jika di katakan ramah dia lebih cocok disebut tebar pesona
Sylvia tak sedikitpun tertarik dengannya.
**
Sylvia memelankan langkah ketika jarak semakin jauh antara dia dan Andre. Dia harus membeli makanan untuk ibunya di rumah. Sebuah warung kecil menjadi tujuan Sylvia.
"Bu, bungkusan ayam bakar dan sayur tumis untukku ya!" Sylvia memesan makanan dan menunggu giliran. Karena di dalam tenda cukup ramai, gadis itu menunggu di luar.
Sylvia merapatkan jaket dan membuka tasnya. Dia meraih buku dan membaca untuk beberapa saat. Akan cukup lama menunggu pesanannya selesai, akan bagus sekali jika memanfaatkan waktu luang
Baru saja Sylvia akan fokus pada lembar bekas lipatan tanda halaman terakhir yang dia baca. Seseorang menabrak bahunya cukup keras.
"Ah sorry!" ujarnya. Sylvia diam saja dan segera meraih bukunya yang terjatuh. Sedikit kotor, dia menepis kecil dan mengangguk saja tanpa menoleh.
Vicko membaca judul buku. Dia memperhatikan wajah tak asing Sylvia. 'dia rajin juga' batin Vicko entah apa maksudnya, apa kagum atau mencibir.
"kau suka membaca novel klasik?" tanya Vicko. Sylvia sedang enggan, dan biasanya juga dia tak menanggapi orang asing, gadis itu menunduk dan mengangguk kecil.
Pria itu tak cukup untuk menarik perhatian Sylvia, gadis ini ternyata cuek juga! batin Vicko, dia segera melangkah meninggalkan Sylvia. Dia melambai pada rekannya di seberang jalan, menuju sebuah restoran dengan lampu kristal di dalamnya. Vicko sekali lagi menoleh ke belakang, Sylvia masih berdiri dan asik menikmati rangkaian kata dalam novel usangnya.
"Hay, apa kabar?" Sapa temannya sambil menepuk punggung Vicko.
"Berapa kali aku mengajakmu bertemu, tapi kau sepertinya sangat sibuk. Apa kau punya pacar?" Vicko menggeleng mendengar pertanyaan lelucon dari teman kecilnya ini.
"Aku tak punya pacar" jawab Vicko datar.
"setidaknya carilah satu, kalau aku satu tak akan cukup!"
"kau ini, bagaimana kalau pak presiden tahu. Citra beliau akan rusak!" temannya hanya terkekeh mendengar nasehat Vicko.
"tapi aku sedang menaksir seorang gadis" ungkapan Vicko membuat mata temannya membesar. Dia tak percaya.
"Apa! Apa ini benar Vicko!!" Vicko hanya tersipu malu.
"siapa orang beruntung itu?"
"apa maksudmu dengan beruntung?" Mereka tertawa bersama.
"Seorang gadis yang--" Vicko terlihat berpikir bersamaan kinerja otaknya Sylvia mengayunkan bingkisan kantong di tangannya, gadis itu melangkah ringan dengan.garis senyum di bibirnya. dia mengangkat kantong dan membayangkan senyuman ibunya yang menyambut dia pulang.
"Yang berbeda!" ujar Vicko menoleh ke dinding kaca, dia menghindari sorotan mata temannya yang pasti akan menggoda dan membuat Vicko kian salah tingkah. Sayang sekali, saat dia menoleh dia mendapati bayangan Sylvia yang melangkah ringan sambil tersenyum. Pemuda itu sampai mematung beberapa saat dan meraut wajah melongo.
"Dia juga cantik.." gumamnya tak begitu jelas, dia memperhatikan wajah Sylvia dengan seksama, gadis itu tersenyum begitu tulus. Senyuman indah yang mengganggu mata Vicko.
"Waaw! Kau berbicara seakan kau bisa melihat sosoknya di depan matamu!" teriak temannya mengejutkan Vicko. dia segera menoleh, mengalihkan pandangan. Tapi sekali lagi dia mencari sosok Sylvia yang sudah menghilang.
Deg!!
***
Mata Sylvia menangkap sosok Rose dari ujung jalan, beberapa detik dia tertegun dan hampir tak percaya tapi dia sangat yakin, jika gadis dengan dress dan angkle boot tadi adalah temannya, Sylvia mencoba mengikuti langkah Rose dengan jarak yang cukup jauh. kedua kali malam ini Sylvia tak percaya dengan penglihatannya
89'S CLUB
Gadis ini tak percaya saat melihat gedung di hadapannya, bagaimana mungkin pelajar seperti dia dan Rose bisa memasuki club hiburan malam, apa tadi dia salah lihat, ah tapi dia melihat jelas, temannya itu masuk kesini, Sylvia mencoba melangkah, dia penasaran
Dua orang pria berotot dengan kacamata hitam menghadangnya.
"identitasnya nona !"
Sylvia terlihat bingung, kedua pria itu menuntun kedua lengannya untuk meninggalkan tempat itu, gadis itu hanya pasrah, dengan raut menggerutu Sylvia hendak meninggalkan tempat itu.
"Kau sedang apa ?" Sylvia kaget mendengar suara seorang pria yang telah berdiri di depannya, wajahnya terasa asing untuk Sylvia. Pria itu menyadari kebingungan Sylvia.
"namaku Vicko, tadi aku melihatmu dari kejauhan, aku tidak ingin ikut campur, tadinya kupikir kau butuh bantuan .. "
Sylvia cepat menggeleng, dia tak mengeluarkan sepatah katapun, langkahnya cepat meninggalkan pria asing itu.
"sombong amat !" gerutu Vicko kesal. Dia mencuri lirik ke arah pintu club malam itu, tapi yang dia dapat hanya benteng kedua bodyguard penjaga pintu, pria itu segera melangkah menjauh.
Vicko menyalakan mobilnya, menginjak gas, segera ingin meninggalkan tempat itu, tapi spionnya menangkap bayangan Sylvia yang menyebrang jalan dengan seorang nenek di sisinya, Vicko memasang wajah bingung, apa yang sebenarnya gadis itu lakukan ? batinnya bertanya sendiri. Sylvia menghilang di ujung jalan, Vicko melanjutkan perjalanannya. kenapa akhir akhir ini Sylvia membuatnya peduli. Vicko sendiri heran.
Sementara
Rose menutup rapat ruangan privat dengan interior mewah, gadis itu membuka dua kancing atas dress merahnya, dia sengaja mengekspos bagian dadanya.
"sini sayang.." Tuan Abra memberi aba-aba dengan tangannya, menyuruh gadis seksi itu mendekat dan naik ke pangkuannya.
"perkenalkan ini Pak Vincent, dia pemilik gedung apartemen di pusat kota, kau ingin yang seperti apa sayang ?" Rose duduk di pangkuan Tuan Abra dengan manja, dengan menyibakkan rambut lalu tangannya meraih album hijau tua dengan banyak contoh ruangan di dalamnya, gadis itu asyik berdiskusi dengan kolega tuan Abraham.
"pilih lah yang kau suka sayang, Vincent tolong jangan kecewakan putriku yah.." pintanya sambil menuang sebotol wine, dan menyodorkan gelasnya pada Rose
gadis itu menegaknya dengan perlahan, mulutnya yang dibuat penuh membuat tetesan wine di ujung bibir seksinya, tetesan itu mengalir di sudut dagu yang lancip, jatuh tepat di belahan d**a, tingkahnya membuat Vincent segera membuang pandangan, siapa yang tahan dengan godaan sensual gadis itu.
mohon maaf apabila ada kesamaan cerita ini hanya fiktif belaka
keep stay guys