Malam semakin larut. Arga duduk di sisi ranjang Deswita yang sudah terlelap, tangannya terus mengelus kaki Deswita perlahan. Wajah Deswita tampak tenang meski sebelumnya ia mengeluh kesakitan. Arga memandangi wajah wanita itu, wanita yang dulu pernah ia cintai, dan kini terbangun dari tidur panjangnya dengan banyak luka yang belum terobati. Namun, benaknya tidak tenang. Bayangan wajah Alula yang mengantarnya pergi dengan senyum penuh pengertian tak henti menghantui pikirannya. Anak-anaknya yang mungkin sudah tertidur menunggu dongeng malam dari sang ayah. Rasa bersalah mulai menyergap dadanya, menyesakkan. "Alula, sayangku, maafkan aku, kumohon bersabarlah." suara batin Arga. Ia meraba saku celananya, hendak mengecek waktu dan menghubungi Alula. Tapi ponsel tak ada. Baru ia ingat—ponse

