***Akad nikah***
Papi yang menikahkan kami langsung.
Kujabat tangan papi dengan erat.
"Saya terima nikah, dan kawinnya Siti Nurlaila Safarina binti Omar Ibrahim dengar mahar tersebut tunai!"
Meski nama itu baru kuketahui sehari sebelum menikah, api Alhamdulillah, aku bisa lancar menyebutnya.
Saat nama mempelai wanita disebut, semua yang hadir di masjid tempat akad nikah terkejut.
Karena seharusnya, nama yang papi, dan aku sebutkan adalah Camila Radiana, bukannya Siti Nurlaila Safarina.
Saat akad selesai, mempelai wanita yang memakai kebaya putih, dan kain batik sebagai bawahannya, dibawa ke luar dari dalam.
Aku tak bisa menahan kepalaku untuk tidak menoleh, agar mataku dapat melihat mempelai wanitaku.
Tubuhnya mugil, jauh lebih kecil dari Camila, yang tubuhnya bak model.
Wajahnya tertunduk dalam, seakan lantai berlapis permadani lebih menarik dari sekelilingnya.
Dia duduk tepat di sisiku, aroma wangi dari melati hidup di kepalanya, menguar menyentuh penciumanku.
Dia tidak mengangkat wajahnya sedetikpun.
Bahkan, saat kusematkan cincin di jari manisnya, dan dia menyematkan cincin di jari manisku, dan kukecup keningnya, dia tetap tak mengangkat wajahnya.
Hanya saat difoto bersisian, dan juru foto memintanya mengangkat wajah, baru dia melakukannya.
Benar kata Papi, aku terkejut, karena tampilannya sama sekali tidak menunjukan kalau usianya sudah dua puluh delapan tahun.
Wajahnya sangat imut, serasi dengan tubuhnya yang mungil, seperti Bundaku, dan adikku, Safira.
Matanya besar, dengan bulu mata yang tebal, dan lentik, yang kuyakini asli tanpa perlu bulu mata palsu.
Bola matanya berwarna coklat, seperti bola mata Papi.
Hidungnya mungil tapi mancung.
Bibirnya mungil menggemaskan, seperti memanggil minta digigit.
Ya Tuhan ... otakku, kenapa dalam situasi seperti ini, malah terpikir ingin menggigit bibirnya, hhhh ....
Kutengokan kepala ke arah mempelaiku, ingin tahu seberapa putih lehernya.
Tapi aku lupa, ia mengenakan hijab di kepalanya, yang tentu saja juga menutupi lehernya.
Ya ampun ... otakku, geser barangkali, harusnya aku terluka, karena mempelaiku sesungguhnya, pergi meninggalkan aku di pelaminan, sehingga aku harus menikah dengan mempelai pengganti. Tapi, otakku malah memikirkan seputih apa lehernya.
Acara akad nikah di masjid selesai.
Nanti malam, resepsi akan dilaksanakan di sebuah gedung serbaguna milik WO yang menangani acara pernikahan kami.
WO nya milik Kak Camelia, kakak Camila sendiri.
Kedua keluarga berkumpul di rumah Papi, untuk acara makan-makan setelah akad nikah.
Sebelum acara makan, keluarga inti berkumpul. Papi yang bicara, menjelaskan semuanya, tentang kenapa bukan Camila yang menjadi mempelaiku, tapi Siti.
Papi memohon maaf kepada Ayah, dan Bunda, atas kejadian ini
Papi menjelaskan, kalau Siti juga anak kandungnya, tapi lain ibu dengan Camila.
Selama ini Siti tinggal di Kalimantan bersama nenek, dan kakeknya, orang tua dari ibunya, yang sudah meninggal tiga tahun lalu.
Tapi Papi tidak menjelaskan, mengapa Papi bisa menikah dengan ibunya Siti.
Mami hanya diam, dengan wajah tertunduk dalam.
Sesekali diseka airmata yang turun di pipi.
"Sekali lagi, saya atas nama seluruh keluarga, memohon maaf atas semua yang terjadi, saya tetap berharap, kejadian ini tidak mengurangi kedekatan di antara kita semua. Saya juga berharap, Satria, dan Siti, bisa menjalani rumah tangga mereka, sebagaimana mestinya, meskipun menikah tanpa saling mengenal lebih dulu, aamiin," kata-kata Papi diamini semuanya.
Kulirik wajah mempelaiku, yang duduk di sampingku.
Wajahnya menunduk.
Tak bisa kutebak, apa yang dirasakan, dan dipikirkannya.
"Siti ... angkat kepala Pian, Dang. Pian harus mengenal dahulu keluarga hanyar." (Siti ... angkat kepalamu, Sayang, kamu harus mengenal lebih dulu keluarga barumu)." Papi berbicara dalam bahasa daerah, yang tidak dimengerti keluargaku.
Papi mendekati Siti, lalu membawa Siti berdiri dari duduknya.
Semua ikut berdiri juga.
Papi membawa Siti mendekati Ayah, dan Bunda.
"Ini Ayah mertuamu, Ayah Sakti Pratama Putra Adams, dan ini ibu mertuamu, Bunda Sekar."
Siti mencium punggung tangan keduanya.
Sekar mencium kedua pipi Siti.
"Panggil kami Ayah, dan Bunda ya, Sayang," bisik Sekar.
Siti mengangguk
"Ya, Bun," jawabnya pelan.
"Ini Om Dika, Om Dika ini, kakak ipar dari Ayah mertuamu."
Satu persatu keluarga Adams diperkenalkan oleh Papi, pada Siti.
Aku bersyukur, karena seluruh keluargaku, bisa menerima dengan lapang d**a.
Aku bangga, menjadi bagian dari keluarga Adams.
Aku bangga, menjadi cucu almarhum Opa Steven, dan Oma Tiara.
Aku bangga, jadi putra Ayah, dan Bunda.
Aku bangga, juga bahagia dengan kesolidan keluarga kami pastinya.
**** bersambung****
*****SITI*****
Pesawat yang membawaku, dari bandara Syamsudinoor, di kota kelahiranku Banjarbaru, akhirnya mendarat.
Kujinjing tas kecil berisi pakaianku, sedang tas kecil bermerk hadiah dari Kak Camelia, tersampir di bahu. Aku datang ke kota ini, untuk menghadiri acara pernikahan Camila, adik satu ayah denganku. Kak Camelia, dan Camila, satu ayah, dan ibu, sedang aku, beda ibu.Ibuku adalah istri muda Papi, yang dinikahi saat Papi bekerja di tanah kelahiranku. Papi, dan Ibu bekerja di perusahaan tambang batubara yang sama.
Karena saat itu Mami tidak mau ikut ke Kalimantan, akhirnya Mami memberi ijin Papi untuk berpoligami. Saat Papi berhenti bekerja, dan harus kembali ke Jakarta, karena harus meneruskan perusahaan keluarga, Ibu minta cerai secara baik-baik dari papi. Saat itu, menurut Ibu, usiaku baru tiga tahun. Meski sudah bercerai, komunikasi mereka yang menyangkut diriku, tetap terjalin dengan baik. Papi tetap menafkahi aku, dan menengokku secara berkala, sehingga meski kami terpisah jarak yang cukup jauh, kami tetap bisa dekat. Sikap Mami istri Papi, selalu baik kepadaku, tiap aku dibawa Papi untuk liburan di rumah mereka. Begitu pula dengan sikap Kak Camelia, sampai sekarang komunikasiku dengan Kak Camelia berjalan baik.
Sedang dengan Camila, aku memang tidak terlalu dekat dengannya. Hubungan kami hanya sekedar tahu saja, kalau kami bersaudara.
Kulihat di kejauhan ada Papi yang sudah menungguku.
BERSAMBUNG