PART. 3

1687 Kata
Aku tidak tahu, kenapa harus Papi langsung yang datang menjemput, karena biasanya Papi meminta Pak Jani, supirnya yang menjemputku di bandara, setiap aku berkunjung ke rumahnya. Kupeluk erat lelaki tua yang darahnya mengalir di tubuhku. "Papi sehat?" tanyaku, saat aku melihat ada kesedihan di mata, dan raut wajahnya, juga kegelisahan pada sikapnya. "Papi sehat, Dang, kayapa habar ikam, nini wan kai, sehat jua kah?"tanya papi. "Alhamdulillah sehat semua, Pi " "Yuk kita bapandir di rumah haja, ikam pasti uyuh kalu, Dang." (Ayo kita ngobrol di rumah saja, kamu pasti lelah kan, Sayang). "Inggih, pi," jawabku. Di dalam mobil yang dikemudikan supir, Papi tampak sangat gelisah. "Ada apa, Pi? Ada yang mengganggu pikiran, Papi?" Kutatap wajah papi. Papi menghela nafas berat. "Mila kabur, Papi tidak tahu harus bagaimana, pernikahan tidak mungkin dibatalkan, karena itu akan membuat malu keluarga kita," jawab Papi lirih. "Kanapa Mila kabur, Pi?". "Mila bisi pacar nang lain, Dang, inya lari wan pacarnya nang itu." "Calon suaminya ini, bukannya pacar Mila?" "Ya, Satria pacar Mila, tapi ternyata Mila punya pacar lain juga." "Lalu ... kenapa Mila menerima pernikahan ini?" "Itu yang Papi tidak bisa mengerti." "Jadi acaranya akan dibatalkan?" Papi diam sesaat. "Tidak akan dibatalkan, kalau Idang mau bantu Papi." "Maksud pian, Pi, ulun kada paham." Aku tidak mengerti akan ucapan Papi. Sungguh aku tidak tahu, apa hubunganku dengan acara pernikahan Mila. Mata tua yang terlihat lelah itu menatap mataku. "Papi mohon, Idang bantu Papi." Aku bisa merasakan, tidak hanya mulut Papi yang memohon, tapi juga raut wajahnya, sinar matanya, juga sikapnya. "Ulun harus bantu apa, Pi?" Aku tidak juga mengerti arah pembicaraan papi. "Jadilah mempelai pengganti Camila, Papi mohon." "Maksud, Papi?" "Maksud Papi, bantu Papi menghindari rasa malu, pernikahan tak mungkin lagi dibatalkan, jadi Papi mohon kerelaanmu, untuk menikah dengan Satria." Suara Papi terdengar bagai petir di telingaku. "Pi?" "Papi mohon, tolong bantu Papi." 'Ya Allah ... mata tua itu memohon dengan sungguh-sungguh. Apa aku tega menolak permohonan papi?' "Tapi, Pi, bagaimana dengan Mami, Kak Camelia, dan keluarga yang lainnya?" "Ini keputusan yang diambil, setelah kami melakukan pembicaraan, jalan apa yang harus kami ambil, setelah tahu Mila kabur." "Lalu bagaimana dengan calon suami Mila?" "Papi akan bicara dengannya, setelah kamu setuju membantu Papi." "Kayapa wan Kai, Nini, Pi?" "Papi nanti yang bicara langsung dengan mereka, setelah pernikahan berlangsung." "Tapi ...." "Apa Idang bisi pacar di Banua?" Aku menggelengkan kepala. Aku sedikit trauma menjalin hubungan cinta. Pernah dua kali gagal menikah, cukup membuatku lebih hati-hati dalam urusan hati, meskipun banyak pria yang berusaha mendekati. "Dang ...." panggilan Papi menyadarkanku. "Papi mohon, bantu Papi," mohon Papi lagi, matanya terlihat berkaca-kaca. Aku hanya bisa mengangguk pelan. Begitu melihat anggukan kepalaku, Papi langsung memelukku erat. "Terimakasih, Dang, ikam persis almarhumah Mama' ikam, Dang." Tak terasa air mata jatuh di pipiku, saat Papi menyebut Mama'. Mama' wanita terhebat buatku. Setelah bercerai dengan Papi, Mama' tidak menikah lagi, hingga akhir hidupya. Mama' mengatakan, cintanya pada Papi sangat besar. Tapi mama' juga tidak ingin membuat papi terpisah dengan anak istrinya. Menurut Mama', cinta tak harus memiliki, cukuplah baginya, melihat papi bahagia, dan baik-baik saja. Kami tiba di rumah papi. Wajah-wajah sedih, tapi juga penuh harapan menyambut kedatangan kami. Mami memelukku erat, menangis terisak. "Papi pasti sudah cerita tentang Mila, tolong bantu kami, Siti, tolong bantu Mami, dan Papi. Mami mohon." Suara mami terdengar sangat lirih, dan bergetar. Mungkin mami sudah menangis semalaman. "Mi ... Siti sudah menyetujui untuk membantu Mami, dan Papi. Mami jangan sedih lagi ya." Kurenggangkan pelukan mami, kuhapus air mata yang membasahi pipinya. "Benarkah, terima kasih, Sayang, terima kasih." Senyum Mami terlihat bahagia, meski gurat kesedihan masih terlihat nyata di mata, dan wajahnya. Kak Camelia ikut memelukku. "Terima kasih, Siti," bisiknya. Aku hanya mengangguk. *** Hari ini, untuk pertama kalinya aku melihat seperti apa calon suami Mila. Aku menatapnya dari balik tirai jendela kamarku, yang menghadap langsung ke arah tempat ia memarkir mobilnya. Satria Adams. Turun dari mobilnya, yang aku kira pasti sangat mahal harganya. Tinggi. Putih. Rambutnya coklat, dan lebat. Dahinya sedikit lebar. Alisnya tebal. Matanya, aku tidak pasti dengan warna matanya, karena jarak pandang kami yang tidak terlalu dekat. Bahunya lebar. Dadanya yang tercetak di balik kemeja, terlihat bidang. Perutnya tidak buncit pastinya. Tangan, dan kakinya terlihat kokoh. Sempurna. Tampan, gagah, dan kaya. Ku dengar, dia cerdas. Jadi apa yang membuat Mila lari meninggalkannya? Apakah ada suatu kekurangan di balik kesempurnaannya? Pasti ... karena tidak ada manusia yang sempurna. Aku rasa dia seorang playboy yang tengah kena karma. Mungkin banyak wanita yang sudah disakiti hatinya, hingga sekarang saatnya dia merasakan sakit hati juga. Ponselku berbunyi. "Nini," kusentuh layar ponselku. "Assalamualaikum, Ni, ulun hudah sampai, sudah di rumah Papi." (Saya sudah tiba di rumah Papi) "Alhamdulillah, napa jadi kada manilpon Nini, Nini maka mahadang tilpon Idang mulai tadi, asa baganagan." (Kenapa tidak menelpon Nenek, Nenek menunggu telponmu, dengan cemas dari tadi) "Maaf, Ni, kada kaganangan manilpun, Nini." (Maaf, Nek sampai lupa telpon Nenek) "Kayapa habar kaluarga di situ, Dang, baik ja kah berataan?" (Bagaimana kabar keluarga di situ, baik saja semuanya?) "Inggih, sehat samuaan." "Alhamdulillah, ayu ja Dang ai, sudah dulu lah, Nini hauran masih nah, jaga diri baik-baiklah, bisa-bisa membawa diri di kampung urang assalamuallaikum." "Inggih, walaikum salam." --- Hari ini hari pernikahanku, benarkah pernikahanku? Bukankah ini pernikahan Mila, dan aku hanya mempelai pengganti. Mempelai pengganti .... apa yang aku rasakan saat menyebut kata itu, entahlah aku tak tahu. Apa aku ikhlas melakukannya? Ya aku ikhlas, demi Papi, demi Mami, demi keluarga ini. Meski aku sudah katakan pada Papi, aku hanya bersedia jadi mempelai pengganti, bukan istri pengganti. Artinya, selesai akad nikah, dan resepsi, selesai pula tugasku, dan aku bisa kembali ke kampung halamanku, Banjarbaru. Selama dirias, dan sampai selesai, aku tidak menatap cermin, karena orang Banjar bilang, pengantin tidak boleh melihat wajahnya di cermin, karena wanasnya pengantin, atau cantiknya aura pengantin, akan hilang ditarik cermin. Mungkin cuma mitos, tapi aku tetap melakukan, sesuai apa yang sudah jadi kebiasaan di kampung halamanku. Meski ini bukan pernikahan yang kuinginkan, tapi tetap saja ini pernikahan pertamaku. Pertama ... apa akan ada yang berikutnya, entahlah ... hanya Allah yang Maha tahu, jawabnya. *** Akad nikah sudah diucapkan, itu artinya, saatnya aku ke luar. Sungguh, aku merasa takut mengangkat wajahku. Ya Allah ... kenapa hatiku berdebar tak menentu, dan debaran itu semakin kuat, saat dia meraih jemariku, untuk memasangkan cincin kawin kami. Aku tidak tahu, kenapa cincin ini pas di jari mungilku, sedang aku tahu, Mila jauh lebih tinggi, dan lebih besar dariku. Ya Allah ... dia mengecup keningku. Seumur hidup, ini pertama kalinya seorang lelaki menyentuhku dengan bibirnya. Aku memang pernah dua kali hampir menikah, tapi jangan berpikir aku membiarkan mereka menyentuhku. Usai akad nikah, Papi meminta maaf kepada keluarga besar Adams, juga memperkenalkanku pada anggota keluarga Adams. Aku terpesona pada keluarga mereka. Tak ada keraguan sedikutpun terlihat di mata, dan sikap mereka, untuk menerimaku sebagai anggota baru keluarga. Aku sekarang tahu, dari mana Satria mewarisi apa yang ada pada dirinya, yaitu dari ayahnya. Dia sangat sangat mirip dengan ayahnya, terutama bola matanya yang biru itu. *** ***Author*** "Caca mau kenalan juga, dong!" Salsa mendekati Siti, dan papinya. "Ooh,vCaca mau kenalan juga, Caca harus panggil Acil Siti ya. Acil itu artinya Tante." Papi Siti tersenyum ke arah Salsa. "Hallo, Acil Siti, kenalkan aku Caca, anaknya Bunda Fia, dan Ayah Safiq, keponakannya Uncle Satria," cerocosnya, seraya mengulurkan telapak tangan. Siti menyambut uluran tangan Caca. "Hallo juga, Caca, kalau ini yang bertiga siapa namanya?" tanya Siti. "Aku, Mas Cakha, Masnya Caca, ini Aunty Dina, dan Dini." "Ooh ... jadi, Caca, dan Cakha, kakak adik, kalau Dina, dan Dini, kembar." New EBI (Empat Bocah Imut) mengangguk serempak. "Siti," Sekar memanggil Siti dengan lembut. "Ya, Bun." "Sebaiknya kamu istirahat, nanti malam saat resepsi, kamu harus punya tenaga ekstra, untuk berdiri menyalami tamu," kata Sekar. "Oh, baik, Bun," jawab Siti. "Acil ke kamar dulu ya, Sayang, nanti kita ngobrol lagi." Siti mengusap kepala New EBI. "yaaahhh ...." sahut keempat bocah itu. "Eeh, enggak boleh begitu, biar Aunty istirahat dulu," tegur Sekar. "Bukan Aunty, Nenek, tapi Acil!" protes Salsa. "Acil?" Sekar menatap Siti dengan pandanga bertanya. Siti tersenyum lembut. "Acil itu panggilan Tante, dalam bahasa Banjar." Siti menjawab kebingungan Sekar. "Ohh ... ya, ayo biarkan Acil Siti istirahat dulu." Sekar membawa cucu, dan keponakannya menuju ruang makan. Siti membuka pintu kamar, dan ia terjengkit kaget, karena Satria tampak terbaring di atas tempat tidurnya, dengan hanya mengenakan celana pendek, dan kaos oblong saja. 'Ya Allah .... Aku harus bagaimana? Mengusirnya? Itu sungguh tidak mungkin. Tapi berduaan di kamar dengan lelaki asing ini juga tidak mungkin. Jadi bagaimana? Aku harus melepas, dan mengganti pakaianku. Aku juga ingin berbaring untuk melepas penatku. Tapi lihatlah, dia sudah lebih dulu tidur di atas ranjangku.' "Kenapa masih berdiri di situ? Takut ya Mbak sama aku?" Satria membuka matanya dan menatap langsung kearah Siti. Mbak? Dia memanggilku Mbak? Ya Allah ... apa aku terlihat sangat tua di matanya. Aku tahu aku lebih tua darinya, tapi hanya dua tahunkan, masa ....' "Kok malah melamun sih, Mbak, percaya deh aku tidak menggigit kok, aku cuma suka mengisap, diisap nggak sakit kan?" Satria menaikan dua alisnya. 'Ya Allah..ini bule omongannya aneeehhhh.' "Mbak nggak bisa ngomong ya, sebaiknya ganti baju, Mbak, biar Mbak bisa istirahat untuk cadangan tenaga, buat perang kita nanti malam" Satria tersenyum menggoda. 'Ya Allah ... nih bule enggak ada sedih-sedihnya apa ya, ditinggal calon istrinya kabur, kok malah senang-senang saja. Apa mungkin karena hal ini, Mila meninggalkannya.' Tanpa disadari Siti, Satria sudah berdiri di hadapannya. "Buka mulutmu, Mbak!" perintah Satria, dan gilanya Siti menuruti perintah itu tanpa disadarinya. "Punya lidah kok, tapi kok susah bicara ya?" gumam Satria sambil menengok ke dalam mulut Siti, membuat Siti tersadar kalau jarak mereka begitu dekat. Siti mundur beberapa langkah, tangannya menyilang di d**a. Satria tertawa dengan nyaring. "Jangan takut, Mbak, aku nggak suka memaksa perempuan kok, paling nanti Mbak aku modusin hahahaha!" Satria berjalan menuju pintu kamar. "Silakan kalau Mbak mau ganti baju, atau istirahat, aku ke luar dulu, oh ya jangan lupa kunci pintunya ya." Satria mengedipkan sebelah mata ke arah Siti. 'Ya Allah ... seumur hidupku, baru kali ini bertemu dengan lelaki seperti ini. Bule songong! Hhhhh ... untung aku cuma jadi mempelai pengganti, bukan istrinya beneran, coba kalau beneran bisa stress aku, hhhh ....' Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN