"Mbak ... Mbak Siti tolong buka pintunya dong." Satria memanggil Siti dari depan pintu kamar.
Siti yang sudah mengganti baju dan menghapus riasan di wajahnya membukakan pintu.
Satria masuk ke dalam kamar.
"Mbak, setahu aku ya, kalau di depan suami boleh kok kerudungnya dibuka."
Siti diam saja, tidak menanggapi ocehan Satria, dia asik merapikan tempat tidur.
"Mbak, suaranya digondol maling, ya?" Satria mendekati Siti, duduk di atas tempat tidur yang spreinya baru diganti Siti.
Siti yang sedang mengganti sarung bantal tetap tidak bersuara.
Karena gemas dengan sikap Siti, Satria menarik Siti hingga Siti jatuh telentang di atas tempat tidur.
Kerudung yang menempel di kepalanya dilepaskan Satria dengan menarik ujungnya yang hanya dililitkan Siti di lehernya.
"Awwww ... Kamu mau apa?! Lepasin!!" mata Siti melotot ke arah Satria.
"Bener dugaanku. Lehermu putih banget, Mbak," gumam Satria menatap tak berkedip ke arah leher Siti.
Siti berusaha bangun, tapi tangan dan kakinya sudah dikunci Satria.
"Kamu mau apa? Lepasin!! Kalau enggak, Aku bakal teriak!!" ancam Siti dengan pandangan tajam.
"Asik dong ... kalau Mbak teriak, kita jadi tontonan gratis, ya, kan." Satria mengedipkan sebelah matanya.
'Ya Allah ... lelaki macam apa yang baru saja menikahiku ini? Bule songong ... bule m***m ... aakkhhh ....'
Siti menutup matanya sambil menggelengkan kepalanya.
Satria menurunkan kepalanya, tepat saat Siti membuka matanya.
Semua terjadi begitu cepat, tiba-tiba Siti merasa Satria menggigit bibir bawahnya, lidahnya masuk ke rongga mulutnya.
Mata Siti megerjap-ngerjap sesaat.
Ingin bergerak sama sekali tak bisa, ia hanya bisa mengerjapkan matanya.
Dilihatnya mata Satria terpejam, hidung Satria menyentuh hidungnya.
Siti bisa mencium aroma tubuh Satria yang terasa membuai penciumannya.
Meski Siti tak menanggapi ciumannya, tapi Satria terus mempermainkan bibir dan lidah Siti.
Satria yakin Siti tidak menanggapi ciumannya bukannya karena tidak suka, tapi Satria yakin karena Siti belum pernah berciuman sebelumnya.
Sebagai playboy cap rajawali Satria tahu benar bibir yang masih orisinil dengan yang sudah pernah dicium.
Tapi yang membuatnya bingung, masa iya sudah setua ini Siti belum pernah dicium.
Siti benar-benar tak bisa bergerak.
Saat Satria melepas ciumannya Siti ingin memakinya, tapi yang keluar dari mulutnya justru suara yang seumur hidup belum pernah dikeluarkannya.
"Enghhh …" Siti mendesah pelan saat Satria mengecup lehernya di bagian bawah telinganya.
'Ya Allah ... suara apa barusan yang aku keluarkan dari mulutku?
Tapi aku tidak bisa menahannya sama sekali ... bule songong ini sudah membuatku seperti orang paling oon sedunia.'
Tok ... tok ... tok ... tok ….
"Abang ... Siti ..." suara Sekar di luar pintu.
"Bunda ... lepasin!" gumam Siti.
"Biarin," jawab Satria tidak mau melepaskan Siti.
"Ya Allah ... lepasin, Bang bule!" desis Siti.
"Ulangi lagi," bisik Satria di telinga Siti, digigitnya telinga itu pelan.
"A ... a ... apa?" tanya Siti dengan suara bergetar.
"Mbak, tadi panggil aku apa?" Satria mengecup lagi leher Siti dengan kuat.
"Enghh ... eehh ... le ... lepasin!" desis Siti.
Dorrr ... dorrr ... dorrr ….
"Uncleeee ... Aaciiillll ... bukaiiin dooong!" teriakan Caca membuat Satria terjengkit kaget.
Satria berguling turun dari tubuh Siti.
"Bukain, Mbak!" perintahnya.
Siti segera bangun.
Kerudungnya yang terlepas segera diletakan lagi di kepalanya dan ujungnya disampirkannya di bahunya.
"Ya, Bun …" Siti membuka pintu sedikit.
Ebi langsung merangsek masuk melewati Siti.
"Uncleee …" keempatnya naik ke atas tempat tidur, mereka ikut menggeletakan tubuh mereka di atas tempat tidur.
Satria langsung menggelitik keempatnya secara bergantian, membuat kamar dipenuhi teriakan dan tawa mereka.
"Maaf ya Siti, mereka memang begitu kalau sama Abang," kata Sekar. Sesaat mata Sekar menatap ke arah leher Siti yang tak tertutup kerudungnya.
'Ya Allah ... Satria ... belum apa-apa sudah bikin stempel aja, sepertinya si abang lebih sakti dari Sakti ayahnya, hhhhh ….'
Siti merasa jengah dengah arah tatapan Sekar, dirapikannya kerudungnya hingga menutupi lehernya.
"Ayah, Bunda, dan yang lain mau pulang dulu ya, nanti berangkat bareng ketempat resepsi," kata Sekar.
"I … iya ... Bun," jawab Siti.
"Sakha, Salsa, Dina, Dini, ayo Sayang, kita harus pulang sekarang." Sekar memanggil Ebi.
"Enggak usah pulang dong, Nek, kita mau disini aja," pinta Salsa.
"Enggak bisa gitu, Sayang, kita harus pulang! Ayo turun dari situ!"
"Iya ... cepat sana pulang, jangan ganggu Uncle. Uncle sama Acil Siti mau bikin adik." Satria membangunkan keempatnya dari rebahannya.
"Haaahh?! Abang mau punya adik, ya?" tanya Dina.
"Mau dong … tapi tanya Acil Siti mau enggak punya adik juga," jawab Satria.
Wajah Siti spontan merona.
"Abaaaang jangan menggoda istrimu, Bang. Lagian ini anak-anak kenapa diajak ngomong begituan sih!" tegur Sekar yang tahu benar rasanya digoda suami di depan mertua.
"Hahaha ... Bunda, ingat masa lalu ya, Bun?" Satria tertawa karena ingat cerita ayahnya akan masa lalu mereka.
"Acil Siti mau ya punya adik sama Uncle … biar tambah rame, iya kan, Mas ... Aunty?" Salsa minta dukungan yang lainnya.
Siti bingung harus jawab apa.
Satria tertawa, Salsa persis bundanya. Dulu Safira selalu jadi pemimpin mereka padahal usianya paling muda.
"Sudah! Ayo kita pulang!"ajak Sekar.
"Bentar dulu, Nenek … Acil Siti belum jawab." Salsa belum menyerah.
Siti menatap Sekar, Sekar mengangguk dengan senyum manis di bibirnya.
Nyesss ... senyum itu membuat hati Siti terasa damai.
Siti menganggukan kepalanya pelan.
"Horeee ... pu-nya adik ... pu-nya adik," sorak keempatnya seraya berlari menjauhi kamar.
"Kamu harus mulai terbiasa dengan mereka, Sayang," kata Sekar.
"Iya, Bun.”
"Bunda pulang dulu ya, Abang … Bunda pulang."
"Ya, Bun,” sahut Satria seraya meraih dan mencium punggung tangan bundanya yang diikuti Siti juga.
Satria menutup pintu.
"Aaaasiik, punya adiik," bisik Satria di telinga Siti.
Siti melotot ke arah Satria.
"Hati-hati, Mbak," kata Satria.
"Hati-hati apa?" tanya Siti galak dengan mata semakin melotot.
"Hati-hati bola matanya copot," kata Satria sambil nyengir.
'Ya Allah ... dasar bule songong!'
"Aku ingin bicara serius sama kamu," ucap Siti serius.
"Bicaralah."
"Apa Papi sudah bilang sama kamu, kalau aku minta pernikahan kita hanya sampai resepsi, setelah itu kita harus berpisah dan melanjutkan lagi hidup kita seperti sebelum pernikahan ini"
"Ya … akupun tadinya ingin seperti itu, tapi aku rasa, aku berubah pikiran," jawab Satria.
"Maksudmu?"
"Pernikahan bukan untuk sebuah permainan. Mbak pasti lebih tahu dari aku soal itu. Kita sudah menikah, dan aku tidak berniat untuk melanjutkan hidupku sendirian, karena aku sudah menikahi Mbak secara sah menurut hukum agama, dan hukum negara, maka aku ingin Mbak menemaniku," jawab Satria dengan serius.
Siti menatap Satria dengan lekat.
Bule songong ini bisa serius juga ternyata.
"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Satria.
Wajah Siti memerah.
"Kita baru bertemu hari ini, kita belum saling mengenal, dan aku rasa kita punya cara berbeda dalam menjalani dan memandang hidup, perbedaan yang tidak mudah dipersatukan."
"Menurutku perbedaan justru memberi banyak warna dalam hidup kita. Tinggal memupuk tenggang rasa, saling mengerti, dan memahami, sehingga perbedaan kebiasaan bukan lagi jadi sesuatu yang harus dipermasalahkan, yang penting ada niat dari hati kita."
"Tapi aku belum siap untuk itu."
"Kita tidak akan pernah tahu kita siap atau tidak kalau kita tidak mencobanya."
"Tapi pernikahan bukan untuk coba-coba."
"Mbak lupa? kita sudah menikah, dan kita tinggal menjalani semuanya."
Siti terdiam.
"Tapi aku tidak bisa tinggal disini. aku harus kembali. Ada nenek kakekku yang harus kuberi penjelasan tentang pernikahan ini."
"Apa Mbak punya pacar di sana, Mbak Siti?" tanya Satria tiba-tiba dengan mata lekat menatap wajah Siti.
BERSAMBUNG
200 komen untuk menuju Kawin Paksa.