Tujuh

1545 Kata
Fiona dan kedua orang tuanya pun telah sampai di restaurant. Mereka memasuki restaurant dan mencari keberadaan keluarga Dicka yang telah sampai duluan. “Ayo sayang jalannya cepetan dikit dong.” Ucap mama Rani. “Dih mama bawel banget sih. Mama lihat dong ini, Fiona susah jalannya. Ribet ini ma, astaga. Pelan-pelan aja nggak papa sih.” Fiona yang merasa kesusahan berjalan memakai sepatu high heels. “Hehehe. ya udah ayok sini mama gandeng.” Mereka pun akhirnya menemukan meja dimana keluarga Dicka berada dan berjalan menghampirinya. “Selamat malam Tn. Devan, Ny. Siska, dan Shahia.” Sapa Mama Rani. “Ah selamat malam dokter Anggi. Mari silahkan duduk.” “Terima kasih. Apa kalian sudah lama menunggu?” “Tidak. Kami juga baru saja sampai.” “Ahh ya kenalkan ini suami saya Andra, dan ini anak saya Fiona.” “Ahh, salam kenal Tn. David, salam kenal Fiona. Saya Devan, ini istri saya Siska, dan ini putri bungsu saya Shahia.” “Salam kenal semua.” Mereka saling sapa dan saling melempar senyum. Namun ada seseorang yang sejak tadi menatap tajam ke arah Fiona, siapa lagi kalau bukan Shahia. Shahia seperti merasa pernah bertemu dengan Fiona, tapi ia masih ragu, akhirnya Shahia memberanikan diri untuk bertanya. “Kak Fiona?” Panggil Shahia. “Iya saya.” “Kakak masih inget Shahia nggak?” Fiona pun terdiam dan berpikir sejenak untuk mengingat-ingat. “Ahh, apakah kamu Shahia yang waktu malam itu?” Tanya Fiona. “Iya kak. Aku Shahia yang pernah kakak tolong waktu itu. Syukurlah, ternyata benar kak Fiona adalah kakak Fiona yang aku kenal. Aku sempat ragu, karena….” Shahia menghentikan ucapannya. “Karena kakak terlihat sangat berbeda sama waktu itu ya?” “Hehehe iya kak.” Shahia pun memberitahu kedua orang tuanya bahwa Fiona inilah yang telah menolong Shahia saat Shahia dihadang oleh ketiga preman malam itu. Papih Devan dan Mamih Siska sangat berterima kasih kepada Fiona. “Terima kasih banyak Fiona, karena sudah menolong Shahia. Saya sangat bangga calon menantu saya selain sangat cantik, ternyata sangat hebat.” Ucap Papih Devan. “Sama-sama om. Waktu itu kebetulan saja saya lewat.” “Oh ya kamu kuliah dimana Fiona?” Tanya mamih Siska. “Saya kuliah di Universitas Negeri Jakarta tante.” Jawab Fiona. “Loh, sama dengan anak tante juga dong. Kamu ambil fakultas apa? Semester berapa?” “Saya ngambil jurusan seni tante. Baru semester enam.” “Kalau anak tante ambil jurusan bisnis, dan sudah semester akhir. Tinggal nyusun skripsi.” “Eh tapi ngomong-ngomong dimana Dicka? Apa dia tidak ikut?” Tanya mama Rani yang sejak tadi tak melihat keberadaan Dicka. “Ahh, dia sedang di toilet. Mungkin sebentar lagi datang.” Jawab mamih Siska. Tak lama kemudian datanglah Dicka dari arah toilet. “Nah, itu dia kak Dicka.” Ucap Semua orang pun menatap kearah Dicka tak terkecuali Fiona. “Hah? Tunggu? Bukankah dia cowok mulut lemes yang hampir nabrak gue? Jangan bilang kalo…?” Batin Fiona terkejut. Dicka yang tak sengaja bertatapan mata dengan Fiona pun memperlambat langkahnya. “Hah? Kek kenal cewek itu? Tapi dimana ya?” Ucap Dicka dalam hati. “Dicka, cepat kesini. Kamu darimana saja? Kasian tamu kita menunggu lama.” Ucap Papih Devan. “Halo dokter Anggi, om. Maaf menunggu lama.” Ucap Dicka sembari menatap ke arah Fiona. “Halo Dicka. Panggil tante Rani aja, atau mama Rani juga boleh. Karena nama saya sebenarnya adalah Rani. Kalau Anggi itu hanya saat di rumah sakit atau saat sedang jadi dokter saja. Hehehe. Oh ya kenalin ini suami tante, dan ini anak tante namanya Fiona.” “Oh iya tente Rani.” “Dia bukannya cewek aneh itu? Cewek urakan yang hampir nabrak gue? Tapi kenapa jadi cantik dan feminim gini? Ah keknya nggak mungkin deh.” Batin Dicka yang masih terus menatap Fiona. “Kenapa lo liatin gue kayak gitu? Lo bukannya cowok mulut lemes itu ya? Yang hampir nabrak gue.” Ketus Fiona yang risih karena terus ditatap Dicka. “Fiona!!! Jaga bicaramu!!” Gertak mama Rani. “Kalian sudah saling kenal?” Tanya papih Devan. “Ahh Shiittt… ternyata dia memang cewek aneh itu.” Gerutu Dicka. “Lo cewek aneh urakan yang ugal-ugalan di jalan waktu itu? Ya elah kesambet apa lo dandan kek beginian? Hahaha... nggak cocok banget sama tingkah laku lo.” “Ih nyebelin banget deh lo. Dari awal udah julit aja. Gue mau ketemu calon suami gue.” “Fiona, Dicka adalah calon suami kamu.” Ucap mamih Siska. “Dan Dicka, Fionalah yang akan menjadi istri kamu.” “APPPAAAHHHH?” Ucap Dicka dan Fiona seretak dengan mata yang sama-sama membola. “Ma… yang bener aja dong. Dia itu cowok yang hampir nabrak Fiona waktu itu yang Fiona ceritain.” Bisik Fiona pada mama Rani. “Benar Fiona. Dia adalah cucunya nenek Lusi yang dijodohkan dengan kamu. Dialah calon suami kamu. Kemu nggak boleh menolak. Ingat ini pesan mendiang nenek Lusi, dan kamu sudah berjanji kepada nenek Lusi untuk menuruti permintaannya.” “Pih… Dia calonnya Dicka? Yang benar aja dong pih. Dia tuh anak gang motor dan urakan. Papih tahu sendiri Dicka kan anak baik dan sopan. Dia itu wanita jadi-jadian pih. Bagaimana kalau orang atau temen-temen Dicka tahu calon istrinya Dicka seperti itu? Bisa rusak reputasi Dicka.” Bisik Dicka pada papih Devan. “Tapi dia cantik kan? Ya udah, tugas kamu ngerubah dia jadi wanita sejati. Ingat! Ini pesan nenek, kamu nggak boleh ngecewain nenek.” “AKU NGGAK MAU NIKAH!!!” Teriak Dicka dan Fiona barengan. “Tapi kamu sudah berjanji pada nenek Lusi, Fiona. Janji adalah hutang. Jika kamu tak membayar hutangmu maka kamu akan sangat berdosa dan kamu harus bertanggung jawab di akhirat nanti.” “Ma… jangan bawa-bawa dosa dan akhirat dong.” “Dicka… kamu harus menyetujui perjodohan ini. Jika tidak kamu akan menjadi cucu yang durhaka.” “Tapi pa…” “Bisa nggak bisa… Mau nggak mau… Kalian tetap harus menikah. Titik.” Tegas papih Devan. “Iya Fiona. Ingat, kamu sudah berjanji.” “Ya udah iya deh iya.” Ucap Dicka dan Fiona kompak lagi. “Tuh kan. Kalian baru kenal aja udah kompak begini.” Goda mama Rani. “Itu namanya jodoh.” Sahut papih Devan. “Yeeeee… kak Fiona akan jadi kakaknya Shahia.” Shahia terlihat sangat senang mendengar Fiona dan Dicka setuju untuk menikah. “Iya Shahia. Mamih juga ikut senang mereka menyetujui perjodohan ini. Mamih sangat yakin kalau nak Fiona anak yang baik dan sangat cocok dengan Dicka.” Ucap mamih Siska. “Kalau begitu kita harus segerakan yang memang harus disegerakan.” Ucap papa Andra. “Maksud papa?” Tanya Fiona. “Ya kita bahas sekalian kapan acara pernikahannya?” “Hah? Langsung nikah pa?” “Iya dong sayang. Bukannya kalian berdua sudah setuju?” “Ya tapi masa langsung nikah pa. Tunangan dulu aja gimana?” Protes Fiona. “Nggak usah, kelamaan.” Sahut mama Rani. “Iya saya juga setuju. Lebih baik langsung nikah aja.” Imbuh papih Devan. “Ya sudah terserah kalian aja. Tapi Fiona maunya acara pernikahannya diam-diam dan sederhana aja. Nggak usah besar-besaran.” “Dicka juga minta nikahnya nggak usah rame-rame.” “Iya gampang itu.” “Kalau begitu bagaimana kalau bulan depan?” Usul papih Devan. “Bulan depan?” Ucap Dicka dan Fiona serentak. “Iya bulan depan. Tujuan baik itu jangan ditunda-tunda.” “Tapi pih, Dicka kan belum lulus kuliah, belum wisuda.” “Nggak papa. Toh kamu juga cuman tinggal skripsi aja. Nanti pas wisuda malahan kamu sudah ada yang mendampingi.” “Ya sudah terserah kalian saja.” “Eh tapi bukannya kalian satu kampus ya? Masa kalian belum pernah ketemu satu sama lain sih di kampus.” Tanya papih Devan. “Nggak tau pih. Mungkin pernah. Tapi Dicka lupa dan nggak terlalu memikirkannya. Lagian Dicka kan ke kampusnya juga jarang banget sekarang.” “Fiona pun. Terlalu banyak manusia di kampus. Fiona tidak begitu memperhatikan siapa yang pernah Fiona temui.” “Ah ya sudah. Yang penting sekarang kalian sudah saling mengenal.” Dicka dan Fiona sudah pasrah dengan keputusan orang tua mereka. Karena mau bagaimanapun mereka memberontak, tetap saja akan kalah dengan orang tua mereka masing-masing. “Kalau begitu semuanya biar keluarga kami yang urus.” Ucap Papih Devan. “Baiklah.” Malam pun semakin larut. Mereka pun mengakhiri perbincangan malam ini. Keluarga Fiona berpamitan terlebih dahulu dan meninggalkan keluarga Dicka. “Pih… papih yakin mau nikahin Dicka sama cewek jadi-jadian itu?” Tanya Dicka lagi setelah keluarga Fiona pergi. “Yakin dong. Lagi pula ini kan pesan terkahir dan yang diinginkan nenek kamu.” “Tapi kan dia itu anak gang motor pih. Dia itu wanita jadi-jadian.” “Seperti yang papih bilang tadi, tugas kamu ngerubah dia ke kodratnya sebagai wanita.” “Asal kak Dicka tahu, kak Fiona itu baik, keren, cantik lagi. Shahia nggak nyangka kak Fiona akan jadi kakaknya Shahia.” “Iya, mamih juga setuju. Menurut mamih, Fiona itu anaknya baik, apa adanya, nggak neko-neko.” “Hemm…. Syusah kalau semua udah kroyok begini. Dicka nggak bisa apa-apa, selain nurut sama kalian.” “Kamu memang harus nurut. Lihat saja nanti, kamu pasti juga akan jatuh cinta sama Fiona.” TBC *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN