Tiga hari kemudian.
Sore ini Dicka baru saja selesai bertemu dengan dosen pembimbingnya. Saat hendak menaiki mobilnya, tiba-tiba seseorang berteriak memanggil namanya.
“DIIICCKKAAAA…”
Dicka menoleh ke arah sumber suara. Setelah mengetahui siapa tersangkanya, Dicka menghela nafas panjang. Dicka sangat malas meladeni orang itu, siapa lagi kalau bukan Asna, wanita yang terus saja mengejarnya.
“Hai Dicka, kamu mau pulang ya?” Tanya Asna.
“Iya.” Jawab Dicka ketus.
“Kok buru-buru amat sih. Bagaimana kalau kita pergi cari makan dulu?” Ajak Asna.
“Nggak ah.”
“Please… Kali ini aja mau ya? Sekali aja kamu terima ajakan aku.” Mohon Asna dengan muka memelas.
“Aduh gimana ya… Tapi aku sudah ada janji.” Dicka mencoba mencari alasan untuk menolak ajakan Asna.
“Janji apa? Aku tahu itu hanya alasan kamu aja kan?”
Tiba-tiba ponsel Dicka berdering. Dicka pun segera melihat layar ponselnya, dan ternyata nomer baru yang menelpon. Tanpa pikir panjang Dicka langsung menekan tombol hijau untuk menerima panggilan itu.
“Hallo?? Siapa ini?”
“Ini gue Fiona.”
Mendengar nama Fiona yang menelpon, Dicka segera menjauh dari Asna, agar tak terdengar olehnya.
“Maaf aku terima telpon dulu ya.”
“Dapet nomer telpon gue dari mana?” Tanya Dicka pada Fiona.
“Dari mama gue.”
“Kok mama lo tahu nomer telpon gue? Dapet dari mana?”
“Astaga… Emang bener-bener lemes banget ya tu mulut. Gue juga nggak tahu mama dapet nomer lo dari mana. Kalau lo pengen tahu, nanti gue kasih nomer mama, lo tanya aja sendiri.”
“Nggak usah. Tapi kesambet apa lo tiba-tiba telpon gue? Jangan bilang kalau lo udah mulai jatuh cinta sama gue?”
“Dasar manusia super PD. Dih sorry aja ni ya, sampai kapanpun gue nggak akan pernah jatuh cinta sama lo. Tujuan gue telpon lo, karena gue mau ketemu sama lo.”
“Duh, calon istri gue mau ngajakin ketemuan. Ada apa? Udah kangen ya sama gue?”
“Ya Tuhan….” Fiona menghela nafas panjang mendengar ucapan yang dilontarkan Dicka yang membuatnya ingin sekali muntah. “Tujuan gue mau ketemu sama lo adalah karena gue pengen ngebahas tentang perjdohan kita. Jujur, lo nggak mau nikah sama gue kan?”
“Ya jelas gue nggak mau punya istri aneh kayak lo lah. Gue masih waras kali. Ya kali gue punya istri anak gang motor kayak lo. Asal lo tahu, lo bukan tipe gue banget.”
“Dih, bilang nggak mau nikah sama gue, tapi manggil gue calon istri. Gue tahu, pasti dari lubuk hati lo yang paling dalam, lo ngarepin gue jadi istri lo kan?”
“Huuueeekkk… Dalam mimpi lo.”
“Jadi gimana mau ketemu nggak nih?”
“Iya iya bisa. Bawel. Mau ketemu dimana?”
“Di Caféole sekarang juga. Gue udah disini.”
“Baiklah. Gue akan kesana sekarang juga.” Jawab Dicka tanpa ragu. Karena ini juga kesempatan Dicka untuk menolak ajakan Asna.
“Semangat bener lo mau ketemu gue.”
“Terserah kata lo. Gue siap-siap kesana sekarang.”
Dicka mematikan telponnya dan kembali mengahmpiri Asna yang masih setia menunggunya. Sebenarnya Dicka tak tega melihat Asna, tapi entah kenapa dia sama sekali nggak tertarik dan malas kalau harus pergi berduaan dengan Asna.
“Asna, maaf banget. Aku bener-bener harus pergi sekarang. Soalnya Aku udah ditungguin temen.”
“Hemm… ya udah deh. Tapi lain kali kamu nggak boleh nolak ajakan aku ya?” Tampa kraut wajah Asna yang penuh kekecewaan.
“Iya, aku usahakan. Kalau begitu aku pergi dulu ya.”
“Iya hati-hati.”
Dicka pun masuk kedalam mobilnya dan segera melajukan mobilnya meninggalkan Asna sendiri. Setelah menempuh perjalanan dan menerjang kemacetan, akhirnya Dicka pun sampai di Cafeole. Dicka segera turun dari mobil dan masuk ke dalam café. Dicka celingukan mencari keberadaan Fiona. Sampai akhirnya matanya tertuju pada seorang cewek duduk sendirian yang mengenakan jaket kulit warna hitam, siapa lagi kalau bukan Fiona. Dicka pun menghampiri Fiona.
“Mau ngomong apaan lo?”
“Astaga kaget gue. Tahu sopan santun nggak sih lo? Kalau dateng itu nyapa dulu.” Kesal Fiona yang merasa tekejut, karena ia sedang asyik main game di ponselnya.
“Udah to the poin aja. Sebenarnya apa rencana lo?”
“Nggak pesen minum dulu?”
“Nggak usah. Langsung aja. Gue masih ada kerjaan lain.”
“Ya udah terserah. Jadi tuh gini, kita kan nggak saling cinta dan nggak akan pernah ada cinta di antara kita. Jadi gue punya rencana, gimana kalau kita tetep nikah, tapi setelah nikah kita bercerai.” Usul Fiona.
“Ya terus ngapain harus nikah kalau gitu caranya.”
“Kan keinginan mendiang nenek lo, beliau pengen kalau gue nikah sama lo. Nah demi memenuhi janji gue kepada beliau, dan gue nggak mau berdosa dan ditagih diakhirat nanti, jadi ya udah kita nikah. Tapi berhubung nggak ada cinta di antara kita, jadi kita cerai deh.”
“Hadeh, enak bener kalau ngomong. Lo pikir nikah itu mainan. Lagian gue nggak mau jadi duda karena lo ya.”
“Ya terus gimana dong? Lo ada usul?”
“Nggak ada.”
“Hemm… yaudah, gimana kalau gini aja. Kita buat perjanjian.”
“Perjanjian apa?”
“Kalau kita jadi nikah nanti, kita nggak usah kayak suami istri pada umumnya. Lo jalanin hidup lo sendiri, dan gue jalanin hidup gue sendiri. Istilahnya ini cuma nikah boongan aja. Jadi lo nggak boleh ngelarang-ngelarang dan ngatur-ngatur gue. Begitu juga sebaliknya. Dan yang terpenting lo nggak boleh ngelarang gue buat berhenti jadi anak gang motor dan ngelarang gue buat balapan. Gimana?”
“Ishh… lo tu cewek, kenapa isi otak lo balapan mulu sih? Heran gue…”
“Terserah gue dong. Otak –otak gue. Jadi gimana setuju nggak?”
“Iya udah terserah lo aja.”
“Baiklah kalau begitu. Gue rasa pertemuan kita kali ini cukup sampai disini. Karena telah mencapai kesepakatan, maka kita akhiri pertemuan ini. Jadi gue mau cabut dulu ya?” Ucap Fiona.
“Lo pengen ketemu gue cuman mau ngomongin itu doang? Ya elah, yang bener aja dong.”
“Lah emang mau ngomongin apa lagi? Kita kan udah mencapai kesepakatan. Tadi katanya lo masih ada kerjaan lagi?”
“Ya tapi masa baru lima menit gue duduk, udah mau pergi aja.”
“Lah emang kenapa? Ya nggak papa. Jangan bilang kalau lo masih pengen berduaan sama gue.”
“Dih sama sekali nggak.”
“Ya udah kalau begitu ayo kita pulang. Gerah banget. Pengen cepet mandi gue.”
“Oh pantesan dari tadi gue mencium aroma-aroma tidak sedap. Jadi itu dari lo.”
“Yeee, enak aja. Meskipun gue belum mandi, tapi gue tetep harum, wangi, cantik, berseri.”
“Lo pulang naik apa? Sendirian?”
“Naik motorlah. Iya gue sendirian. Nggak usah dianter, gue berani pulang sendiri.”
“Pede amat lo. Siapa juga yang mau nganterin.”
“Hehehe. Ya udah gue pulang dulu ya. Bye calon suami.”
“Bye… hati-hati di jalan.”
“Duh perhatiannya. Lo juga hati-hati.”
Fiona pun beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan Dicka sendirian. Tak terasa sebuah senyuman tersungging di bibir Dicka.
“Dasar cewek aneh.” Gumam Dicka.
Setelah kepergian Fiona, Dicka menghubungi Radit dan Doni untuk menemaninya nongkrong di café tesebut. Sambil menunggu para sahabatnya datang, Dicka sudah memesan minuman dan cemilan, dan bermain game.
Tak lama kemudian kedua sahabat Dicka pun datang. Mereka pun duduk bersama sambil berbincang-bincang dan menikmati minuman dan makanan yang telah dipesan. Dicka juga menceritakan tentang perjodohannya kepada kedua sahabatnya itu. Tentu saja mereka sangat terkejut. Nggak ada angin, nggak ada hujan tiba-tiba aja dapet berita kalau Dicka mau nikah.
“Emang siapa sih yang dijodohin sama lo?” Tanya Doni.
“Dia juga anak kampus kita. Tapi dia fakultas seni dan baru semester 6.”
“Siapa namanya? Mungkin gue kenal.” Tanya Radit, karena memang Raditlah yang sering ngegodain wanita di kampus. Jadi banyak cewek yang Radit kenal.
“Namanya Fiona.”
“Hah? Siapa?” Kaget Radit.
“Fiona. Budek ya lo.”
“Fiona anak gang motor itu?” Tanya Radit meyakinkan.
“Iya dia anak gang motor. Kok lo tahu? Lo kenal?”
“Ya tahulah. Siapa yang nggak kenal sama dia. Perasaan lo juga udah tahu dan pernah ketemu sama dia deh.”
“Emang iya? Kapan?”
“Dulu waktu di kantin. Lo pernah nabrak dia. Oh ya terakhir juga pas di kantin dia pernah membuat kegaduhan. Dia menjegal kaki seseorang. Bukannya gue udah pernah ngasih tahu tentang Fiona sama lo ya?”
“Ahh iya, gue ingat sekarang. Busyet, ternyata dia benar-benar pembuat onar dan biang rusuh. Kenapa nasib gue gini amat yak. Gue nggak bisa bayangin kalau gue bener-bener jadi nikah sama dia. Bakal perang dunia terus setiap hari.”
“Lha terus kenapa lo mau? Batalin aja. Fionanya buat gue aja.” Ucap Doni.
“Nggak bisa. Ceritanya panjang pokoknya. Kalau bisa gue kasih deh itu cewek ke lo. Dia sama sekali bukan tipe gue.”
“Kalau gue malah suka cewek yang sangar kayak gitu, daripada cewek lembek dan manja.”
“Eh tapi kalian jangan bilang ke siapa-siapa dulu ya, termasuk anak-anak kampus. gue nanti nikahnya juga diam-diam kok. Nggak rame-rame. Terutama lo Dit, mulut lo paling susah dikontrol.”
“Iya, iya gue bakal tutup mulut.”
“Terus gimana dengan Asna?” Tanya Doni.
“Jangan sampe dia tahu juga.”
“Oke beres.”
TBC
*****
Fix ini mah, pasangan ini yang ada berantem mulu kalo udah nikah. Hahaha.