15. Ponsel Amira

2171 Kata
Kafe remang di pinggir sawah menjadi saksi bisu dua manusia dicekam birahi. Tina tak membiarkan kekasihnya lolos begitu saja. Belum cukup mengulum bat4ng panjang itu masuk dalam mulutnya, ia jilati layaknya permen. Ia mainkan urat yang mengelilingi. Membiarkan sang pemilik benda tumpul itu makin mengerang sambil mendongakkan kepala. Tina menunduk di bawah, sementara laki-laki itu terus sama mendongak sambil meremas rambut dan karpet kafe. "Yang, sudah. Nanti aku keluar di sini." Tina tak menggubris. Justru ia akan membuat kekasihnya itu keluar di tempat ini. Ia senang laki-laki itu akan menikmati sensasi baru di tempat seperti ini. Kuluman, isapan, jilatan Tina makin menjadi. Laki-laki itu mau tak mau mendesah dengan isapan panjang kala miliknya menegang dan mulut Tina makin menguasai miliknya. Sambil meneguk air mineral guna meredakan resah, laki-laki itu meremas botol kemasan itu kala letusan itu membuatnya gila. Tina menelan, menjilati lumuran di sepanjang bat4ng panjang, lalu mengisapnya kuat sebagai akhir dari kepuasan dahaganya. Memejam mata merasakan puncaknya meledak dalam mulut Tina, laki-laki itu bernapas lega kala  Tina keluar dari tempat persembunyian. "Enak kan?" Laki-laki itu membelai rambut lalu pipi Tina. "Bikin aku jantungan. Kalau ada yang lihat gimana?" "Nggak ada. Mereka pasti paham kenapa kita milih tempat di atas." "Aku sudah, kamu enggak mau juga?" tanya laki-laki itu yany hanya ditanggapi Tina dengan senyuman. "Gampang. Besok aja sekalian bertiga sama teme aku. Sekarang aku nggak bisa keluar lama-lama. Adek aku sama temennya lagi di rumah." Baiklah, laki-laki itu paham. Ia  juga belum tenang sebelum mengembalikan ponsel Amira. Karena ia pernah datang ke rumah Amira, ia jadi tahu di mana kamar perempuan tersebut. Ditambah, pemilik rumah rupanya kurang teliti dengan pintu samping belakang yang memiliki celah agar ia bisa menyusuk di sana. Ia hendak mengembalikan, setelah membersihkan jejak yang bisa membuat identitasnya diketahui, seperti sidik jari. Foto yang ada dirinya sedang bersama Tina pun juga sudah ia hapus. "Yang, besok beneran ya? Temen aku udah nungguin banget." Laki-laki itu mengangguk. "Iya. Di mana?" "Di tempat yang terakhir kita datengi. Nggak usah jauh ke kota." "Iya." Laki-laki itu melirik jaket Tina yang terbuka. Daster tali spageti dengan d**a rendah terlihat. "Yang?" "Hem?" Tina menoleh sambil meneguk air mineral milik laki-laki itu. "Kamu nggak mau beneran sekarang?" Tina tertawa menggoda. "Kamu apa aku yang mau sih. Kenapa?" Laki-laki itu mendekat. Menyingkap jaket Tina dan menempelkan telapak tangan di gundukan tertutup kain daster. "Kalau nggak mau, kenapa harus pakai baju begini? Sengaja?" Tina melenguh kala remasan tangan laki-laki itu membuat gundukan kembarnya terasa menegang. Puncaknya mengeras, kala jari laki-laki itu mengusap di sana. "Sengaja nggak pakek beha?" Tina mengangguk sambil mendesah pelan. Laki-laki itu mana bisa tahan kalau Tina sudah mengeluarkan suara manjanya. Ia singkap tali di pundak, hingga salah satu gundukan kenyal itu terlihat. Tubuh Tina didorong hingga menempel ke tembok. Remasan laki-laki itu berubah jadi gigitan dan juga kuluman di puncak coklat muda tersebut. Tina pun tak tahan. Ia meremas rambut laki-laki itu. Matanya memejam, karena jilatan dan lumatan itu makin membuatnya basah di bawah sana. "Main cepat saja." "Tapi kita di kafe. Kamu juga nggak pakek pengaman." "Ada mulut kamu yang menelannya." Laki-laki itu memutuskan. Menahan tubuh dengan lutus, tangan Tina berpegangan pada meja, tubuhnya menunduk. Laki-laki itu bergerak cepat dari belakangnya. Menusuk, pada lubang basah di balik daster tipis yang disingkap sebagian. Laki-laki itu menghujam cepat, membuat Tina menahan tubuhnya dan mulutnya agar ia tak mendesah kencang. Semakin cepat, hingga Tina mencengkeram ke belakang. Laki-laki itu hampir keluar, tapi membiarkan Tina keluar lebih dulu. Tangan laki-laki itu membungkam bibir Tina kala puncak kenikmatan itu tergapai, agar suara Tina teredam. Setelah keluar, laki-laki itu mencabut miliknya. Ganti Tina hang menunduk. Mengisap kuat-kuat bingga cairan kental itu lagi-lagi meluber di mulutnya hingga tersedak. Masih mengatur napas, Tina terduduk sambil membersihkan mulut dan pipinya. Di samping, laki-laki itu mengancingkan realeting celananya. Tina diantar pulang sampai gang dan berjalan masuk. Yulia menyambutnya. Dilihat, sudah tidak ada Nana di rumahnya. Tina lanjut ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Lengkeh di selangkangannya membuat ia segera mandi. Jantungnya masih berdebar karena sensasi main cepat di tempat umum. Meski bisa dibilang kafe lantai atas tak ada orang. Tetao saja, bukan kamar yang biasa mereka nikmati. Kegilaan itu membuat senyum di bibir Tina merekah. *** "Iya, beneran ada. Tante bersih-bersih kamar Amira. Paa masuk, hape Amira ada di meja. Kok kayaknya kapan hari Tante lihat itu nggak ada ya, Nak Saka." Bu Abidin memanggil Saka datang sore hari setelah ia pulang dari rumah sakit. Saka diberi kabar kalau ponsel Amira ditemukan, ia gegas mendatangi rumah Amira tentu saja. Di sana ia bertemu Bu Abidin yang tampak masih berkeringat karena habis beberes rumah. Suaminya kerja, dan sekarang di rumah sakit ada adik iparnya yang gantian menjaga. "Iya, Tan. Kok aneh ya. Tapi Tante jelas-jelas lihat ponselnya tidak ada di sana waktu itu ya?" Bu Abidin mengangguk. "Iya, Tante lihat meja tempat Tante taruh ponselnya, nggak ada." Saka juga bingung. Antara percaya atau tidak. Masalahnya, tak beda jauh dengan mamanya sendiri kadang mencari barang jelas-jelas ada di samping tapi tak melihat. Kok mamanya, dia juga kadang begitu. Apalagi Bu Abidin sedang keadaan lelah, mungkin saka salah lihat atau salah taruh. Ya sudahlah, untuk saat ini Saka percaya saja. Ia lantas pamit membawa ponsel Amira dan pamit pulang. Saka tak lupa membawakan sate ayam yang ia beli sebelum ke sini, untuk diberikan pada keluarga Amira. Sampai di rumah, Saka tak sabar ingin melihat ponsel Amira. Sayang, ponsel Amira pakai sandi. Saka mendesah. Ia coba berkali-kali memasukkan kode tapi terus gagal. Sampa ia ulang, kehabisan masa percobaan ulang lagi berkali-kali hingga malam menjelang. Saka sampai lupa ia belum mandi. Kesal dengan diri sendiri yang tak berhasil, Saka coba keluar cari makan dulu. Ia akan keluar dari gapura desa. Ada penjual nasi pecel malam yang ia lihat kapan hari di pojok jalan dekat gapura masuk. Mengeluarkan motor, ia jalan dan motornya berhenti di depan gang masuk rumah Tata. Ia lihat ada laki-laku sedang duduk berdua di teras dengan Tata. Kalau tak salah ingat, laki-laki bersama Tata itu adalah teman kerjanya di depot. Tapi, ada acara apa temannya itu di rumah Tata malam begini? Apa Tata diantar pulang temannya dan mengobrol sampai malam? Saka penasaran, tapi ia lebih merasa lapar karena belum sempat makan. Alhasil Saka melanjutkan motornya bergerak. Nanti saja ia akan bertanya pada Tata. Entahlah, ia merasa tak suka saka melihat kedekatan Tata dengan teman kerja yang ia ingat namanya Rayan tersebut. *** "Diminum, Yan." Tata mempersilakan Rayan yang datang menemuinya, menikmati teh hangat yang ia seduhkan. Camilan yang tersedia hanya setoples jajanan kuping gajah. "Iya, makasih." Rayan meneguk tehnya. Agak panas, jadi ia sesap sedikit.  Biasanya ia yang membuatkan minum, sekarang ia dibuatkan minum oleh Tata. "Dari mana kamu. Malem-malem begini sampek ke rumahku." Sudah jam delapan lebih empat puluh lima menit, Tata tak menyangka akan kedatangan tamu. Rayan pula. "Ada temen daerah sini, aku mampir." Tata mengangguk. "Kirain." Keduanya larut dalam obrolan. Karena nyamuk mendera terus menerus, Tata mengajak Rayan cari makan di luar. Waktu ditawari makan bakso langganan mereka;Tata, Amira dan Rayan jika kumpul bertiga, Rayan menolak. Ia lirik jam yang melingkar di tangan kiri, sudah jam sembilan lebih, pastinya warung bakso tersebut sudah tutup. "Lah apa? Nasi goreng?" "Nasi pecel aja gimana?" Tata mengangguk. Nasi pecel di dekat gang masuk gapura desanya itu buka jam malam. Jika biasamya warung nasi pecel buka subuh hingga jam delapan - sembilan an, beda dengan warung tersebut yang malah buka sejak magrib sampai jam dua dini hari. Pengunjungnya juga terbilang banyak. Sering ramai. Apalagi letaknya di pinggir jalan mau masuk gapura desa, persimpangan jalan pula. Banyak pembeli yang sampai antri tak kedapatan tempat duduk, alhasil makan lesehan di teras yang memamg sengaja digelar tikar. Tata dibonceng Rayan menuju warung tersebut. Sampai di sana, benar saja. Pengunjung ramai. Tata dan Rayan hendak memilih tempat duduk lesehan di teras, namun ada satu meja yang baru ditinggalkan. Jadilah mereka putuskan makan di meja tersebut. Lagian di teraa depan juga banyak orang duduk menunggu antrian pesanan mereka yang dibungkus pulang. Tata masuk untuk memesan. Sementara Rayan duduk di meja lebih dulu agar tak ditinggali orang. Tata maju, ikut berdiri mengantri ditanya gilirannya pesan apa. Punggungnya ditepuk, Tata menoleh. "Eh, Ka?" Saka mengangguk. "Ngapain?" "Nelen batu. Ya mau makan lah. Masa ke warung gini kalau nggak makan mau apa? Numpang wifi?" Saka tersenyum mendengar candaan Tata. "Ya, tahu. Mau makan sini apa bawa pulang?" "Makan sini, sama Rayan tuh udah duduk di situ." Tata menunjuk ke arah Rayan dengan dagunya. Saka menoleh. Wajah yang tadinya senang karena bertemu Tata, langsung pudar begitu mendapati Tata datang makan berdua dengan Rayan. "Kamu sendiri?" "Aku juga makan sini. Boleh gabung?" Padahal Saka hendak pesan nasi pecelnya dibungkus, bawa pulang dan makan di rumah sambil main game. Tapi, melihat ada Tata dan Rayan yang asyik berdua dan ia tak suka, jadilah Saka mengganti rencana. Ia maju dan bilang ke mbak yang menerima catatan pesanan, bahwa dirinya nggak jadi bungkus. Tapi makan di tempat, sambil menunjuk meja yang akan ia tempari nanti. Tata hanya melongo sendiri. Giliran Tata ditanya, ia pesan dua porsi nasi pecel. Yang satu, milik Tata tak pakai trancam alias sayuran mentah; kacang panjang dipotong kecil mentah, kemangi dan lamtoro. Kemudian satunya yang milik Rayan pakai sambel tumpang. Selain nasi, Tata juga membawa serta aneka sate; usus, telur puyuh, dan hati ampela ayam. Ia bawa aneka sate tersebut ke meja, di mana sudah ada Rayan dan Saka yang duduk berdampingan. Membuat Tata jadi merasa canggung. Ia kira Saka akan duduk berseberangan, mengingat keduanya tak akrab. Namun yang terjadi di luar dugaan. Ada hal yang membuat Saka duduk di samping kanan Saka menghadap ke selatan. Ia tak ingin nantinya jika ia duduk di depan Rayan, Tata akan memilih duduk di samping teman kerjanya itu. Dan kalau mereka dekat, Saka hanya akan jadi penonton obrolan keduanya. Jadilah Saka rela duduk di samping Rayan dan Tata mau tak mau akan duduk di depan mereka. Adil jadinya. "Ka, kamu nggak ambil sate juga?" tanya Tata. Melihat aneka sate di piring Tata, Saka jadi berliur. Ia kelaparan, dan menunggu nasi datang pasti lama. Ya sudah, ia ke depan dan mengambil aneka sate; dua tusuk sate telur puyuh, dua tusuk sate usus, satu tusuk sate hati ampela, dua tusuk sate ayam. Melihat apa yang ia ambil, Saka garuk-garuk kepala. Kenapa ia rakus dan terlihat sangat kelaparan sekali ya? Membawa ke meja, di mana Saka dan Tata sedang menikmati sate mereka. Tata melirik ke piring Saka. "Laper, apa doyan?" "Laper. Nunggu nasi kayaknya masih lama juga." Saka menjawab jujur, membuat Tata geleng-geleng kepala dan Rayan hanya menanggapi dengan lirikan sekilas dan senyum kecil. Ketiganya tak banyak bicara. Selain karena suasana rame, juga suara TV yang sedang menyiarkan acara dangdut. Teriakan pesanan atas nama siapa dan siapa membahana. Rayan dan Tata hanya saling bercerita soal anak Bu Tiwi yang kayanya mau nikah, dan Saka menanggapi sekenanya. Giliran Saka ambil bagian mengajak Tata mengobrol soal tempat makan yang rame di desa ini, kenapa warung pecel tempat mereka makan malah buka malam sementara lainnya buka pagi. Saka hanya pernah melihat penjual nasi pecel malam saat di kota saja. Nasi mereka datang. Ketiganya asyik menyantap hidangan khas dengan sambal terbuat dari kacang tanah, bawang, cabe, gula merah, daun jeruk tersebut. Saka dan Tata hanya nasi pecel saja, sementara Rayan campur dengan sambel tumpang. Sambal tumpang adalah masakan berkuah kental yang dibuat menggunakan bahan unik, yakni tempe yang sudah hampir busuk atau biasa disebut tempe bosok. Tempe bosok ini ditumis dengan aneka bumbu dapur, santan, dan diberi penyedap rasa. Hasilnya adalah sambal tempe bosok atau sambal tumpang dengan bau tempe hampir busuk yang khas. Ternyata, sambal tumpang termasuk salah satu penganan khas Indonesia yang telah ada bahkan sejak zaman kerajaan Nusantara. Heri Priyatmoko yang juga dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mengatakan bahwa sambal tumpang telah tercatat ada sejak dua abad yang lalu. Sambal tumpang jadi bagian dari keragaman kuliner di pedesaan. Itu jadi bukti kreativitas masyarakat Jawa mengolah bahan yang tersedia di sekitar mereka. Heri sendiri menyebut hal itu bisa dibilang cukup lucu. Pasalnya, tempe bosok yang sudah busuk itu masih bisa digunakan untuk memasak. Hal itu, kata Heri, merujuk pada kecerdasan masyarakat Jawa untuk menghasilkan makanan yang khas. Sambal tumpang hingga kini bisa cukup mudah ditemukan di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Khususnya di Solo dan Kediri. Sambal tumpang biasa disajikan dengan nasi dan aneka lauk serta sayuran. Sepintas mirip pecel, bedanya ada pada aroma dan rasa sambal tumpang itu sendiri. Aroma sambal tumpang khas tempe semangit. Heri menyebut, sambal tumpang bisa bertahan hingga kini karena resep, teknik memasak, dan pengetahuannya senantiasa diturunkan dari satu orang ke orang lain. Selain itu, bahan baku utamanya yakni tempe juga sangat mudah ditemukan di mana saja. Selesai, Rayan memilih langsung pamit. Tata meminta Rayan langsung pulang saja dan dirinya akan bareng dengan Saka. Punggung Rayan menghilang, barulah Saka yang membonceng Tata belok masuk gapura. Perut Saka kenyang, pun dengan Tata. Turun di depan rumah, Tata berterima kasih dan langsung masuk rumah. Padahal Saka ingin bertanya soal kedekatan dia dan Rayan sebatas apa, sampai-sampai bertandang malam-malam ke rumah. __________
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN