Saka mendapatkan foto semua guru sekolah dasar di mana Amira mengajar, atas bantuan sosial media Bu Rini. Saka bisa mendapatkan foto tersebut dalam formasi itu lengkap bersama Amira dan seluruh jajaran guru. Kala itu sedang ada acara perpisahan kelas enam, jadi semua guru berkumpul untuk mengambil gambar bahkan Bu Rini pun seperti kebanyakan perempuan yang suka dengan sosial media, ia menandai satu per satu personil guru yang ada dalam foto tersebut.
Sehingga memudahkan Saka untuk melihat profil masing-masing guru dari penanda tersebut.
Dari kepala sekolah, guru kelas satu, kelas dua, Kelas Amira yakni kelas tiga, hingga kelas enam bahkan guru olahraga serta guru mata pelajaran muatan lokal pun juga semua. Saka memperhatikan satu per satu profil tersebut.
Ada tiga guru yang usianya sudah tua, yakni kepala sekolah, guru kelas satu dan juga guru kelas enam sehingga mereka tidak memiliki banyak informasi di sosial media. Mungkin mereka hanya ikutan zaman untuk memiliki akun namun tidak pernah mengepost apa pun. Terbukti foto tersebut hanya ada foto profil dan foto hasil penanda. Mungkin mereka juga tidak mahir menggunakan akun sosial media mereka.
Untuk tiga orang itu Saka memberi tanda silang pada catatan nama-nama orang yang mungkin saja menjadi pelaku, karena tak bisa ditelusuri lebih lanjut tentang profil mereka.
Akun lain terbilang dikelola dengan baik. Guru-guru itu pun meskipun tinggal di desa cukup update dengan perkembangan zaman, bahkan banyak foto yang mereka Post. Mungkin karena faktor usia mereka juga masih muda.
Di sekolah biasanya ada sistem guru PNS yang sudah pensiun akan digantikan dengan guru baru dan menurut teori ini juga, di sekolah tersebut ada guru baru pegawai negeri masih muda yang datang bersama dengan Amira. Menggantikan guru bahasa Jawa yang dulu Sudah pensiun dan statusnya sekarang mengajar kelas lima.
Saka memberi tanda beberapa poin sekiranya Siapa saja yang bisa memicu pertikaian tersebut kita akan melihat beberapa foto yang ada Amira, salah satunya adalah guru kelas empat yang terlihat masih muda. Foto bersama suaminya, namun di situ juga ada ada Amira. Saka lalu berpikir apakah mungkin Amira terlibat dalam pertikaian keluarga temannya sendiri, tapi sepertinya Amira tidak mungkin berkeinginan untuk merebut suami orang. Jadi Saka mengurungkan dugaan tersebut.
Asyik melihat akun guru-guru Sekolah Dasar, suara ponselnya berbunyi. Ia lihat nama di layar ponsel dari Pak Abidin.
Saka lekas mengangkat panggilan. Pak Abidin bertanya apakah ia sedang di rumah atau keluar, karena Pak Abidin sedang ada di rumah dan meminta Saka untuk mampir jika tidak keberatan.
Saka melirik jam menunjukkan, pukul tiga sore tadi baru menyelesaikan desain permintaan langganannya yang hanya mau dilayani oleh Saka sendiri. Padahal Saka mempercayakan soal desain semuanya pada pekerja lainnya. Entahlah, satu orang itu memang agak berbeda.
***
"Gimana kabar Amira, Om? Maaf saya sudah berapa hari tidak memjenguk ke sana," kata Saka begitu ia dipersilakan masuk, duduk lalu Bu Abidin menyediakan teh pada keduanya begitu Pak Abidin keluar menemui Saka di ruang tamu.
"Masih seperti biasa. Hanya keajaiban yang bisa membuat Amira bisa bangun. Sebenarnya kata dokter, keadaam Amira sudah baik-baik saja. Hanya saja dalam pikiran Amira belum menginginkan ia untuk bangun. Amira masih terjebak.
"Semoga Amira lekas sadar, Om," doa dan harapan Saka pada Amira.
"Amin. Bnanyak orang yang mendoakan Amira semoga saja ada keajaiban itu segera datang. Untuk sekarang Om juga harus kembali bekerja. Jadi untuk menjaga Amira ada adik Om yang bisa menggantikan bersama dengan ibunya Amira."
Saka mengerti bagaimanapun juga ayah Amira juga butuh pekerjaannya. Tak enak lama-lama harus meninggalkan pekerjaannya guna menjaga sang anak.
"Kamu sendiri gimana kabarnya? Masih betah tinggal di desa? Enggak kasihan sama mamamu di sana. Coba ajak aja ke sini."
Saka hanya tersenyum. "Iya, Om, enak di sini. Mama juga sudah mengerti kalau aku ingin di sini dulu sebentar. Hidup di kota kadang juga membosankan dan menjemukan, Om. Tidak ada hal istimewa yang bisa membuat saya kagum, sementara hidup di sini beda sekali. Hal yang saya rasakan di lingkungan sini, ramah dan sering saling menyapa meskipun saya juga tidak begitu kenal dengan mereka. Apalagi yang penting di sini semuanya serba murah."
Lalu keduanya pun tertawa terbahak-bahak. Pak Abidin bercerita bagaimana ia juga kaget dengan harga sebungkus nasi di desa, ketimbang di Jakarta. Saka saja malah merasa kasihan membeli nasi dengan harga segitu.
Keduanya asyik mengobrol, hingga hingga sore menjelang dan magrib di depan mata. Saka pamit pulang dan tak lupa dibekali beberapa bungkus makanan dari Bu Abidin.
Dalam perjalanan pulang yang hari sudah mulai gelap, Saka pelan-pelan mengendarai motornya. Namun begitu melewati daerah belok menuju rumahnya, ia berpapasan dengan sepeda motor yang sama persis dengan yang ia lihat saat menculik Amira. Dari warna dan juga tipenya. Namun karena gelap, Saka tak bisa melihat jelas nomor polisinya. Toh ia juga tidak ingat nomor polisinya berapa. Yang ia lihat sekilas melewati punggung pengendara yang sudah berlalu pergi, Saka yakin orang itulah yang menculik Amira melihat dari posturnya.
Saka bergegas untuk membalikkan motor dan mengejar orang tersebut. Namun sayang, orang itu seolah lebih cepat darinya. Saka malah nyasar belok gang lain yang membuatnya jadi kebingungan sendiri. Niatnya ingin mengejar orang malah dia sendiri tersesat dan bingung arah ke mana ia harus pulang.
Saka bertanya pada orang, namum jika maghrib begini sudah pada tutup pintu. Tak banyak yang nongkrong di depan rumah. Yang ada hanya beberapa motor yang pulang kerja, biasanya orang-orang seperti ini rombongan dari sawah datang, orang-orang yang bekerja di kota juga berdatangan. Saka tak enak menghentikan orang yang sedang naik motor untuk bertanya ke mana arahnya pulang.
Mau tak mau ia pun menghubungi Tata untuk menjemputnya.
Tata, gadis itu sedang makan Indomie dengan telur ceplok selepas mandi dan kaget karena Saka menelepon dan meminta dirinya menjemput.
"Sherlock saja, aku lagi makan nih," jawab Tata. Ia malas untuk keluar karena perutnya juga lagi kram datang bulan.
"Internet di sini kurang bagus. Entahlah, aku nyasar di mana. Aku hanya bisa meneleponmu dan meminta bantuan seperti ini."
Mau tak mau Tata pun prihatin dengan keadaan Saka. Benar memang jika di daerahnya tidak semua internet dengan nomor tertentu bisa masuk. Kadang ada beberapa daerah yang hanya bisa dicakup dengan satu macam kartu internet saja. Mungkin kebetulan Saka berada di zona yang kartunya tidak terdeteksi.
Towernya kejauhan kalau orang bilang, sehingga sinyal pun sering ngadat dan tidak menjangkau daerah tersebut.
Baiklah, Tata pun meletakkan mi dan bergegas mengambil kunci untuk mengeluarkan motor. Ia bertanya pada Saka kira-kira di daerah mana ia tersesat agar Tata bisa segera menghampiri.
Saka mendeskripsikan daerah di sekitarnya; sawah dengan padi yang sudah menguning, ada lampu jalanan dan gardu. Di gardu tersebut terdapat tulisan nama desa. Rupanya Tata tersesat hingga perbatasan desa.
Selain gambaran itu Saka juga menyebutkan ada rumah dengan tulisan tempat Posyandu RT dan RW yang tertera di sana.
Tata Mengerti, rupanya Saka sudah melesat hampir perbatasan Desa dekat persawahan yang menjadi batas antara desa satu dengan desa lainnya. Memang di desa tersebut dekat sawah, internet tidak menjangkau.
Tata berangkat menuju lokasi Saka. Sampai di sana ia melihat Saka sedang duduk di pos gardu menggunya.
****
Tata hanya bisa tertawa terbahak mendapatkan Saka yang seperti anak kecil kehilangan ibunya, menunggu dirinya datang di gardu pos. Wajahnya itu mengingatkan kepada adiknya sendiri saat ketinggalan di pasar waktu kecil dulu. Mau tak mau Tata pun melepaskan tawanya, membuat Saka malah kesal.
"Kenapa kamu ketawa? Aku sengsara begini kamu malah tertawa," tanggap Saka tak terima.
"Habisnya kamu lucu banget. Udah besar lagi, kayak adik aku pas ketinggalan di pasar kecil dulu. Sumpah lucu banget kamu."
"Eh malah disamain sama adik kamu. Ya maklumlah, kan aku juga baru di sini. Kecuali kalau aku udah tahu daerah sini, kenal daerah sini. Apalagi aku orang baru juga. Dasar kamu ya, orang sengsara kok kamu malah ketawa."
Tata pun menghentikan tawanya. "Ya udah ayo aku traktir bakso, biar kamu senang."
Tata mengendarai motornya di depan, sementara Saka mengikuti dari belakang. Jalanan agak gelap, karena daerah sawah. Lampu motor menyala sebagai penunjuk jalan. Keluar dari daerah tersebut, Tata melajukan motornya keluar gapura desa. Ia akan mengajak Saka makan bakso langganannya dan Amira.
Sampai di sana, pengunjung sedang ramai. Tata mencari celah agar bisa duduk. Begitu ada orang selesai makan, ia lekas menarik tangan Saka agar duduk di tempat tersebut. Tata tak peduli bahkan meja tersebut masih ada bekas mangkok bakso pembeli sebelumnya.
Saka melihat meja. "Masih belum dibersihkan."
Tata mengangguk. "Yang penting dapet tempat dulu. Lagi ramez daripada nggak dapet tempat juga."
Saka pun menumpuk tiga mangkok bakso di depannya. Mengumpulkan sampah pengunjung sebelumnya dan mengelap meja dengan tisu. Sekarang mejanya sudah bersih. Tak berapa lama mangkok-mangkok itu diambil dan pesanan Saka dan Tata dicatat.
Dua mangkok bakso, dua es teh manis. Bakso jumbo, isi telur untuk Saka dan bakso isi cabe untuk Tata. Ia suka pedas.
"Kamu dari mana memang kos sampai kesasar?"
"Aku tadi dari rumah Amira, disuruh datang sama Om Abidin. Pas pulang, aku lihat motor orang yang menculik Amira dulu. Aku kurang yakin benar dia apa bukan. Aku nggak hafal sama nomor polisinya. Tapi warna dan tipe aku ingat."
Tata agak terkeju. Saka masih mengingat kejadian itu. "Memangnya kamu mau apa?"
"Aku mau ngejar dia."
"Tapi kata kamu dia pakai penutup wajah. Mana bisa kamu yakin dia orangnya apa bukan? Lagian motor nggak bikin satu macam. Apalagi orang sini banyak yang pakai motor bekas. Bisa saja sama tipe dan warnanya."
Saka mengiakan. "Iya juga sih. Tapi akh yakin, lihat dari postirnya."
"Kalau benar dia, kamu mau apa? Menghakimi sendiri?"
Ditanya seperti itu Saka jadi diam. Awalnya ia tak ingin memberi tahu Tata soal rencananya. Namun kemudian ingin memberi tahu karena butuh bantuan Tata dalam mengumpulkan informasi teman-teman Amira. Sekarang malah Saka keceplosan dengan rencanaya.
"Amira salah apa, sampai orang itu tega menyakitinya. Aku hanya penasaran, apa alasan orang itu dan siapa orangnya. Hanya itu saja. Aku nggak bermaksud menghakimi."
Tata paham maksud Saka. "Ya. Aku juga penasaran. Selama kenal Amira, aku merasa nggak ada hal yang bisa membuat Amira dibenci orang. Tapi, aku nggak ada di lokasi dan lihat sendiri kejadian itu. Jadi aku nggak punya petunjuk apa-apa soal orang itu."
Bakso mereka datang. Saka dan Tata tak melanjutkan lagi topik soal penculik Amira. Keduanya malah membahas bakso yang ia makan.
"Di sini rame, baksonya emang enak," komentar Saka.
Tata mengangguk. "Iya bener. Murah juga. Seporsi punya kamu itu lima ribu. Punyaku tujuh ribu. Isi cabe semua di dalamnya."
Saka membuka matanya lebar. "Wah, bakso begini lima ribu. Orangnya nggak rugi apa ya."
Tata mengendikkan bahu. "Buktinya, laris terus."
Selesai makan, Saka hendak membayar tadi dicegah oleh Tata.
"Aku janji traktir kamu. Jadi, aku yang bayar. Udah, tenang aja. Nggak bakal nguras kantongku kok."
Saka pun menganggukkan kepala. "Oke. Makasih banyak."
Tata mengangguk. Keduanya lekas kembali ke motor dan beriringan pulang menuju rumah. Perut kenyang, hati tenang. Saka sudah hampir sampai di rumah. Sampai di depan rumah Tata, Saka baru ingag sesuatu.
"Oh ya, tadi Tante bawakan aku nasi. Aku udah kenyang makan bakso, daripada nggak termakan, nasinya buat kamu saja. Kasih adik sama ibu kamu."
Tata menerima bungkusan dari Saka. Ia masuk lebih dulu lalu Saka melajukan motornya ke rumah.
Sampai di rumah, ia lekas mengunci pintu, bebersih diri, lanjut mandi. Ia main game sejenak sebelum matanya benar-benar tertutup.
***
"Yul, ada orang ya. Kamu bukain pintu dulu."
Tina yang sedang menyeduh teh herbal meminta adiknya membukakan pintu. Yulia yang sedang nonton TV pun gegas ke pintu.
"Eh, Na, ada apa?"
Nana, teman sekolahnya itu datang ke rumah. Padahal Yulia tak dapat kabar soal kedatangan Nana sama sekali.
"Aku mampir doang, haus. Motorku bocor tadi, masih di bengkel deket rumahmu ini. Udah magrib lagi, jadi aku numpang dulu sebentar di sini ya."
Nana lagi apes. Mana dia nggak bawa hape pula. Ia tadi disuruh ibunya belanja minyak dan gula. Tata, kakaknya sedang baru pulang dan mandi. Jadi Nana yang disuruh. Mengendarai motor milik almarhum ayahnya yang memang sudah tua, ia pergi dari asar sampai magrib.
Untung saja tukang tambal bannya masih mau menerima dirinya, padahal sudah mau tutup.
"Boleh. Masuk aja, Na."
Yulia mengajak Nana masuk. Ia ke dapur dan mengambilkan minum buat Nana.
"Siapa?" tanya Tina pada adiknya yang mengambilkan minum.
"Nana, motornya lagi ditambal. Dia numpang nunggu di sini."
Wajah Tina berseri-seri.
"Oh. Temenin Nana. Nanti kamu anterin sekalian sampek rumah. Kasihan dia sendirian."
Yulia tak masalah. Ia juga tak tega melihat Nana yang sedang apes.
"Yul, Mbak tinggal bentar. Kamu enak-enakin aja sama temenmu. Bikin mi sana, kasihan Nana laper itu pasti."
Yulia mengangguk. Ia segera ke dapur setelah Tina pamit akan keluar sebentar. Dengan baju daster dilapisi jaket, palingan juga main ke tetangga buat numpang lihat sinetron. Maklum, di rumah cuma ada TV sebiji saja. Sekarang sedang ada teman Yulia. Biasanya Tina akan pamit keluar kalau ada teman-teman Nana. Biar leluasa ngobrolnya, tanoa terganggu dirinya.
Padahal, di ujung gang sudah ada laki-laki itu yang menunggu Agustina. Keduanya hendak makan di luar, sambil icip-icip bat4ng panjang sang kekasih. Cukup berjalan sedikit menuju gang, Tina sudah bisa melambai pada kekasihnya yang datang dan menunggunya dengan helm masih di kepala.
"Yang, sorry ya. Masih ada temen Yulia mampir."
"Nggak masalah. Ayo naik."
Tina menerima helm dan segera naik ke motor. Laki-laki itu melajukan motor menuju kafe dekat sawah. Kafe tersebut remang, dan memang biasa untuk pasangan yang sedang ingin suasana tenang. Apalagi di bagian belakang ada tempat bilyard. Tina memilih tempat di lantai dua yang sepi. Selain tak ada pengunjung, karena kebanyakan lebih memilih di bawah, keduanya juga bisa icip-icip nikmat.
Di bawah meja pendek, Tina sudah menunduk dan membuka resleting. Laki-laki itu menyangga kedua tangan di lantai guna menahan gairah yang mendera bat4ng miliknya yang sedang dikulum sang kekasih.
Laki-laki itu tak ada niatan ingin mengajak Tina. Ia tadi hendak mengembalikan ponsel Amira yang sempat ia ambil tapi rumah tersebut masih ada pemiliknya. Sambil menunggu, ia mengabari Tina dan memintanya bertemu. Tak menyangka, Tina malah memberinya lebih.
_________