Fatma berpikir pernikahan yang dijalani oleh Nareswari akan mengubah kehidupan yang dialami oleh Ferdinan, dan itu memang terlihat sangat jelas walaupun Ferdinan berusaha keras untuk menyembunyikan keadaan hatinya yang kacau balau.
Walaupun memang ini sama sekali bukan urusan Fatma namun karena dia adalah orang yang paling dekat dengan pria itu, sehingga membuat Fatma mau tidak mau melihat segala macam prosesnya.
Dan meskipun Fatma hampir tidak pernah tertarik dengan gosip yang melibatkan atasannya itu, namun ketika di beberapa bulan selanjutnya identitas suami Nares yang selama ini menjadi rahasia akhirnya terungkap, dia semakin melihat perbedaan itu. Dalam satu kesempatan saat diadakan Tur Direktur Perusahaan, Fatma ingat pernah bertanya tentang seperti apa sosok suami Nares, dan wanita cantik itu membalas jika suaminya hanyalah karyawan biasa namun memiliki sikap baik dan bisa diandalkan.
Semua itu terbukti begitu identitas pria beruntung itu benar-benar terkuak. Suami Nares merupakan salah satu karyawan di perusahaan mereka, menjabat sebagai Manajer semenjak pertama kali masuk ke perusahaan. Bersamaan dengan terkuaknya informasi itu, juga tersebar kabar burung jika suami Nares mendapatkan posisi itu karena menikahi Nares, bukan karena kemampuannya sendiri.
Di luar itu semua, yang paling Fatma cemaskan adalah Ferdinan yang tampak sangat terpukul. Mungkin ini akan dirasa sebagai tindakan sok tahu, namun Fatma bisa menebak jika sepertinya harga diri Ferdinan tersentil mendapati bahwa suami dari gadis yang sangat disukainya ternyata tidak lebih hebat daripada dirinya.
"Ini laporan yang Bapak minta," ujar Fatma sambil menyerahkan berkas yang baru saja dia terima dari salah satu bawahannya.
Ferdinan dengan kacamata bacanya, langsung mendongak. Membagi senyum tipis yang tidak sampai menyentuh ke matanya.
"Terimakasih ya," ucap Ferdinan.
Fatma mengangguk, berujar pamit pada atasannya itu. Namun belum genap langkahnya mencapai pintu, suara Ferdinan kembali terdengar.
"Fatma, kadang apa yang bikin perempuan tertarik? Anggap saja kalau perempuan ini memiliki karakter yang beda dari perempuan lain."
Meski pun dia menunjukan wajah datar di depan atasannya, namun sesungguhnya Fatma berpikir tentang apakah atasannya masih belum bisa merelakan Nares yang sudah menjadi istri dari orang lain?
"Apakah ini tentang Ibu Nares?" tanya Fatma langsung.
Ferdinan terdiam sebelum kemudian melebarkan matanya dengan terkejut.
"Bukan lah!" sangkal Ferdinan cepat. Pria itu kemudian mendesah pelan, "Saya memang sempat gila belakangan, tapi terakhir kali tindakan gila saya sudah membuat saya sadar bahwa kalaupun Nares tidak menikah dengan Arafi, dia tetap tidak akan jatuh cinta sama saya."
Terkejut, Fatma kemudian menunduk dengan sikap kikuk. "Baik, Pak.
Dia canggung dan merasa tidak pantas mendengar hal itu dari atasannya, karena selama ini Ferdinan juga tidak pernah mengatakan hal yang semacam ini padanya.
"Yah pokoknya ini bukan buat Nares, saya ngelakuin kesalahan sama seseorang kemarin dan pa saya minta maaf, dia bilang enggak perlu. Tapi karena saya rasa kesalahan saya bukan sesuatu yang biasa, jadinya saya ngerasa kalau saya tetap harus minta maaf."
Entah itu hanya karangan untuk menutupi kejadian sebenarnya atau bukan, namun melihat dari wajah gusar atasannya, Fatma mengira bahwa atasannya itu benar-benar tulus berniat meminta maaf.
"Kayaknya Bapak bisa coba tawarin tumpangan buat nganter dia pulang, atau belikan kue-kue cantik atau makanan yang enak. Buat sebagian orang, sesuatu yang berlebihan justru terasa membebani," usulnya agak ragu.
Berani-beraninya dia yang jarang sekali memiliki teman atau semacamnya memberikan saran kepada atasannya. Tapi kalaupun Fatma berkata tidak tahu, itu akan lebih menyulitkan Ferdinan.
Pria itu terdiam seraya berpikir, kemudian dengan senyum cerah bercampur lega, kepalanya mengangguk.
"Oke deh, makasih banget buat masukannya, Fatma," ucapnya tulus.
Fatma ikut tersenyum, mengangguk sopan sebelum kemudian benar-benar keluar dari ruangan itu.
*
Ini adalah pertama kalinya Ferdinan keluar tepat waktu dari dalam kantor, biasanya dia akan selalu menjadi yang terakhir pulang demi menghindari bertemu dengan Nares apalagi suaminya. Namun ada hal yang harus dia lakukan, hal yang sehubungan dengan apa yang dia ceritakan pada sekretarisnya tadi siang.
Ia tengah duduk di lobi kantor, menunggu seseorang yang dia cari untuk keluar. Padahal sudah sebanyak ini karyawan yang melewati lobi di jam pulang, namun gadis yang dia cari belum juga terlihat batang hidungnya.
Tepat ketika satu pintu lift terbuka, sosok yang dari awal Ferdinan lihat berwajah datar itu keluar dari dalam lift bersama dengan teman-teman lainnya. Sepenuhnya Ferdinan menyadari jika dia langsung menghampiri gadis itu, maka hanya akan timbul gosip di kalangan para karyawan. Namun dia tidak memiliki banyak waktu lagi karena sudah terlanjur memiliki janji dengan kedua orang tuanya.
Maka setelah membulatkan tekad, dia mendekati gadis itu yang sudah akan berjalan keluar dari lobi.
"Permisi.." ujar Ferdinan menghentikan langkah mereka.
Dia tersenyum, memberikan atensi pada gadis itu yang menatapnya seakan tahu jika dia lah yang tengah dicari oleh Ferdinan.
"Sorry, bisa ngobrol sebentar?" tanyanya.
Mengikuti arah pandang Ferdinan, teman-teman gadis itu langsung menoleh pada si gadis yang sama sekali tidak menampakan perubahan ekspresi.
"Bisa, Pak," balasnya.
Ferdinan tersenyum lega, dia kemudian sedikit menyingkir saat teman-teman gadis itu berpamitan pada di gadis untuk pulang lebih dulu. Setelahnya dia meminta agar gadis itu mengikutinya keluar hingga mencapai area yang terhubung dengan tempat parkir bawah tanah.
"Sebelumnya, apa saya boleh tahu nama kamu?" tanya Ferdinan.
"Kristal," jawab gadis itu cepat.
Ia terperangah, tidak menyangka jika gadis itu akan menjawab dengan sangat cepat.
"Ah iya, Kristal.. Jadi soal kemarin itu saya.."
"Saya sudah bilang kalau saya sudah memaafkan Bapak. Lagipula Bapak juga enggak mungkin sengaja menabrak saya sampai jatuh kan?"
Mata Ferdinan melotot, "Tentu aja saya enggak sengaja. Mana mungkin saya sengaja menabrak seseorang yang sedang menunduk sampai jatuh? Kemarin saya sedang fokus dengan ponsel saya, jadi saya enggak lihat kalau kamu jongkok di depan saya. Sekali lagi..saya minta maaf."
Dia sungguh merasa bersalah. Kemarin saat dia terburu keluar dari lift petinggi karena menghindari Nares yang kebetulan berada satu lift dengannya, tanpa sengaja dia menabrak tubuh gadis ini yang sedang berjongkok mengambil sesuatu hingga jatuh. Walaupun Ferdinan sudah meminta maaf namun entah kenapa wajah datar yang ditunjukan gadis ini membuat rasa bersalahnya tidak bisa hilang.
"Kalau begitu lupain aja. Tapi buat kedepannya lebih baik Bapak enggak main HP sambil jalan."
Tuh kan! Ferdinan kembali meringis, dia masih tidak terbiasa dengan wajah datar yang ditunjukan oleh gadis di depannya ini.
"Iya, akan saya ingat. Sebagai gantinya.." Tangan Ferdinan terulur, memberikan satu kotak muffin cake yang sengaja dia beli tadi sebagai tanda permintaan maaf, sesuai dengan saran yang diberikan oleh Fatma. "Untuk yang satu ini tolong jangan ditolak ya? Ini cuma kue sebagai tanda permintaan maaf."
Awalnya Kristal hanya diam sambil memandangi kotak itu dan wajah Ferdinan bergantian, namun kemudian gadis itu mengangguk. Menerima kue yang diberikan oleh Ferdinan. Ferdinan tersenyum lega.
"Makasih karena niat baiknya, Pak. Kalau begitu saya permisi."
Ferdinan langsung mengangguk, dia membiarkan gadis itu berlalu pergi. Dia juga melakukan hal yang sama, hendak kembali ke lobi untuk mengambil berkas dan tasnya yang tadi dia titipkan pada resepsionis.
Tapi begitu dia berbalik, dia dikejutkan oleh seseorang yang sudah berdiri tepat di depannya.
"Astaga, kaget saya, Fatma," keluh Ferdinan sambil mengelus dadanya.
Gadis lain di depannya tampak tersenyum lucu, kemudian menyerahkan tas dan juga berkas yang sangat Ferdinan kenali, karena itu memang miliknya.
"Saya tadi lihat pas Bapak nitipin ini ke resepsionis, makanya saya ambil lagi. Maaf kalau saya lancang, tapi saya pikir lebih aman kalau saya yang pegang," ujar gadis itu.
Ferdinan mengangguk saja, mengambil kembali barang-barang miliknya.
"Makasih ya," ucapnya. Lalu keningnya bekerut dengan mata yang menyipit menatap Fatma. "Berarti kamu udah lihat saya dari awal dong? Kamu juga lihat pas saya ngobrol sama Kristal?"
"Maksud Bapak, perempuan muda yang tadi Bapak cegat di jalan?"
Ferdinan berdecak, "Bukan dicegat di jalan dong. Kan tadi masih di kawasan kantor," sangkalnya.
"Iya, yang itu kan? Iya saya lihat. Saya juga lihat pas Bapak bawa dia kesini, tapi saya sama sekali enggak nguping pembicaraan kalian karena saya nunggu di lobi sampai perempuan itu pergi."
Kepala Ferdinan kembali mengangguk. Sebenarnya tidak masalah juga jika Fatma mendengar obrolannya dengan Kristal, toh tidak ada hal spesial yang dia bicarakan dengan gadis itu. Hanya sebuah permintaan maaf.
"Jadi kalau saya boleh tahu, dia perempuan yang sekarang sedang Bapak dekati?"
Tadinya Ferdinan sedang menunduk menatap sepatu barunya yang tampak kotor padahal baru dipakai satu hari, namun mendengar pertanyaan dari Fatma kepalanya otomatis langsung mendongak dengan tatapan penuh keterkejutan.
"Deketin? Deketin gimana maksud kamu?"
"Ya deketin sebagai lawan jenis."
Mata Ferdinan mengerjap pelan, sebelum kemudian dia tertawa terbahak sambil menggelengkan kepalanya.
"Padahal kan saya udah bilang ke kamu alasan saya ketemu sama perempuan itu tadi siang, saya cuma mau minta maaf. Kenapa kamu bisa berpikir sampai kesana sih?"
Ferdinan benar-benar takjub mendengar Fatma bisa menyimpulkan seperti itu, padahal yang dia tahu Fatma adalah pribadi yang sama sekali tidak suka mengurusi urusan orang lain.
"Oh begitu," kata gadis itu membalas. "Tapi kayaknya bukan cuma saya yang menyimpulkan salah kaprah begitu, Pak. Yang saya dengar, tadi orang-orang juga nebak-nebak tentang hubungan Bapak sama perempuan itu."
Sudah Ferdinan duga, orang-orang di perusahaannya memang cepat tanggap kalau soal gosip seperti ini.
"Yaudah biarin aja,toh mau saya kayak gimana pun mereka akan tetap membicarakan saya. Lagipula itu lebih baik daripada mereka natap saya dengan kasihan karena perempuan yang saya sukai, menikah dengan lelaki lain."
Walaupun Ferdinan menyertakan tawa di akhir kalimatnya, namun entah mengapa dia merasa bahwa Fatma dapat menembus ke dalam hatinya, yang justru merasa seperti ditusuk dengan mengingat kembali tentang Nares.
"Ya, itu lebih baik," balas Fatma dengan senyum kecil.
Ferdinan tertegun sesaat melihat senyum hangat dan lembut yang diberikan oleh sekretarisnya itu. Dia jadi semakin yakin jika Fatma sangat tahu bagaimana perasaannya. Dia merasa malu.
"Kalau begitu, saya permisi pulang, Pak."
Padahal Ferdinan sudah siap menawarkan tumpangan, namun kalimat semacam itu tidak keluar dari mulutnya dan kepalanya malah mengangguk sebagai jawaban.
**