6

1597 Kata
Jika libur di hari sabtunya digunakan oleh Fatma untuk membereskan rumah yang dia abaikan selama satu minggu, maka hari minggunya dia gunakan untuk menjalankan hobinya di tengah kesibukan sebagai seorang pegawai kantoran. Bagaimana pun bekerja di sebuah perusahaan besar dan berada di bawah atasan langsung adalah sesuatu pekerjaan yang tidak mudah. Tidak cukup pintar namun Fatma juga dituntut untuk dapat menebak apa yang terbaik yang bisa dia lakukan sebelum atasannya memberi perintah. Dan sulit dipungkiri jika hal itu tidak membebani Fatma, karena dirinya bahkan berulang kali berpikir untuk berhenti dari pekerjaannya dan berniat untuk membuka usaha sendiri. Meskipun kemudian dia mengurungkan niat itu setelah berpikir akan sebesar apa kerepotan yang dia rasakan. Srett. Bunyi tas panjang itu menjadi pengisi sunyi di dalam kamarnya. Sekali lagi Fatma mematut dirinya di cermin, membenarkan kaos olahraga yang sudah dia beli semenjak enam bulan yang lalu dan belum sempat membeli yang baru. Bukan karena Fatma tidak memiliki banyak uang, karena hidup dengan hemat dan seorang diri selama ini membuat Fatma memiliki tabungan yang lebih dari cukup untuk memperbanyak pakaian, atau aksesoris lainnya yang biasa dimiliki oleh wanita. Hanya saja Fatma benar-benar akan melupakan segalanya jika dia lelah dan parahnya dia hampir merasa kelelahan setiap hari. Yakin bahwa penampilannya sudah jauh lebih baik, dia kemudian keluar dari kamar, memperhatikan sekali lagi bentuk rumahnya yang sepi lalu melanjutkan langkah untuk keluar dari rumah itu. Padahal biasanya dia akan pulang pergi bekerja dengan menggunakan kendaraan umum, namun untuk setiap kali dia hendak berolahraga Fatma lebih memilih membawa kendaraannya sendiri berupa motor matic yang sebenarnya adalah peninggalan ayahnya. Bergegas dia menyalakan mesin motornya, meletakan tas di bawah kakinya, tersangkut pada cantolan yang memang ada di sana. Jika kalian bertanya-tanya tentang jenis olahraga apa yang sangat disukai oleh Fatma, maka jawabannya adalah bulutangkis. Dulu saat dia masih kecil dia sangat ingin tumbuh menjadi atlet, namun ayahnya melarang karena menurut ayahnya atlet bukan jenis profesi yang bisa membuat Fatma hidup nyaman di hari tua. Sama halnya seperti orang tua yang lain, Ayahnya berharap Fatma bisa menjadi Pegawai Negeri Sipil dimana hidupnya bisa terjamin dengan segala macam tunjangan bahkan hingga hari tua. Namun pada akhirnya Fatma malah menjadi pegawai kantoran yang sibuk setengah mati, walaupun gajinya memang besar dan juga mendapatkan beberapa jenis tunjangan tapi pekerjaan yang dilakukan oleh Fatma memang kadang melelahkan. Contohnya saat Ferdinan tiba-tiba saja tidak masuk kantor untuk tiga hari, Fatma yang merupakan sekretarisnya harus menerima caci maki dari klien yang tidak terima karena janjinya dibatalkan. Memakan waktu nyaris satu jam sampai akhirnya Fatma berhasil tiba di sebuah bangunan besar yang merupakan tempat latihan bulutangkis yang bisa disewa dengan tarif perjam. Uniknya gelanggang ini juga membentuk sebuah klub bulutangkis sendiri untuk dapat memperoleh teman tanding untuk waktu yang disepakati. Dan itu lah yang terjadi pada Fatma, karena dia sudah memiliki janji dengan teman satu klub nya yang juga hanya bisa datang setiap hari minggu saja. "Duh asik deh kalau janjiannya sama Fatma, gue jadi enggak perlu nunggu lama karena lo enggak pernah ngaret." Kama tertawa, dia meletakan tas raketnya di atas kursi yang kemudian membuka jaket yang dia pakai hingga hanya mengenakan kaus pas badan berlengan pendek. "Saya cuma terlalu gabut aja di rumah, jadinya begitu siap ya langsung kesini." Temannya bernama Nera, seorang pelukis muda yang tergabung dengan salahah satu studio lukis terkenal di ibu kota. Fatma pernah sekali ditunjukan hasil lukisnya, walaupun menurut Fatma lukisan Nera adalah hal yang menganggumkan, namun entah kenapa Nera selalu terlihat tidak percaya diri. "Mulai yuk!" ajak Nera yang sudah ada di tengah lapangan. Fatma mengacungkan jempol, sejenak melakukan pemanasan sebelum kemudian bergabung bersama dengan Nera disana. Hanya permainan santai yang mereka lakukan, namun di kala set sedang panas-panasnya Fatma kadang lupa jika saat ini dia hanya sedang bermain sebagai hobi, bukan sebagai sesuatu yang dulu menjadi cita-citanya. Darahnya terasa mengalir dengan deras, menggebu-gebu karena begitu menikmati permainan bersama dengan Nera. Berkat keahlian dan tubuh tingginya, dia berhasil menyelesaikan permainan bersama dengan Nera dalam dua set saja. "Susah banget sih menang dari lo," keluh Nera. "Ya harusnya kamu lebih serius dong walaupun kita mainnya cuma buat hobi doang," balas Fatma sambil membuka botol minumannya. Permainannya hari ini tidak akan selesai sampai disini saja, dia berniat bermain bersama dengan anggota club yang lain yang kebetulan juga ada di sini hari ini.  Masih dengan botol minuman yang menempel di mulutnya, Fatma mencari-cari siapa yang sekiranya bisa dia ajak bermain setelah ini. "Fatma? Loh beneran Fatma ternyata." Mendengar namanya yang disebut oleh seseorang, Fatma langsung menurunkan botolnya dan menoleh ke arah orang yang tadi menyapanya. Sisa air yang masih berada di dalam mulutnya, tanpa bisa dia tahan menyembur keluar begitu saja begitu tahu siapa yang barusan memanggilnya. 'Ini gila!' batinnya. * "Sie, gue enggak sedepresi itu kok. Gue udah baik-baik aja sekarang, gue udah bisa ngerelain Nares." Ferdinan berjalan ke arah dapur apartemennya, menuangkan segelas air dingin ke dalam gelas kemudian meneguknya hingga tandas. "Ya memang apa salahnya kalau gue melakukan tindakan pencegahan? Kemarin-kemarin lo juga bilangnya akan berusaha buat relain Nares, tapi kata Nares terakhir kali lo malah ngajak dia makan malam. Bahkan bujuk Nares buat cerai sama suaminya. Gimana gue enggak worry coba?" Ferdinan meringis saat mendengar helaan pajang dari sahabatnya itu, merasa bersalah karena semua yang dikatakan oleh Siera adalah benar adanya. Hingga di waktu terakhir, dia masih mencoba untuk membuat Nares goyah dan memilihnya. Walaupun itu tidak pernah bisa terjadi. "Gue cuma enggak mau persahabatan kita jadi hancur cuma karena masalah ini. Lo ganteng, Fer. Lo baik dan lo pinter, you deserve better. Jangan terpaku sama Nares yang bahkan udah bahagia sama kehidupan barunya, lo juga harus cari kebahagiaan lo sendiri dengan menikah dan punya anak." Rasanya ada yang patah di dalam hati Ferdinan, membayangkan kedua sahabat wanitanya sudah bahagia sedangkan dirinya sendiri masih terpaku pada perasaan yang hanya dia yang memilikinya, terasa begitu miris dan menyedihkan. Ia mengambil napas begitu berat, mengangguk walaupun Siera yang ada di seberang telepon tidak akan bisa melihatnya. "Oke deh, gue akan siap-siap buat datang ke tempat itu," setuju Ferdinan pada akhirnya. Walaupun awalnya dia menolak keras apa yang sudah Siera siapkan demi membantu proses move on Ferdinan, namun memang pada dasarnya yang namanya lelaki tidak akan pernah menang dari wanita. Bisa dia dengar sorakan dari ibu satu anak itu yang kegirangan karena dia menerima tawarannya. "Tapi sebagai gantinya, lo enggak usah lagi mikirin gue. Lo cuma perlu fokus sama keluarga lo, suami dan anak lo. Gue janji, gue enggak akan pernah ganggu hubungan Nares sama suaminya lagi dan seiring berjalannya waktu gue juga akan mencari kebahagiaan gue sendiri." Setelah berhasil meyakinkan Siera untuk tidak lagi memikirkan dirinya, Ferdinan akhirnya menutup panggilan telepon dan mulai bersiap-siap. Dan disini lah dia sekarang, datang seorang diri ke sebuah gelangang olahraga yang khusus menyewakan tempat untuk berlatih bulu tangkis. Siera mengetahui apa yang dia suka dengan baik, saat kuliah dulu Ferdinan bahkan pernah memenangkan kejuaran bulu tangkis tingkat mahasiswa sebelum kemudian berhenti karena sempat cidera. Kini setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya dia kembali akan memegang raket. Senyum tidak bisa untuk tidak terbit di wajahnya, apalagi ketika menatapi orang-orang yang berkeringat usai melakukan latih tanding dengan temannya yang lain. Dari yang Ferdinan dengar, gelanggang ini juga memiliki klub bulu tangkis yang diikuti semua orang dari berbagai profesi, mungkin jika pada akhirnya Ferdinan berhasil menikmati permainannya kali ini maka dia akan bergabung dengan klub itu. Ferdinan meletakan tas yang dia bawa ke atas bangku panjang, dia berniat mengeluarkan raket miliknya. "Baru datang ya? Kayaknya gue baru lihat lo, baru pertama datang kesini?" Menoleh, Ferdinan tersenyum ramah pada seorang pria bertubuh tinggi dan berkulit coklat. Dia kemudian mengangguk. "Iya nih, gue baru pertama main disini. Harusnya sih gue bawa temen biar bisa main bareng, tapi kata temen gue yang daftarin gue kesini, katanya disini ada klub nya jadi gue bisa nantang main orang-orang yang udah tergabung dalam klub." Menanggapi penjelasan Ferdinan, pria itu tertawa. Kemudian tangannya terulur ke arah Ferdinan. "Kenalin dulu deh, nama gue Ibrahim. Gue anggota klub sekaligus wakil ketua klubnya. Temen lo bener, enggak masalah datang kesini tanpa bawa teman main karena hampir setiap hari selalu ada yang datang kesini dan siap jadi teman tanding lo." Entah kenapa Ferdinan sudah merasa cocok dengan tempat ini, juga keramahan pria yang bernama Ibrahim. Dia membalas jabat tangan itu, balas memperkenalkan namanya kepada pria berkulit coklat itu. Hingga tanpa sadar dia kemudian menoleh pada satu area latihan yang kosong, dan matanya menyipit ke arah seorang wanita yang dirasa sangat dikenalnya. "Him, bisa tunggu gue sebentar?" tanya Ferdinan. Ibrahim mengangguk tanpa bertanya, kemudian Ferdinan berjalan mendekat ke arah dua gadis yang sedang saling bicara. Salah satunya tampak sedang meminum air dari botol miliknya, semakin dekat Ferdinan tersenyum karena ternyata matanya tidak salah mengenali. "Fatma? Loh beneran Fatma." Gadis yang di kesehariannya adalah sekretarisnya itu langsung menoleh, kemudian air dalam mulutnya menyembur. Tidak bisa bagi Ferdinan untuk tidak tertawa melihat Fatma yang biasanya akan sangat elegan dan teliti, bisa melakukan hal konyol seperti itu hanya karena terkejut mendapati keberadaannya. "Pak Ferdinan?! Kok bisa disini?" tanya Fatma kaget. Kening Ferdinan mengerut samar, "Bisa dong. Saya masuk dari pintu sana tadi." Ferdinan kemudian takjub saat melihat Fatma berani berdecak usai mendengar jawabannya. Namun selanjutnya Ferdinan tahu jika gadis itu melakukannya secara tidak sadar, karena setelahnya Fatma langsung berwajah pias sambil menutupi mulutnya dengan kedua tangan. "Kamu sudah mau pulang?" tanya Ferdinan. Dia bersyukur saat kemudian Fatma menggeleng sebagai jawaban. "Good! Kalau begitu kamu dilarang pulang sebelum saya selesai, saya mau ngobrol sama kamu tapi sekarang saya harus latih tanding dulu. Tunggu saya, oke?" Tanpa menunggu jawaban dari Fatma, Ferdinan langsung berbalik badan dan setengah berlari menghampiri Ibrahim yang sedang menunggunya. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN