Padahal Fatma sendiri tahu jika diluar jam kerja, maka Ferdinan tidak mempunyai hak untuk mengaturnya apapun. Tapi saat kemudian Ferdinan meminta dirinya untuk menunggu hingga pria itu selesai berlatih tanding, otak Fatma secara otomatis langsung mengiyakan keinginan atasannya itu.
Dia memang berniat untuk sekali lagi melakukan latihan sebelum kemudian istirahat dan pulang, tapi entah kenapa semangatnya yang tadi menguap setelah dikejutkan oleh keberadaan pria yang sama sekali tidak dia sangka akan muncul di tempat ini. Dan secara naluriah dia langsung merasa penasaran tentang kemampuan atasannya itu dalam bidang olahraga, karena yang dia tahu bahwa Ferdinan memiliki kemampuan bagus dalam segala bidang.
Fatma memutuskan mengambil duduk di bangku yang tadi menjadi tempatnya menaruh tas, Nera sendiri sudah berpamitan pulang karena katanya ada sesuatu yang harus dia kerjakan setelah dari sini. Berusaha untuk tidak terlalu terlihat antusias dengan latih tanding yang dilakukan oleh Ferdinan, Fatma hanya melirik sekedarnya saja.
Tapi betapa terkejutnya ia saat mengetahui Ibrahim yang dinilai sebagai orang paling jago setelah ketua klub, justru terlihat kualahan saat berhadapan dengan Ferdinan sebagai lawan mainnya. Bahkan penampilan mereka menarik atensi semua orang yang ada di sana, yang juga tengah beristirahat seperti Fatma. Walaupun kemenangan set pertama dimenangkan oleh Ibrahim dengan selisih yang sangat kecil, namun di set yang kedua dan ketiga Ferdinan berhasil mengalahkan Ibrahim.
Fatma tidak bisa untuk tidak takjub melihatnya. Terlebih, Ferdinan terlihat sangat menikmati permainannya, wajah sendu dan mendung yang kadang muncul di waktu-waktu tertentu tidak lagi Fatma lihat ada disana. Ferdinan benar-benar terlihat seperti Ferdinan sebelum mendengar kabar pernikahan wanita yang dicintainya, tampak ramah dan bersinar hingga menyenangkan untuk dilihat dalam waktu lama.
Tubuhnya terkesiap, tidak menyangka jika otaknya akan berpikir seperti itu. Di tengah lamunannya yang mengejutkan, Fatma bisa melihat bosnya itu berjalan ke arahnya dengan menenteng tas dan handuk di tangannya yang berlainan.
"Maaf ya, saya malah jadi nahan kamu lebih lama disini," ucap Ferdinan.
Dengan natural, pria itu langsung mengambil duduk di samping Fatma.
"Saya enggak pernah tahu kalau Bapak jago main bulu tangkis," komentar Fatma.
Pria itu menoleh, tersenyum miring dengan wajah geli.
"Harusnya selama hampir dua tahun jadi sekretaris saya, kamu tahu kalau yang namanya Ferdinan mampu menguasai segala bidang."
"Tapi enggak mampu dapetin satu wanita yang Bapak mau," batin Fatma sambil memalingkan muka.
"Iya, saya tahu Bapak selalu bisa melakukan hal apapun. Tapi gimana pun juga, mengalahkan Mas Baim itu sesuatu yang luar biasa, biasanya Mas Baim cuma akan kalah sama Mas Ledra, ketua klub ini, balas Fatma.
Ferdinan memiringkan kepalanya saat menatap Fatma. "Kamu sudah lama gabung? Kayaknya kamu udah akrab banget sama mereka ya? Tadi juga Ibrahim nanya dimana saya bisa kenal kamu."
Terdiam, Fatma kemudian tersenyum tipis.
"Saya baru gabung enam bulan, tapi saya kenal Mas Baim udah lama karena dia kakak kelas saya pas SMA, dia juga yang ngajakin saya buat gabung klub ini," jawabnya.
Kepala Ferdinan mengangguk, matanya memperhatikan orang lain yang sedang berlatih tanding dengan satu tangan yang membuka tutup botol lalu meneguk isinya.
"Bapak sendiri kok bisa disini?" tanya Fatma.
Kini giliran senyum Ferdinan yang muncul saat mendengar pertanyaan dari Fatma.
"Selain Nares, saya punya satu sahabat lagi. Awalnya dia sahabatnya Nares, tapi karena saya deketin Nares jadinya saya juga deket sama dia."
Seperti yang biasa Fatma lakukan, dia menaruh perhatian penuh pada apa yang sedang atasannya itu katakan.
"Dia tahu kalau saya terluka setelah tahu Nares menikah dengan lelaki lain, makanya waktu itu dia datang secara langsung buat menghibur saya. Tapi memang sayanya aja yang bebal, walaupun tahu kalau tindakan saya salah, saya masih aja tetep deketin Nares."
Fatma buru-buru mengangkat tangan, matanya menatap ragu pada Ferdinan yang balas menatapnya dengan bingung.
"Maaf, memangnya Bapak enggak apa-apa cerita kayak gitu ke saya?"
Tidak dia sangka jika Ferdinan kemudian malah tertawa, kepala pria itu lalu mengangguk.
"Toh walaupun saya enggak cerita, hampir semua orang di kantor tahu kalau saya enggak rela ngeliat Nares menikah sama lelaki lain," jawabnya acuh. "Walaupun memang pertama saya kesel karena sahabat saya itu terkesan enggak ngertiin perasaan saya yang terluka dengan melarang saya menganggu hubungan Nares, tapi pada akhirnya saya sadar kalau dia cuma khawatir sama kami. Dia khawatir hubungan kami yang selama ini baik-baik aja jadi rusak karena perasaan bodoh saya. Makanya setelah saya bilang kalau saya akan mulai serius berusaha move on sama Nares, dia malah daftarin sama ke tempat ini." Ferdinan menertawakan kalimat akhirnya.
Kepala pria itu menoleh pada Fatma dengan senyum tipis yang terkesan penuh beban namun di waktu yang sama justru terasa hangat.
"Saat ini saya sedang berusaha buat enggak mengecewakan sahabat saya itu lagi, dan bikin dia hidup dengan tenang tanpa khawatir sama perasaan saya."
Fatma ikut tersenyum, tubuhnya sedikit bergerak ke belakang dengan jemari saling bertaut.
"Sahabat Bapak pasti senang karena Bapak anak yang penurut," kelakar Fatma.
Dia merasa bersyukur saat Ferdinan menertawakan leluconnya yang garing itu. Setidaknya Ferdinan tahu bagaimana cara menjaga perasaan orang lain agar tidak tersinggung.
**
Sama sekali tidak disangka jika vakum berolahraga berat selama beberapa tahun dapat membuat Ferdinan mengalami sakit di sekujur tubuhnya. Bahkan saking sakitnya, dia langsung pulang ke rumah orang tuanya tadi malam demi bisa mendapatkan perawatan dan perhatian dari sang Mami. Karena berada sendirian di apartemen di saat semua tubuhnya sakit adalah sebuah kesulitan yang hakiki.
Pagi ini, dengan usaha keras agar tidak terlalu terlihat bahwa dirinya tengah menahan rasa ngilu di beberapa bagian, Ferdinan berjalan lebih pelan dari biasanya. Dia yang biasanya lebih suka memarkirkan mobil di parkiran yang ada di depan lobi, melewati jalanan ramai lobi dengan menjawab sapaan dari orang-orang sambil berusaha untuk tidak meringis. Dia hanya ingin secepatnya sampai di lantai ruangannya.
Namun ujian datang ketika dia hendak masuk ke dalam lift khusus petinggi dan berpikir bahwa dirinya adalah satu-satunya yang akan menaiki lift itu, dua orang yang paling tidak ingin dia temui di kantor ini malah muncul dengan wajah ceria bak mentari pagi.
Ferdinan memberikan senyum secukupnya pada sepasang manusia yang sudah menghancurkan seluruh bagian hatinya, dia bergerak mundur dan membiarkan Nares serta suaminya berada satu langkah kecil darinya. Padahal lift yang ditujukan untuk para petinggi selalu membuat siapapun yang ada di dalamnya tidak merasakan sedang berjalan dan tahu-tahu langsung sampai di lantai tujuan karena saking tepat dan nyamannya, namun kali ini Ferdinan malah merasakan hawa panas yang tidak biasa dalam dirinya. Juga dia berpikir bahwa lift ini terasa sangat lama.
Tiba di lantai tiga, Ferdinan sedikit terkejut saat kemudian Nares turun padahal harusnya wanita itu tiba di lantai yang sama dengannya. Ternyata alasannya adalah karena Nares enggan berada satu ruang dengannya di saat suaminya turun lebih dulu. Tepat ketika pintu lift kembali tertutup, senyum miris di wajah Ferdinan kembali timbul.
Perasaannya masih belum baik-baik saja melihat pemandangan itu, sepertinya dia harus mempertimbangkan untuk memarkirkan kendaraannya di parkiran bawah tanah untuk mempersempit kemungkinan dia bertemu dengan Nares. Sekarang Ferdinan bahkan baru ingat jika alasan dirinya suka memarkirkan mobil di parkiran lobi adalah karena Nares selalu memarkirkan mobilnya di sana. Payah sekali.
Melewati ruangan yang merupakan milik Nares, Ferdinan merasa bangga karena matanya tidak melirik ke arah sana sama sekali. Ini adalah bagian dari upayanya untuk move on.
Lalu senyumnya terulas saat bertatap mata dengan Fatma yang sudah berdiri di mejanya, memasang senyum formal seperti biasa.
Kemarin ketika mereka memutuskan pulang, Ferdinan sudah berniat mengantarkan Fatma pulang karena mungkin gadis itu juga merasa kelelahan, namun ternyata Fatma membawa kendaraannya sendiri. Hal yang selama ini tidak Ferdinan tahu.
"Selamat pagi Fatma! Pagi ini saya merasa dunia enggak adil, karena kamu kelihatan baik-baik saja di saat semua badan saya sakit karena main bulu tangkis kemarin."
Fatma tertawa kecil menanggapi ucapannya, gadis itu keluar dari mejanya sambil membawa tablet yang di dalamnya berisi semua jadwal harian Ferdinan.
"Selamat pagi juga, Pak. Saya iri karena walaupun Bapak mengeluhkan sakit di sekujur tubuh Bapak, tapi Bapak masih bisa tersenyum seceria itu."
Kini Ferdinan yang tertawa, nada datar dan eskpresi yang sedikit geli yang selalu ditunjukan oleh Fatma setiap kali melemparkan lelucon membuat Ferdinan benar-benar terhibur. Lucu sekali.
"Karena belakangan saya sudah sering berwajah muram, jadi sekarang saya harus berwajah ceria demi tekad kuat saya." Ferdinan tersenyum, dengan gaya dia menjatuhkan pantatnya di kursi putar berukuran besar miliknya.
"Buat pagi ini saya mau minum teh hangat saja, Fatma. Dan karena seingat saya hari ini saya enggak punya janji temu dengan siapapun, saya minta dibawakan laporan terbaru dari tim," pinta Ferdinan.
Padahal di depannya Fatma sudah bersiap dengan tablet yang sudah menyala, namun mendapati Ferdinan yang sudah tahu jadwal kerjanya sendiri membuat gadis itu mengangguk dengan senyum terkulum.
"Baik, Pak. Akan saya bawakan semua permintaan Bapak."
Lalu seperti biasa, tanpa mengatakan apapun Fatma langsung berbalik badan dan keluar dari ruangan. Sedangkan Ferdinan malah memutar kursinya, menghadap ke dinding kaca yang tampak bersih dan langsung menyuguhkan banyaknya gedung yang juga berdiri di sekitar gedung kantornya.
Senyum yang menurut Fatma ceria itu sudah luntur semenjak kursinya berbalik, berganti dengan wajah sendu seperti biasa. Dia sudah menyadari bahwa membuang perasaannya pada Nares setelah sekian tahun bukan lah hal yang mudah, apalagi Nares memilih seseorang yang bahkan baru dikenal wanita itu dibanding Ferdinan yang sejak lama ada di sampingnya.
Walaupun masih merasa itu adalah sesuatu yang tidak adil, namun Ferdinan teringat akan janjinya yang sudah dia katakan pada Siera, bahwa dia tidak akan lagi menganggu hidup Nares. Lagipula Nares juga terlihat sedikit menghindarinya setelah kejadian terakhir kali dimana Ferdinan meminta agar Nares memilih dirinya daripada lelaki yang sudah menjadi suami Nares itu.
Dia menghela napas kasar, mengusap wajahnya dengan frustasi.
"Jangankan dia, gue aja kesel kalau ingat itu," gumamnya penuh sesal.
**