"Fatma, bisa minta tolong pesankan makanan? Saya belum sempat makan siang."
Fatma mendongak, bergegas berdiri dari duduknya saat tiba-tiba saja Ferdinan datang dan langsung meminta dirinya memesankan makanan.
Ini sudah jam satu siang, atasannya itu bahkan pergi sebelum jam istirahat tapi ternyata belum makan siang?
"Mau saya pesankan apa, Pak?" tanya Fatma. Tangannya sudah sigap memegang ponsel yang sudah menjadi teman setianya selama tiga tahun itu, dengan aplikasi berwarna hijau yang siap membantu tugas dadakannya.
Pria di depannya itu mengerutkan kening, kemudian menoleh dengan celengan kecil.
"Apa aja deh, fast food juga engga masalah. Saya udah laper banget," katanya menyerah.
Fatma mengangguk. Begitu bosnya itu masuk ke dalam ruangan, dirinya langsung dengan sigap memilah menu yang cocok untuk orang lapar seperti bosnya.
Bosnya bilang apa saja, padahal jika Fatma pesankan makanan pedas, dia yakin besoknya sekretaris Ferdinan bukan lagi dirinya. Karena Ferdinan yang sempurna dengan wajah tampan dan jabatan tinggi itu, sangat memusuhi makanan pedas.
Pilihannya jatuh pada mie ayam toping jamur dari restoran yang cukup terkenal dan memiliki cabang di mana-mana. Seingatnya, Ferdinan menyukai menu yang satu itu ketika mereka ada meeting diluar. Dan Fatma mengingat itu dengan jelas untuk dia gunakan di situasi seperti ini.
Tidak sampai satu jam hingga pesanannya itu dibawakan oleh seorang OB.
Ia bergerak bangun, berjalan menuju pantri yang ada di lantai itu untuk mengganti tempat mie ayam ke dalam mangkok beling. Juga mengambilkan segelas air hangat untuk minumnya.
Fatma berjalan perlahan kembali ke ruangan bosnya, dia mengetukkan pinggiran nampan yang dia bawa ke arah pintu untuk meminta akses dari Ferdinan agar dirinya bisa masuk.
Setelah mendengar sahutan dari dalam, dengan satu tangan Fatma berhasil membuka pintu dan bergerak masuk.
"Saya pesankan Mie Ayam jamur, engga masalah, Pak?" tanya Fatma.
Langkahnya yang tadi berhenti beberapa langkah di depan meja Ferdinan, kembali dilanjutkan ketika melihat Ferdinan mengangguk.
"Yang penting engga pedas," ujar pria itu.
Fatma mengulum senyum bangga saya berhasil mengingat hal penting dari bosnya itu. Dengan pelan, ia menurunkan nampan ke atas meja dan menata mangkuk serta gelas panjang yang ia bawa, tepat di hadapan Ferdinan.
"Selamat makan, Pak!" ucapnya dengan senyum bisnis.
Ferdinan mengangguk tanpa mengangkat wajahnya, pria itu sudah sibuk mengulir mie dengan garpu dan memakannya.
Fatma tersenyum, ternyata bosnya itu benar-benar kelaparan.
Kemudian dia memutar tubuhnya 360 derajat dan berjalan keluar dari ruangan Ferdinan untuk kembali ke mejanya.
Masih banyak yang harus dia kerjakan sebelum jam pulang kantor nanti, karena Fatma sama sekali tidak berniat buruk menghabiskan waktunya lembur di kantor. Lagipula dari pertama mulai bekerja, Ferdinan sangat jarang sekali memintanya lembur kecuali jika ada trouble di akhir bulan saat divisinya akan menjadi divisi sibuk kedua setelah divisi keuangan.
Fatma mengulas senyum, dirinya benar-benar beruntung diterima di perusahaan besar yang tidak menekannya begitu parah sebagai b***k korporat.
*
"Komplit nya satu ya, Bu."
Seorang ibu tua yang sedang berdiri di balik gerobak dagangannya itu menelengkan kepala ke arah Fatma.
"Engga masak toh?" tanyanya dengan gaya akrab.
Fatma tertawa, membuka toples berisi emping di depannya. Mengambil satu untuk dia makan sembari menunggu pesanan nasi gorengnya siap.
"Malas, Bu. Udah keburu capek di tempat kerja, jadi udah engga punya semangat lagi buat masak," jawabnya.
Jika dilihat dari banyaknya orang yang memadai bangku dan juga beberapa orang yang menunggu di kendaraannya, bisa dipastikan jika dirinya akan cukup lama menunggu hingga benar-benar mendapatkan pesanannya.
Namun mau bagaimana lagi, hanya ini yang paling dekat dengan apartemennya dan juga rasanya enak dengan harga yang murah. Itu pula yang membuat gerobak nasi goreng ini selalu ramai pengunjung. Dari yang jalan kaki sampai yang menaiki merci, karena menu disini juga cukup beragam dan banyak variasi.
"Tapi soal masaknya bisa kan, Nduk?"
Fatma menoleh, keningnya mengerut samar. Merasa takjub karena di bawah tekanan para pengunjung yang sedang menunggu pesanan, si ibu masih sempat mengajaknya bicara.
"Bisa, Bu. Sedikit." Alisnya naik satu, merasa ragu dengan jawabannya sendiri. "Kalau sekedar ayam goreng saya bisa, toh tinggal pake bumbu ungkep instan terus goreng," katanya kemudian.
Dia tertawa saat melihat si ibu menggelengkan kepala pelan.
"Enaknya jadi anak jaman sekarang, semuanya serba instan. Bahkan mau pergi ke mana-mana engga harus punya kendaraan sendiri, orang miskin kayak Ibu juga bisa ngerasain naik mobil bagus kalau mau kondangan, engga harus punya mobil sendiri," ujar si ibu dengan cekikikan.
Kemudian si Ibu langsung berlalu meninggalkan Fatma saat mendengar teguran dari anaknya untuk fokus melayani orang-orang saja.
Fatma tersenyum geli. Pandangannya meninggalkan si ibu penjual nasi goreng dan kembali berkelana ke sepenjuru tenda biru ini.
Beberapa orang yang tadi menempati meja mulai berkurang, tergantikan dengan orang baru yang datang dan memesan sepertinya.
Fatma kembali menoleh ke arah seorang anak muda yang merupakan anak dari si Ibu pedagang. Di suatu waktu saat dia datang membeli dan kondisi warung sedang lengang, si ibu pernah bercerita jika saat ini yang dimiliki olehnya hanya anak lelakinya itu dan juga warung ini. Semenjak suaminya meninggal karena kecelakaan kerja di pabrik, si ibu nekat membuka warung ini dengan uang santunan dari pihak pabrik. Di samping itu, uang asuransi digunakan untuk membeli rumah kecil sebagai tempat tinggal karena selama ini mereka hanya mengontrak.
Anak lelakinya itu seorang sarjana teknik yang baru lulus, dan belum mendapatkan pekerjaan sehingga masih bisa membantu pekerjaan ibunya di warung apalagi saat ramai seperti ini.
Fatma tersenyum miris, dirinya merasa tidak tahu malu karena sempat-sempatnya merasa kasihan kepada orang lain sedangkan hidupnya sendiri saja sudah kacau.
"Mbak, ini sudah."
Ia tersentak, mengerjapkan matanya dengan pelan saat tiba-tiba sekantung plastik hitam sudah ada di depan matanya. Ia mendongak, menemukan si anak lelaki tersenyum sopan masih dengan memegangi plastiknya.
Fatma berdiri, mengambil alih plastik itu dan menggantinya dengan uang sejumlah harga nasi sebelum kemudian berlalu dari tenda itu setelah berpamitan pada si ibu.
*
"Waw! Silaunya!"
Fatma tertawa ketika melihat Kintan kembali berulah. Temannya itu bergaya sangat dramatis dengan menutupi matanya menggunakan telapak tangan ketika Ferdinan dan Nares berjalan beriringan memasuki cafetaria.
Sikap Kintan berlebihan, sungguh. Megi bahkan sampai berdecak berkali-kali karena kesal melihat tingkah gadis itu. Namun Fatma sendiri tidak bisa menyalahkan Kintan, karena kehadiran dua petinggi perusahaan di kantin kantor yang memiliki menu pas-pasan menurut Kintan ini, tampak sangat tidak biasa.
Bukan hanya mereka yang menatap penasaran, melainkan hampir semua orang kini juga tengah memperhatikan dua makhluk menawan itu sedang duduk dengan tenang sebelum kemudian bos Fatma berdiri, bertindak gentle dengan berjalan ke arah penjual dan memesankan makanan untuk mereka berdua.
"Gimana engga disangka punya hubungan coba, kalau deketnya aja sampai begitu. Sweetnya ngalah-ngalahin Indah sama Ilham dari divisi personalia," cetus Kintan.
Dua nama yang disebutkan gadis itu tadi adalah pasangan personalia yang dianggap tidak tahu malu karena selalu mengumbar kemesraan dimana pun mereka bisa. Sayangnya perusahaan memang tidak melarang untuk adanya hubungan selain teman kantor selama tidak melalaikan pekerjaan.
"Jangan sebar gosip, kamu yang lebih tahu soal Bu Nares." Megi berujar memperingati. Dia tidak senang mendengar Kintan bahkan berbicara dengan santai soal gosip itu.
Kintan merengut, memotong perkedel jagung yang ada di piringnya.
"Iya, Bu Nares engga normal karena engga jatuh cinta sama Pak Ferdi," ujarnya.
Megi sudah nyaris memekik saat Fatma menggelengkan kepalanya. Memperingati untuk tidak menganggap serius ucapan Kintan.
"Kabarnya, Bu Nares mau ambil cuti?" Fatma sengaja mengalihkan pembicaraan, meskipun tangannya sibuk menghabiskan makanan namun matanya melirik ke arah dua manusia menyilaukan itu sesekali.
Kintan mengangguk, tampak tertarik dengan bahasan dari Fatma.
"Aku engga tahu sih ada urusan apa, mendadak banget. Sampe-sampe Manajer aja sampai ragu buat ambil alih pekerjaan Bu Nares sementara waktu. Soalnya kan bentar lagi ada perekrutan baru juga," jawabnya.
Sebenarnya Fatma tidak terlalu ingin tahu soal itu, namun kabar itu sudah sampai ke telinganya meskipun Ferdinan justru belum mengetahui itu jika teringat bagaimana sikap alasannya itu tadi pagi.
"Mungkin urusan keluarga," ujar Megi sambil lalu. Sama tidak tertariknya dengan Fatma.
Kintan mengangkat bahu, "Tapi kalian udah tahu kan ada Manajer baru?"
Mendengar itu, Megi memutar bola matanya malas.
"Orangnya kan dari divisi ku, jelas lah aku tahu. Emang ganteng orangnya, tapi masih muda banget. Udah gitu..." Megi terhenti, terlihat berpikir sejenak sebelum kemudian menggelengkan kepala sambil mengibaskan tangannya. "Pokoknya ganteng deh," katanya.
Fatma melirik ke arah Kintan, gadis itu tampak antuasias ketika mendengar ucapan Megi. Hal yang sudah biasa juga dari Kintan. Memikirkannya membuat Fatma merasa geli.
"Nanti aku mau main ke divisi kamu," ujarnya semangat.
Fatma tertawa ketika melihat Megi melotot, tanda jika dirinya tidak akan mengijinkan Kintan mengganggu harta karun dari divisinya.
"Jangan macam-macam, kamu nanti aku laporin ke Pak Bakhtiar kalau godain Manajer baru," ancamnya.
Bakhtiar yang dimaksud adalah seorang pria paruh baya yang merupakan direktur keuangan, dengan kata lain beliau adalah atasan langsung Megi.
Kintan melengos dengan bibir mencebik.
"Dasar tukang monopoli!" sungutnya.
Megi yang tidak terima dikatai seperti itu, melempar Kintan dengan gulungan tisu bekas hingga gadis itu memekik tertahan.
Sedangkan Fatma hanya bisa tertawa melihat pemandangan yang sudah biasa terjadi antara Kintan dan Megi itu.
Kemudian di sela waktu yang tersisa, matanya melirik penasaran ke arah meja yang di tempati Nares dan juga Ferdinan. Keningnya mengkerut saat melihat meja itu sudah digantikan oleh orang lain.
Padahal dia dan kedua temannya saja masih belum meninggalkan kafetaria, namun kedua petinggi itu tidak membuang lebih banyak waktu di tempat seperti ini selain untuk makan. Tidak bergosip seperti yang dilakukan dirinya dengan kedua temannya sekarang.
**