Ada yang aneh dari atasan tampan Fatma. Padahal beberapa hari yang lalu Fatma beserta dua temannya masih bisa melihat wajah cerah Ferdinan saat memasuki kantin karyawan bersama pujaan hatinya.
Namun hari ini setelah diadakan rapat besar yang dipimpin langsung oleh pemilik perusahaan, wajah Ferdinan bahkan sudah sulit dikatakan sebagai wajah manusia. Atasannya itu kembali ke ruangan dengan wajah yang memerah, juga tidak ada senyum sama sekali seperti biasa.
Padahal ada banyak yang harus Fatma laporkan perihal penjualan dan beberapa kendala di lapangan yang dia terima laporannya dari Manajer, namun melihat wajah Ferdinan yang sama sekali tidak baik, membuat Fatma rasanya harus pintar mencari waktu yang tepat untuk melaporkan semua itu.
Posisinya yang sudah berdiri tadi, kembali duduk dan memilih mengerjakan tugas yang lainnya lebih dulu. Namun belum genap waktu meninggalkan angka lima belas dalam bilangan menit, pintu ruangan atasannya kembali terbuka.
"Masuk ke ruangan saya, ada yang mau saya bicarakan," ujar Ferdinan.
Fatma mengangguk, dia berusaha menahan ekspresi wajahnya agar terlihat tidak kebingungan. Pasalnya Ferdinan biasanya memanggil dia lewat interkom untuk melakukan segala sesuatu, namun kali ini bosnya itu bahkan langsung keluar dari dalam ruangannya hanya untuk memanggil Fatma.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Fatma sopan.
Dia memperhatikan gerak atasannya yang tampak linglung, bukannya langsung bicara dan menugaskan Fatma sesuatu, Ferdinan justru berulang kali menyugar rambut dan mengusap wajahnya dengan gusar.
"Pak?"
Melihat keadaan Ferdinan yang seperti itu malah membuat Fatma cemas. Ferdinan bukan lah tipe orang yang tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, kadang walaupun Ferdinan sedang kesal terhadap sesuatu namun pria itu akan sebisa mungkin menyembunyikan perasaannya jika masih dalam mode bekerja. Tapi kali ini benar-benar berbeda, bosnya itu tampak seperti tengah sakit, atau kehilangan sesuatu hingga membuatnya gelisah.
"Tolong buatkan saya kopi pahit, jangan pakai gula sama sekali."
"Maaf?"
Ferdinan menatapnya dengan tatapan tajam, hingga tanpa sadar membuat Fatma langsung menutupi mulutnya dengan tangan.
"Akan saya buatkan sekarang, Pak," katanya kemudian.
Dia langsung berbalik badan dan keluar dari ruangan itu.
Dalam langkahnya menuju pantri dia terus berpikir tentang keanehan yang ditunjukan oleh Ferdinan, jika dia diberi kesempatan untuk menebak, hal yang selalu bisa membuat Ferdinan kehilangan kendali atas dirinya, bersikap tidak rasional dan juga selalu terlihat kekanakan, sudah pasti hanya Nareswari yang bisa. Sepertinya memang ada yang terjadi dalam rapat besar sehingga membuat Ferdinan menjadi seperti ini.
Atau bisa juga ini berhubungan dengan cuti yang tiba-tiba diambil oleh Nareswari yang selama ini terkenal sangat loyal terhadap pekerjaannya. Sosok Nares bahkan jarang sekali mengambil libur tahunannya jika bukan untuk sesuatu yang spesial.
Bergegas Fatma membuatkan kopi hitam seperti apa yang diminta oleh bosnya, tanpa gula dan itu sudah merupakan pertanda bahwa Ferdinan memang tidak baik-baik saja.
Hah! Jika dipikir-pikir, Fatma terlalu banyak mengetahui kebiasaan dari atasannya itu. Bahkan hanya dengan melihat cara bicara Ferdinan yang berubah, dia bisa langsung tahu suasana hati Ferdinan. Benar-benar sebuah hasil yang pantas berkat pengabdiannya selama ini menjadi seorang sekretaris seorang Ferdinan.
Tok tok
Tidak ada jawaban dari Ferdinan, Fatma kembali mengulangi tindakan nya mengetuk pintu kayu kokok di depannya. Namun hasilnya masih tetap sama.
Sekilas dia melihat ke arah tangannya yang membawa secangkir kopi menggunakan nampan, kopi ini akan kehilangan kehangatannya jika dia menunda untuk memberikannya pada Ferdinan. Maka walaupun tahu mungkin saja dia akan terkena marah oleh Ferdinan karena menerobos masuk, namun Fatma tetap nekat membuka pintu di depannya.
Dia agak terkejut melihat Ferdinan yang berdiri membelakanginya, hanya menatap pada pemandangan di depan sana yang merupakan gedung-gedung tinggi yang lain. Begitu fokusnya Ferdinan memandangi pemandangan di depannya bahkan sampai tidak mendengar walaupun Fatma berulang kali mengetuk pintu ruangannya.
"Ini kopi yang Bapak minta," ujar Fatma sambil mendekat ke arah meja kerja Ferdinan.
Walaupun tetap tidak dapat tanggapan dari atasannya, namun Fatma tetap meletakan cangkir kopi itu ke atas meja. Lalu kembali berjalan keluar dari sana.
Dia sempat melirik kembali ke arah Ferdinan sebelum benar-benar keluar, mendapati bosnya yang menunduk dengan bahu yang bergetar samar.
*
Beberapa waktu berlalu begitu saja tanpa Fatma sadari. Kesibukannya menjadi berkali-kali lipat dari biasanya semenjak hari dimana Ferdinan berubah menjadi sangat acuh dan lebih sering tidak fokus.
Tapi setelah sekian lama Fatma akhirnya mengetahui alasan kenapa bosnya menjadi sangat terguncang dan berubah sedemikan rupa. Dari gosip yang beredar, dan juga dari apa yang dia dengar melalui mulut Kintan, sepertinya ada alasan besar di balik cuti panjang Nares untuk pertama kalinya. Hal yang juga menjadi alasan kenapa Ferdinan berubah setelah itu.
Dan semuanya terbukti saat kemudian gosip menggemparkan terdengar di telinga Fatma. Katanya, Nares mengambil cuti untuk melaksanakan pernikahannya dengan seseorang.
Mungkin Fatma akan menertawakan gosip itu jika saja Ferdinan tidak terlihat berbeda, namun melihat sikap bosnya yang sudah berubah semenjak lama, tepatnya sejak diadakannya rapat besar yang dipimpin langsung oleh Presiden Direktur, membaut Fatma langsung mempercayai gosip yang beredar.
Apalagi setelahnya Ferdinan dengan terang-terangan tidak masuk kantor tanpa keterangan, satu hari sebelum gosip pernikahan itu beredar.
"Banyak yang bilang kalau lelaki yang nikah sama Bu Nares itu sebenarnya adalah Pak Ferdi. Menurut kalian gimana? Kalian kan Sekretarisnya dua orang itu?"
Fatma dan juga Kintan saling pandang saat mendapati pertanyaan dari Megi. Pertama, Fatma menggelengkan kepala karena tidak tahu. Namun jika dia bisa menyimpulkan, maka dia yakin kalau bukan Ferdinan lelaki yang menikah dengan Nares. Karena jika memang Ferdinan adalah lelaki itu, maka bosnya tidak akan menunjukan wajah nelangsa beberapa hari ini dan bahkan mengalami perubahan mood yang mengerikan.
Lalu Kintan juga melakukan hal yang sama, gadis mungil itu mengangkat bahunya dengan wajah cemberut.
"Aku sebenarnya kecewa, bisa-bisanya Bu Nares enggak ngasih tahu kalau mau menikah. Bahkan enggak ngundang aku juga, dan yang lebih bikin aku kesel adalah karena Bu Nares ngerahasiain lelaki yang jadi suaminya. Kan aku jadi harus nebak-nebak siapa lelaki itu," keluh Kintan.
Fatma tersenyum tipis, dia memijit pelipisnya pelan saat sakit kepala tiba-tiba terasa menghantam kepalanya. Ferdinan yang tidak masuk secara tiba-tiba membuat pekerjaan Fatma menjadi berantakan, dia harus menghubungi orang-orang yang sudah terlanjur memiliki janji dengan Ferdinan, meminta maaf pada mereka dan meminta mereka untuk menunggu sampai Fatma menghubungi kembali.
Walaupun baru tiga hari, namun tetap saja ketidakhadiran orang sepenting Ferdinan sudah cukup membuat semuanya berantakan.
"Kalau memang bukan Pak Ferdinan, aku enggak bisa bayangin seberapa besar sakit hatinya beliau karena ditinggal nikah sama perempuan yang beliau suka sejak lama," ujar Megi pelan dengan nada prihatin.
Bahkan Megi yang hanya mengenal Ferdinan sambil lalu saja bisa memiliki empati semacam itu, apalagi Fatma yang sudah melihat sendiri betapa besar pengaruh pernikahan tiba-tiba Nares pada atasannya itu. Ferdinan seperti kehilangan tujuan hidupnya, hingga sebelum menghilang selama tiga hari, bosnya itu tampak lebih banyak melamun.
"Ya mau gimana lagi, itu kan namanya enggak jodoh. Walaupun kalau dilihat dari luar, Bu Nares kelihatan kejam karena menikah sama lelaki lain di saat Pak Ferdi udah ngejar dia dari lama, tapi yang namanya perasaan kan enggak bisa dipaksain. Kita yang sering lihat Bu Nares pasti bisa lihat, kalau selama ini sebenarnya Bu Nares enggak pernah ngasih tindakan yang berlebihan ke Pak Ferdi. Secara enggak langsung, itu namanya batasan yang sejak awal ditegasin sama Bu Nares ke Pak Ferdi kan?"
Fatma nyaris bertepuk tangan saat mendengar perkataan bijak yang keluar dari mulut Kintan, sepanjang dia mengenal gadis ini biasanya hanya kata keluhan atau pujian terhadap orang tampan saja yang keluar dari mulutnya. Fatma sangat takjub.
"Wah! Ternyata Dek Kintan ini udah besar ya? Sampe bisa ngomong kalimat yang bijak kayak gitu, aku sampai merinding loh."
Fatma lantas langsung tertawa mendengar kalimat ejekan yang keluar dari mulut Megi. Ternyata bukan hanya dirinya yang merasakan hal seperti itu.
"Tapi Bu Nares kelihatan biasa aja ya walaupun aku yakin beliau pasti denger semua orang gosipin soal pernikahannya, kalau begitu berarti memang Bu Nares sengaja nyembunyiin identitas suaminya kan?" tanya Megi setelah selesai bergelut dengan Kintan.
Fatma mengangguk, mengambil air mineral dama botol yang isinya hanya tinggal sedikit itu.
Sejak kemarin Nares memang sudah kembali masuk kantor, dan wanita yang katanya sudah menikah itu langsung mencari keberadaan Ferdinan begitu mendengar kabar jika Ferdinan tidak masuk kantor tanpa keterangan. Padahal kecemasan dan kekhawatirannya itu bisa membuat Ferdinan semakin terluka jika sampai lelaki itu tahu, namun Fatma juga tidak bisa menyalahkan Nares yang bersikap tulus dengan mencemaskan keadaan sahabatnya.
"Ya udah biarin lah, Bu Nares pasti udah cukup pusing dengerin gosip di sana-sini. Apalagi dia digosipin sama lelaki yang belum tentu benar-benar suaminya. Walaupun orang-orang nyangka Pak Ferdinan itu suami Bu Nares karena sama-sama enggak masuk kantor, tapi itu kan enggak cukup buat jadi bukti. Jadi lebih baik, kalau kita enggak ikut-ikutan sama mereka yang sibuk ngomongin soal hidup beliau," ujar Fatma mengingatkan.
Dia kemudian menunduk saat ponsel yang ada di kantong rok slim nya bergetar. Matanya dan gerakan tangannya selaras terhenti membaca pesan yang ada di sana.
'Ah, ternyata 'itu' besok ya? Saking sibuknya, aku bahkan sampai lupa,' batinnya.
Kembali dia mematikan layar ponselnya, memasukan kembali ke saku roknya.
Memang belakangan dia terlalu sibuk karena menghilangnya Ferdinan yang tiba-tiba, namun biasanya selama ini dia tidak pernah lupa dengan hari 'itu'. Tau-tau sudah besok saja padahal dia belum menyiapkan apapun yang harus dia bawa.
Memikirkan tentang itu selalu membuat dirinya berdebar secara aneh, perasaan yang selama ini berhasil dia simpan sendiri semenjak dia hidup hanya sebatang kara sejak ditinggalkan Ayahnya. Tapi sejauh ini Fatma selalu berhasil dengan menyibukan dirinya dalam bekerja, sehingga pikirannya tidak terus menerus kalut dan menyalahkan keadaan yang membuatnya hidup dengan cara seperti ini. Syukur-syukur karena dia berhasil lulus dengan nilai yang baik dulu, sehingga bisa mendapatkan posisi yang sangat bagus sekarang di perusahaan sebesar Magnum.
Hanya dengan keberuntungan itu, Fatma merasa bahwa dia tidak pantas untuk mengeluhkan lagi kehidupannya yang keras.
**