Janji Dialta

1815 Kata
“Dialta Aryasatya, Laki-Laki yang Selalu Siap Menanggung Beban Dunia” Pukul 11.07 — Ruang rapat pribadi lantai 28, MHS Holding Company. Layar monitor besar di hadapan Dialta dipenuhi wajah-wajah serius dari para eksekutif Jepang. Dialta duduk tegak, mengenakan kemeja putih dan vest hitam yang membuat bahunya terlihat semakin tegas. Kedua lengannya terlipat, jemari mengetuk pelan meja — tatapan fokus, suara baritonnya stabil. Tak ada raut gentar di wajah tampannya. Tak ada ketakutan saat mereka memberi tekanan atau sekedar perdebatan. “Mr. Dialta, regarding the subcontractor issue…” (“Terkait masalah subkontraktor…”) Dialta mengangkat tangan sedikit. “Before we continue, I need clearer numbers on your projected loss.” (Sebelum kita lanjut, saya butuh angka kerugian yang lebih jelas.) Seorang pria Jepang di layar menunduk sedikit. “Estimated 3.5 billion yen—” (Perkirakan sekitar 3,5 miliar yen—) Dialta mencondongkan tubuh, menahan nafas sejenak. Matanya dingin, tapi bukan sombong. Lebih seperti mengatakan, Jika angka itu tidak akurat, jangan buang waktu saya. “That’s an assumption, not a projection.” (Itu asumsi, bukan proyeksi.) “I asked for numbers, not guesses.” (Saya minta angka, bukan tebakan.) Para eksekutif langsung terlihat gugup. Dialta menambahkan dengan nada tenang namun menekan, “Send the revised breakdown in thirty minutes. We can’t decide anything with half-baked data.” (Kirim rincian revisinya tiga puluh menit lagi. Kita tidak bisa memutuskan apa pun dengan data setengah matang.) Pria Jepang itu mengangguk cepat. “Hai. Wakari mashita.” (Baik. Saya mengerti.) Dialta memutar pena di jarinya, ekspresinya tak berubah. “Bagus. Lanjutkan pembahasan ke poin dua.” Diskusi kembali berjalan, tentang restrukturisasi supply chain, kontrak baru untuk Osaka, dan jadwal inspeksi mendadak untuk anak perusahaan joint venture. Semuanya dibahas dengan tingkat presisi yang membuat para direktur Jepang itu sadar— Dialta bukan pengganti siapa pun. Ia adalah dirinya sendiri. Sempurna dengan kedisiplinan, dingin, dan logika yang tajam. Setelah hampir empat puluh menit, rapat mulai mereda. “Last point.” Dialta bersandar. “If the Yokohama branch fails the audit again, MHS will withdraw. No compromise.” (Jika cabang Yokohama gagal audit lagi, MHS akan menarik diri. Tidak ada kompromi.) Semua orang di layar langsung membungkuk—bahkan sebelum konferensi resmi ditutup. Dialta mematikan layar. Ruangan seketika sunyi. Ia menghela napas panjang. Kepalanya seakan ingin meledak, pikirannya penuh, tetapi tetap ada satu hal lain yang menusuk batinnya. Ia sebentar lagi harus menghadapi dua ayah. Dua laki-laki yang mempercayakan putri dan keluarganya padanya. Haruskah dirinya mengahadapi yang seharusnya tak ia hadapai? Apa memang ini jalan yang sudah disiapkan oleh Sang Pemegang hidupnya. Tok tok tok. Pintu diketuk dua kali. “Masuk,” ucapnya tanpa menoleh. Pintu terbuka, Reksa, asistennya, melangkah masuk. Dengan wajahnya yang sedikit serius. Asisten yang rapi dan cekatan dalam satu waktu. Asisten yang menemaninya dari awal dia menjadi CEO MHS Holding Company. “Pak Dialta,” ucap Reksa sambil menyerahkan tablet digital. “Agenda rapat dengan Jepang sudah saya rekap.” Dialta hanya mengangguk. Menerima barang itu dari Reksa. Tapi Reksa tidak langsung pergi. Sebelum berkata lebih lanjut, Ia menelan ludah terlebih dulu. “Ada pemberitahuan tambahan, Pak.” Akhirnya Dialta menatapnya. “Daddy Denta dan Papa Abimana… sudah saya kabati untuk tempat pertemuan private-nya.” Alis Dialta terangkat sedikit. “Tentu,” jawabnya pendek. “Di mana?” Reksa memegang map hitam. “Di The Azure Pavilion, Surabaya. Area private lantai tiga.” Dialta mengusap pelipisnya sebentar sebelum berdiri. The Azure Pavilion. Salah satu tempat paling eksklusif — tempat keluarga-keluarga besar melakukan pembicaraan serius tanpa telinga lain. “Jam berapa mereka ada waktu?” tanya Dialta sambil merapikan jam tangannya. “Bapak diminta hadir pukul dua belas tiga puluh, Pak. Daddy Denta dan Papa Abimana sudah berangkat lima belas menit lalu.” Dialta diam sejenak. Ia tahu arti undangan seperti itu. Pembicaraan pernikahan. Keputusan yang dibuat dalam kepanikan. Dan masa depan Arsena dengan dirinya. Ia bukan tipe yang gentar. Tapi kali ini… ada beban moral yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dengan suara rendah namun mantap, ia berkata, “Siapkan mobil.” Reksa mengangguk cepat. “Baik, Pak. Mobil sudah menunggu di bawah.” Dialta mengambil jasnya, memasangnya ke bahu, lalu berjalan keluar dari ruangannya. Langkahnya lebar, mantap, dan penuh wibawa. Namun di balik semua itu… ada satu hal yang hanya ia sendiri yang tahu. Ia lebih takut melukai hati Sena daripada menghadapi para direktur Jepang. Padahal jika dipikir-pikir dirinya tak mengenal wanita itu. Selain dia adik dari Sean dan Senio. Dua orang dari masa lalunya yang semakin tak bisa lepas dari hidupnya. Bahkan jika dirasakan satu kata dari perempuan itu —satu tatapan dingin— lebih memukul dirinya daripada kegagalan bisnis bernilai miliaran. Anggap saja sebagai hukuman. Lagi-lai itu yang membuatnya sesak. Dan hari ini… ia akan berhadapan dengan dua ayah yang sama-sama ingin melindungi putri dan putra mereka. Entah apa pun yang akan dibicarakan di sana, Dialta sudah mempersiapkan dirinya. Ia tidak akan kabur. Ia tidak akan menyangkal. Ia akan bertanggung jawab—sepenuhnya. ---- Sedan hitam milik Dialta meluncur mulus melewati jalanan Surabaya menuju The Azure Pavilion—bangunan elegan berarsitektur neo-modern yang menjadi tempat keluarga besar sering menyelesaikan urusan yang tak boleh terdengar publik. Lampu-lampu kota terpantul pada kaca mobil, dan di balik kemudi, Dialta duduk tegak. Satu tangan memegang setir, satu lagi mengetuk ringan pada pahanya—sebuah kebiasaan yang muncul hanya ketika ia sedang berpikir keras. Apa yang akan mereka bicarakan. Pertanyaan itu yang muncul di benaknya sejak tadi. Pernikahan mendadak. Pertemuan dengan dua ayah. Arsena yang masih membekukan dirinya, yang terkadang masih meratapi pria yang meninggalkannya. Beban itu berat… tapi ia memilih untuk memikulnya tanpa suara. Setelah bergelut dengan jalanan Kota Surabaya yang mulai padat karena jam makan siang. Dialta berhasil membawa mobilnya ke tempat yang di janjikan. Area Private Lantai 3, The Azure Pavilion. Pintu kayu berukir khas desain Asia-Eropa terbuka perlahan. Di dalam sana, Denta Attala Bramasta dan Abimana Aryasatya sudah duduk dengan wibawanya. Dua lelaki yang sama-sama pernah menguasai ruangan hanya dengan kehadiran mereka. Dan keduanya kini memandang Dialta—bukan sebagai bos—tetapi sebagai menantu dan putra mereka. Dialta menunduk, mendekat, lalu mencium punggung tangan mereka satu per satu, sebuah penghormatan penuh tata krama. “Assalamu’alaikum, Daddy… Papa.” Denta mengangguk lembut. “Wa’alaikumsalam, Nak.” Abimana langsung menggeleng kecil sambil mendengkus pelan. “Kenapa kamu masih bekerja hari ini, Alta? Bukankah seharusnya kamu cuti? Nikmati waktumu sebagai pengantin baru." Nada protesnya khas seorang ayah yang seakan tak punya filter jika menyangkut putranya. Dialta hanya tersenyum tipis—nyaris tak terlihat. Apa yang akan dia lakukan untuk liburan pengantin baru ini? Mereka tak sedekat itu untuk merasakan pernikahan yang katanya indah. Itu hanya untuk mereka yang memang memiliki hubungan itu. Bukan untuk dirinya. Maksudnya... belum memasuki tahapan tersebut. “Papa… pernikahan kami mendadak. Saya juga tak bisa meninggalkan agenda yang sudah tertata dengan terinci sebelumnya.” hanya itu yang bisa Dialta ucapkan. Dirinya tak ingin menyinggung ayah mertuanya. Karena bukan ini yang ada dalam rencananya. Bahkan tak ada sama sekali. Bahkan jika bisa, dia ingin berkata. Kalau bukan pengantin pengganti, hidupnya pasti berbeda hari ini. Namun jelas tak ia utarakan. Smpai kapan pun kalimat itu hanya berhenti di d**a. Denta tiba-tiba menarik napas panjang. Bukan marah, bukan menekan—lebih seperti seorang ayah yang merasa bersalah. “Dialta…” suaranya berat, matang, dan tulus. “Daddy minta maaf.” Dialta terkejut. Ia bahkan tak sempat menutup ekspresinya yang benar-benar terkejut. Seorang Denta Attala Bramasta. Lelaki yang terkenal di dunia Bisnis dan bawah tanahnya, sedikit menekan egonya. “Maaf, Daddy? Untuk apa? Daddy tidak ada salah dengan saya.” Denta mengangguk perlahan. “Daddy membuatmu masuk ke masalah keluarga Bramasta. Keputusan daddy… terburu-buru. Dan daddy tahu itu memberatkanmu.” Hening sekejap. Tak menyangka jika ayah mertuanya bisa mengatakan hal seperti ini. Abimana ikut menatap putranya itu. Tatapannya tajam, namun penuh bangga. Tak salah dirinya menarik Dialta dalam keluarganya. Meski jika mengingat pria ini adalah pria yang menyebabkan putranya meninggalkannya. Dialta kemudian merendahkan wajahnya, sopan namun tidak tunduk. “Daddy… saya tidak merasa terbebani.” Walau dalam hati ia tahu, apa yang ia lakukan sekarang belum sebanding dengan kesalahan paling besar yang pernah ia buat—kecelakaan yang membuat Sean koma selama sebulan penuh disaat dirinya seharusnya merasakan pernikahan barunya. Pengorbanan menikahi Arsena? Tidak ada apa-apanya dibanding rasa penyesalan itu. Lagi-lagi hening sesaat, hingga dimana menu makan siang tiba—hidangan elegan dengan plating rapi. Tak ada lagi obrolan, karena mereka fokus pada apa yang ada di hadapannya. Tiga pria itu makan dengan sunyi di beberapa menit awal. Masing-masing dengan pikiran sendiri. Hingga akhirnya Dialta meletakkan garpu. “Daddy, Papa… ada hal yang ingin Alta sampaikan.” Abimana langsung menatap tajam, “Apa?” Dialta merapikan jasnya, lalu berkata, “Lusa saya harus berangkat ke Toronto. Lima hari lagi ada pertemuan kolega internasional yang tidak bisa saya wakilkan.” Denta mengangguk. “Daddy sudah mendengar itu. Lanjutkan, Nak.” “Jika daddy mengizinkan…” Dialta menarik napas panjang. “Alta ingin membawa Arsena.” Sunyi, suasana mendadak sunyi. Apa seperti ini pembicaraan orang yang sama-sama penting. Atau hanya memang kecanggungan yang memang masih menyelimuti mereka. Namun hal lain yang terlihat. Denta tersenyum kecil. Tidak ada raut keberatan atau penolakan. “Boleh. Tentu saja boleh.” Abimana bahkan tertawa pendek. “Ambillah itu sebagai bulan madu kalian.” Denta tertawa kecil. "Kenapa harus meminta izin, kamu imam dari putriku Alta. Sudah selayaknya Sena mengikutimu. Karena itu yang harus dilakukan seorang istri bukan?" Dialta mengangguk pelan, dirinya merasa lega. Semua tampak baik-baik saja. Hingga Denta kembali bersuara. Kali ini nadanya berbeda—ada getaran, ada luka seorang ayah. “Alta… daddy tahu keputusan daddy ini mungkin menghancurkan kenyamananmu.” Matanya teduh namun tajam. “Tapi daddy hanya ingin satu. Sembuhkan luka putri daddy. Jaga dia. Daddy titipkan Arsena padamu.” Dialta membeku. Ucapan itu menusuk—karena ia tahu betapa dalam luka Arsena. Dan betapa besar tanggung jawab yang digantungkan di pundaknya. Luka yang dia buat dan luka yang dibuat oleh pria b******n yang meninggalkannya. Jelas luka itu berbeda. Tapi apa bisa? “Tapi, Alta…” Denta melanjutkan. “Jika suatu hari kamu tidak bisa lagi… atau tak menginginkan putri daddy…” Suara Denta bergetar menahan emosi. “Jangan sakiti dia. Kembalikan dia pada daddy. Jangan biarkan dia terluka.” Dialta menatap kedua pria itu. Wajahnya tenang, tapi suaranya merendah. “Daddy…” Ia menarik napasnya lagi. “Sampai kapan pun… Alta akan menjaga Arsena.” Ia mengangkat wajah, menatap dengan keberanian penuh. “Tidak ada perpisahan di pernikahan Alta. Meskipun Alta hanya pengantin pengganti—Alta tidak akan meninggalkan istri Alta.” Abimana menatap putranya dengan bangga yang nyaris menetes. Kelegaan, kesakitan, rasa syukur yang berkumpul menjadi satu. Entah bagaimana Tuhan menciptakan hati manusia. Tapi untuk Abimana, hatinya begitu kuat. Denta menghela napas panjang—ada lega, ada haru. Dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan itu berlangsung… Dialta merasa ia sedang menjalani takdir yang tidak salah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN