Pintu kamar hotel tertutup dengan bunyi klik pelan, tapi suasana di dalamnya langsung terasa panas—bukan karena pemanas ruangan, melainkan karena dua orang yang berdiri saling membelakangi dengan emosi yang belum selesai.
Sena meletakkan tasnya agak kasar di sofa. Baru beberapa langkah, matanya langsung tertuju pada kamar mandi yang—seperti sebelumnya—menyatu tanpa sekat penuh dengan kamar tidur.
Dan lagi-lagi. Masalah itu. Yang sepertinya tak akan ada jalan keluar jika mereka tak berganti dengan kamar baru. Tapi masalahnya. Apa lelaki yang jadi suaminya ini mau? Jelas tidak, karena Dialta bukan orang yang ribet danembuang waktu untuk hal semacam ini.
Sena mendengus kesal. “Serius, Alta? Ini beneran nggak mau pindah kamar gitu?"
Dialta membuka kancing jasnya dengan tenang, seolah protes itu hanya angin lalu. “Hotel bintang lima di kota ini hampir semuanya begini.”
“Alasan.” Sena berbalik tajam. “Kalau saya mau mandi, kamu pasti lihat.”
Dialta melirik sekilas dengan tatapan datar. “Saya bisa memalingkan wajah.”
Sena terkekeh sinis. “Oh ya? Terus kamu mau bilang kamu aman?” Ia menunjuk d**a Dialta dengan telunjuk.
“Kamu ini laki-laki normal, kan?”
Dialta tidak menjawab. Ia hanya membuka manset jam tangannya, meletakkannya rapi di meja.
Sena semakin panas. “Jangan sok suci. Bilang aja kamu nggak sanggup sewa hotel yang kamarnya normal.”
Dialta menghentikan gerakannya. Menoleh perlahan. Tatapannya masih saja dingin, namun lebih menusuk. Tidak tersinggung sebenarnya dengan perkataan istrinya. Hanya saja, kenapa wanita yang menjadi istrinya ini begitu cerewet, sekali?
“Kamar ini,” katanya rendah, “suite paling mahal di hotel ini.”
Sena terdiam sesaat. Begitu kah? Ya memang sih bisa dilihat dari interiornya. Dirinya juga tau kok, apalagi sang papa yang memiliki beberapa hotel di Indonesia dan Swiss. Tapi gengsi membuatnya tak mau kalah.
“Ya berarti arsiteknya yang sinting.” tambahnya.
Dialta menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya hari itu, kesabarannya menipis. Lelah juga ternyata meladeni mulut cerewet wanitanya. Ia mulai melepas jas sepenuhnya. Gerakannya tenang. Terkontrol. Tidak tergesa, dan terus saja seperti itu, menciptakan pesona seorang Dialta.
Sena—yang niatnya marah—malah terpaku sedetik terlalu lama. Padahal dirinya sudah dua kali melihat bentuk tubuh suaminya. Tapi kenapa selalu saja membuatnya menelan ludah susah payah. Padahal tubuh kakak kembarannya juga sama-sama kekarnya. Apalagi kak Senio yang hampir sama seperti suaminya ini. Bertato.
Baru tau jika, Dialta adalah tipe pria yang bahkan saat melakukan hal biasa… tetap memancarkan d******i. Posturnya tegap. Bahunya lebar. Setiap gerak tubuhnya seperti penuh perhitungan.
Dialta melepas dasi. “Kamu cerewet sekali,” katanya datar.
“Karena saya terjebak satu kamar dengan pria yang—”
“—yang sah jadi suamimu,” potong Dialta tanpa emosi.
Sena mendecak, memalingkan wajah. “Status di kertas tidak otomatis bikin kamu kebal dari godaan. Kalaupun pria b******n itu nggak kabur, kita juga nggak akan seperti ini.”
Dialta membuka kancing kemeja satu per satu. Namun sempat berhenti sejenak saat Sena membahas pria itu. Membuat mood Dialta sedikit hancur. Eh— kok gitu?
“Tenang saja,” katanya. “Tubuhmu bukan godaan bagi saya.” dirinya yang terlanjur kesal membalas ucapan Sena dengan sarkastik.
Sena langsung menoleh. “Bilang aja kamu nggak tertarik.”
“Memang.” Jawaban itu terlalu cepat. Terlalu yakin. Dan justru itu yang membuat Sena kesal—entah kenapa.
“Ya syukurlah!” Sena menyambar piyamanya dari koper.
“Karena saya juga tidak punya niat sedikit pun tertarik sama—”
Dialta menoleh tepat saat kemejanya terlepas sepenuhnya. Bukan dengan sengaja. Tapi cukup untuk membuat kalimat Sena terpotong di tenggorokan. Menatap tubuh di hadapannya yang tak memiliki kain untuk menutupi tubuh itu.
Bukan karena telanjang—melainkan karena kehadiran pria itu yang semakin lama membuat Sena seakan susah bernapas.
Dialta menatapnya datar, seolah menyadari efeknya tapi memilih tak peduli. “Kita punya makan malam dengan klien dalam satu jam,” katanya tenang. “Kamu harus sudah siap.”
Sena mendengus. “Dan kamu lupa satu hal penting.”
Dialta mengangkat alis.
“Toilet,” Sena menunjuk. “Cuma satu.”
Hening. Beberapa detik berlalu. Dialta menatap kamar mandi. Lalu beralih ke Sena.
Nada suaranya tetap datar saat ia berkata, “Kalau itu masalahnya—” ia berjalan mendekat, berhenti tepat di hadapan Sena, “— apa kita mandi bersama saja?”
Sena membelalak. “Apa?!”
Dialta menatapnya tanpa senyum. Memasang wajah serius tampa godaan sedikitpun. Seolah itu hanya solusi logis yang dapat diterima oleh mereka. “Lebih cepat, lebih baik.”
Sena menjerit tak terima. “Kamu gila.”
“Mungkin.” Dialta meraih handuk dari rak, menyampirkannya di bahunya tanpa rasa bersalah.
“Nggak, saya nggak mau. Enak aja.”
Ia melirik jam tangannya. “ya sudah, jangan protes dan jangan mengomel."
Sena menatap pria itu—Pria dengan sifat dingin, arogan dan yang paling penting menyebalkan, tapi entah kenapa jantungnya berdetak lebih cepat.
“Ya udah, cepet gantian.” desis Sena.
Dialta sudah melangkah menuju kamar mandi. Pintu kamar itu tertutup setengah. Namun bayangan tubuh yang terlihat dari balik kaca berembun itu sangat cukup jelas dan mampu membuat Sena kehilangan kewarasannya. Sena berdiri terpaku. Dengan raut kesal, panas dan sedikit bingung.
Dan untuk pertama kalinya. ia menyadari satu hal yang mengganggu pikirannya, Dialta tidak sedang bercanda.
---
Satu jam sudah Dialta berdiri di depan pintu kamar suite miliknya dengan sang istri. Lagi-lagi karena kamar mandi mereka. Sena meminta suaminya untuk menunggu di depan kamar selama dirinya mandi. Tapi, siapa sangka mandinya Sena hingga menghabiskan waktu satu jam yang akan menginjak lebih dari lima belas menit.
Setelah “diusir” secara halus—tidak, lebih tepatnya diancam—oleh Sena agar bisa mandi dengan tenang, Dialta memilih mengalah. Kebiasaan hidupnya memang lurus-lurus saja, tanpa protes dan tak memilih repot sendiri.
Kini ia sudah siap.
Setelan jas hitam membingkai tubuhnya dengan presisi. Rompi gelap pas di d**a, kemeja abu-abu lembut, dasi hitam yang diikat sederhana—tanpa banyak ornamen. Jam tangan perak berkilau tipis di pergelangan. Rambutnya disisir rapi, wajahnya kembali ke mode profesional, dingin, tenang, berwibawa.
Dialta mendesah tak sabar, memilih untuk mengetuk pintu kamar dan segera berangkat. Ia mengangkat tangan, hendak mengetuk. Namun sebelum kepalan tangan itu mendarat,
Ceklek.
Pintu terbuka membuat tangan itu melayang di udara. Dan—
“s**t, Arsena…” Umpatan itu lolos begitu saja, lirih namun jujur.
Sena berdiri di ambang pintu. Gaun hitam itu jatuh sempurna mengikuti lekuk tubuhnya—bersih, tegas, tanpa banyak aksen. Punggungnya terekspos penuh, garis bahu dan tulang belikatnya terlihat jelas, rambut pirang pendeknya dibiarkan jatuh bebas, sama sekali tidak menutupi apa pun. Pinggiran gaun menyisakan garis tipis di sisi d**a—cukup untuk membuat siapa pun menahan napas.
Mata abu-abunya terangkat, menatap Dialta tanpa rasa takut. “Apa?” tanya Sena datar.
Dialta tidak menjawab. Ia menarik lengan Sena dengan cepat—bukan kasar, tapi tegas—membawanya masuk kembali ke kamar. Pintu ia hentak hingga tertutup.
“Gaun yang kita beli bukan yang ini,” ucap Dialta dingin, nadanya turun rendah.
Sena melepaskan lengannya. “Saya tahu.”
Dialta menatapnya tajam.
“Saya hanya ingin memakai gaun rancangan Saya,” lanjut Sena tenang. “ELVARÉ Atelier. Saya pakai punya saya sendiri.”
Tatapan Dialta semakin mengeras. “Ganti.”
Sena menyilangkan tangan di d**a. “Tidak.” Hening, mereka saling tatap.
“Arsena,” panggil Dialta, suaranya terkontrol. “Ini acara bisnis.”
“Justru karena itu,” balas Sena. “Saya tahu bagaimana harus berpenampilan, dan juga saya bisa sponsor untu bisnis saya.”
Dialta menahan napas. “Gaun itu terlalu—”
“Terbuka?” Sena menyeringai tipis. “Atau terlalu membuatmu tidak nyaman?”
Dialta mendekat satu langkah. Tatapannya menuruni punggung Sena—sekilas dengan cepat—lalu kembali ke mata abu-abu dengan bulu mata tebal dan lentik itu. .
“Jika saya memintamu mengganti,” katanya dingin, “itu bukan karena saya cemburu atau apapun yang ada di otakmu.”
“Oh?” alis Sena terangkat. “Syukurlah.”
“Tapi karena saya tidak ingin ada satu pun pria di malam ini berpikir mereka boleh menatap istri saya dengan pandangan penuh dosa dan laparnya lelaki hidung belang."
Sena terdiam. “Oke. Tapi kalau saya ganti,” katanya pelan, “Saya tidak ikut acara itu. Lebih baik tidur di kamar hotel.”
Dialta menegang. Beberapa detik berlalu. Ia tahu kapan harus memaksa—dan kapan harus mengalah dengan syarat di ujungnya. Enak saja jika istrinya bisa berbuat sesuka hati. Dirinya pun bisa, bahkan bisa lebih gila lagi.
“Baik,” ucapnya akhirnya.
Sena sedikit terkejut. Tak menyangka jika Dialta mau menurutinya. Dia kira suaminya ini akan kolot seperti embah-embah jaman lalu.
“Tapi kamu tidak boleh menjauh dariku,” lanjut Dialta. “Selama acara.”
Sena menatapnya lama. “Protektif sekali.”
“Ada yang salah?”
Sena tersenyum kecil—bukan senyum manis, tapi tantangan.
“Deal.”
---
Dialta membuka pintu mobil lebih dulu. Secara refleks, ia mengangkat tangannya melindungi kepala Sena saat istrinya masuk—gerakan kecil, nyaris tak terlihat, tapi penuh kebiasaan. Hal kecil saja bisa seperhatian ini. Bagaimana dengan hal besar.
Sena tau itu tapi memilih tidak berkomentar.
Mobil melaju. Lampu kota Toronto memantul di kaca, dingin dan berkilau. Dialta duduk dengan tegak, satu tangan di setir. Sesekali matanya melirik pantulan Sena di kaca spion—gaun hitam itu seperti bagian dari malam, elegan dan berbahaya dalam diam.
“Jangan jauh dari saya” ucap Dialta tanpa menoleh.
“Saya dengar,” balas Sena datar. Namun di sudut bibirnya, ada lengkung tipis yang tak bisa ia sembunyikan.
Di tempat acara, Reksa sudah menunggu—menyambut dengan anggukan singkat. Dialta turun lebih dulu, lalu mengulurkan tangan.
Sena ragu sepersekian detik. Lalu ia menerima. Dan untuk malam itu— mereka melangkah masuk bersama.