15

1530 Kata
Begitu pintu menutup, keheningan kamar mengambil alih seluruh ruang. Cahaya matahari musim dingin yang pucat jatuh dari jendela besar, memantul di lantai marmer, membuat ruangan terlihat semakin hangat dan mahal—ironis, mengingat hatinya malah terasa kacau. Sena menjatuhkan tubuh ke tepi ranjang sejenak sebelum akhirnya menyeret koper pink besarnya ke atas karpet lembut. “Hmm… baju tebal, syal, coat… good job, Sena,” gumamnya sambil membuka risleting koper. Beruntung masih ada sisa-sisa pakaian untuk musim dingin. Punya suami yang hanya diam saja jika tidak di ajak bicara. Ya begini ini, sedikit salah kostum. “Untung aja, masih bawa sweater sama coat, meski sedikit. Berasa salah kostum aku." Ia mengeluarkan satu per satu pakaian, menumpuknya rapi di lemari. Sweater putih gading. Jaket bulu sintetis. Sarung tangan lembut. Semua tampak menyenangkan. Cuacanya mungkin akan dingin, tapi Toronto tetap terlihat indah dari jendela setinggi plafon itu. Hingga tangannya terhenti. Napasnya juga. Ingatannya tiba-tiba kembali pada seseorang. Andai saja… aku berbulan madu dengan Andro… Sena mendadak membeku. Entah bagaimana bisa dirinya mengingat pria b******n itu. Untuk apa dirinya menghayal berliburan dan berbulan madu dengan cowok b******k. Hingga tanpa sadar jemarinya menggenggam sweater terlalu erat. “Stop.” Ia menegakkan tubuh. “Arsean Elvarendra Bramasta, stop.” Ia memejamkan mata, menahan perih kecil yang naik dari d**a. “Andro itu… pengecut. b******n,” bisiknya. “Dia ninggalin kamu. Di hari pernikahan. Kamu bahkan udah siap masuk pelaminan. Jadi kenapa… kenapa masih kepikiran dia?” gerutu Sena memaki dirinya sendiri. Sena terdiam lama, nyaris seperti sedang marah pada dirinya sendiri. Lalu matanya menangkap sesuatu—sesuatu yang mengalihkan pikirannya dengan sangat efektif. Bathtub. Bathtub besar yang menyatu dengan kamar. Terletak satu ruang dengan tempat tidur, dibatasi panel kaca elegan namun… tetap saja terlihat. Sena menatap bathtub itu lama dengan ekspresi antara terganggu dan penasaran. “Hotel elit, kamar mandi sulit,” gumamnya. “Apaan coba konsep mandi sambil diliatin orang yang ada di kamar?” Ia mengangkat tangan, menunjuk bathtub itu. “Yang bener aja… buat pasangan bulan madu mungkin oke. Tapi aku? Ha! Aku kan bukan pasangan bulan madu beneran.” Ia mencibir, teringat Dialta. “Lagian suami dadakan itu udah bilang dua kali kalau dia nggak tertarik sama tubuh aku. Dasar robot dingin sok suci….” Sena mendengus—keras. “Bagus! Dia nggak ada. Aman.” Ia berjalan mendekati bathtub, memutar keran air panas. Uap hangat mulai memenuhi udara. Ia mengambil kelopak mawar dari wadah hotel, menaburkannya. Lalu menuang bath foam sampai busanya naik setengah. “Kalau gini sih… siapa yang bisa nolak?” gumamnya sambil tersenyum tipis. Ini pertama kalinya ia merasa sedikit… tenang… sejak berangkat dari Indonesia. Tanpa pikir panjang, Sena melepas bajunya satu per satu, menjatuhkannya begitu saja ke lantai marmer yang mengilap. Bra dan celananya pun ia singkirkan tanpa peduli. Tubuhnya telanjang diterpa hangatnya kamar mewah, kulitnya yang terawat tampak berkilau oleh cahaya lampu recessed di langit-langit. “Aaaah… akhirnya…” ia menghembus napas lega. Ia melangkah masuk ke dalam bathtub, membiarkan air panas naik perlahan menutupi kulitnya. Kelopak mawar menempel di bahunya, busa menyelimuti tubuhnya. Begitu punggungnya menyentuh tepian bathtub, tubuhnya seperti meleleh. “Gila… enak banget…” Kepalanya bersandar, matanya mulai terpejam. Semuanya terasa begitu damai. Jauh lebih damai daripada hatinya. “Dialta sih enak ya… meeting. Aku? Ditinggal di kamar sendirian. Untung suasananya kayak surga,” ia bermonolog sambil membenamkan kakinya lebih dalam. “Tapi tetap. Bodoh banget kamar ini. Masa mandi kelihatan tempat tidur… siapa sih desainer—” Sena berhenti. Matanya melirik panel kaca reflektif yang memantulkan bayangan tubuhnya yang sebagian tertutup busa. “…Ya ampun. Kalau Dialta lihat ini… dia pasti—” Ia berhenti, menggeleng cepat, pipinya memerah sendiri. “Enggak mungkin. Dia kan nggak tertarik sama tubuh aku. Katanya,” gumamnya sinis. “Sombong banget… lihat aja nanti. Aku bikin dia nyesel ngomong gitu.” Ia meraih kelopak mawar, memainkannya di permukaan air. Untuk pertama kalinya sejak hari pernikahan itu berubah total, Sena akhirnya… tersenyum. Tanpa menyadari bahwa di luar sana, dunia yang menaungi mereka berdua sedang bergerak ke arah yang tidak pernah ia bayangkan. --- Dialta dan Reksa sudah berada di tempat pertemuan. Dimana ruangan tersebut bergaya modern, penuh kaca, dan menghadap langsung ke pelabuhan tempat kapal kargo bersandar. Aroma kopi hitam dan lembaran dokumen memenuhi udara. Para eksekutif Kanada dan Jepang duduk saling berhadapan, dan di sisi kanan meja, Dialta duduk paling tenang—setidaknya seolah begitu. Reksa berdiri sedikit di belakangnya, memegang tablet, siap mencatat setiap poin penting yang bergantian di sampaikan oleh beberapa pihak. Cukuo serius dan ulet di pertemuan saat ini. Di depan Dialta, sebuah leptop dengan layarnya yang terbuka, setengah menampilkan slide dokumen kontrak, setengah lagi… tampilan LIVE kamar hotel suite tempat Sena berada. Ia mengatur tampilan itu dengan tenang, memastikan tidak ada yang menyadari apa yang dilakukannya. Itu semua dia lakukan hanya untuk memastikan istri dadakannya tetap dalam jangkauannya. Karena tau bukan, bagaimana peranggai para Bramasta jika wanita kesayangan mereka memiliki lecet sedikit saja. Seorang klien Jepang membuka rapat. “Let’s begin, Mister Aryasatya. We’d like to finalize the cargo distribution timeline.” (Mari mulai, Tuan Aryasatya. Kami ingin memfinalisasi timeline distribusi kargo.) Dialta mengangguk profesional. “Of course.” Ia mulai menjelaskan laporan yang disiapkan tim Indonesia. Suaranya stabil, karismatik, dan tegas. Menawan dengan cara yang… dingin. Dialta memiliki ciri khas tersendiri, dan kelebihan tersendiri dalam memimoin pertemuan seperti ini. “Based on the latest projection, shipment will be divided into three phases,” ujarnya sambil membuka slide. “Phase one includes—” (Berdasarkan proyeksi terbaru, pengiriman akan dibagi menjadi tiga tahap.) Pandangan Dialta sekilas turun ke layar kecil di sudut kanan. Sena masih dengan kopernya, entahlah sepertinya menatanya dan mengecek apa saja yang dia bawa. Good. Ia melanjutkan. “—dan untuk fase dua, kami akan memastikan setiap jalur distribusi mengikuti standar keamanan—” Klik. Gerakan di layar kecil itu membuat fokusnya goyah. Sena bergerak. Dialta melirik cepat. Dan tepat pada detik itu— SENA BERDIRI. Menghadapkan tubuhnya ke arah kamera yang dia stel untul tak terlihat. Lalu— Sena melepas bajunya begitu saja, seakan tanpa beban. Dan memang tak ada orang disana. Hanya ada dirinya. Memang siapa yang berpikir jika di kamar hotel mewah itu terdapat kamera pengawas, dan yang memasangnya adalah suaminya sendiri. Gila bukan? Dialta memang gila jika menyangkut miliknya. Mata Dialta semakin membelalak, detak jantungnya pun seakan berpacu cepat. Ia menahan napas beberapa detik. Hingga tanpa sadar dirinya mengumpat. “Oh, s**t!” bisiknya spontan, beruntung suaranya masih bisa dia bekap untuk tak terlalu keras. Reksa menoleh cepat ke arah atasannya. Para klien menghentikan pembahasan. Seorang eksekutif Jepang mengangkat alis. “Is everything alright, Mister Aryasatya?” Dialta refleks menutup laptop seketika, nyaris membantingnya. “Ah—hem—ya. Ya. Sorry. I—uh…” Ia berdeham panjang, pura-pura merapikan jasnya yang sebenarnya sudah rapi sempurna. Tubuhnya memanas saat ini. Dia butuh udara untuk menghilangkan kegerahan yang tiba-tiba memuncak. Panas sekali. Sial. Bayangan d**a istrinya—yang memang tumbuh semestinya, indah, proporsional—masih menempel di retina dan otaknya. Dialta mencengkeram pulpen. “Continue,” katanya sebisa mungkin tenang. Klien masih tampak bingung. Salah satunya bertanya pelan pada Reksa, “Is he okay?” Reksa menunduk hormat. “Just jetlag, sir.” Jetlag? Dialta melotot kecil ke arah asistennya, namun menahan diri. Ia mengambil napas panjang lalu kembali membuka dokumen cetak—bukan laptop—seakan layar itu sudah menjadi iblis yang siap mempermalukannya lagi. Seorang klien Kanada melanjutkan. “As we were saying, Mister Aryasatya, the insurance fee for winter shipment might increase by 8%.” (Seperti yang kami katakan, Tuan Aryasatya, biaya asuransi untuk pengiriman musim dingin mungkin akan naik sebesar 8%.) Dialta mengangguk. Suara kembali tenang. Tapi garis rahangnya mengeras. Serta pikirannya masih tersisa bagaimana istrinya melikuk indah saat masuk ke dalam bak mandi yang ada di kamar mereka. “Yes, we can adjust that in the final agreement,” katanya. “As long as your side is willing to guarantee the safety protocols.” Namun setiap beberapa detik, otaknya masih memutar ulang adegan Sena membuka baju. Kenapa harus itu yang ia ingat? Kenapa dengan tubuh istrinya yang indah itu? Hey otak. Bisakah bukan hal m***m saja yang ada di dalam? Dialta menunduk, menyembunyikan perubahan wajah dan napasnya. Seorang klien Jepang kembali bertanya. “And what about the maintenance coverage for the third dock?” (Dan bagaimana dengan cakupan pemeliharaan untuk dermaga ketiga?) Dialta hampir menjawab. Namun ia kembali mengingat tubuh Sena lagi. Reksa — menyadari gelagat bosnya — cepat menyela, “We already arranged the calculation, sir. Let me show you.” (Kami sudah menyiapkan hitungannya, Pak. Izinkan saya tunjukkan.) Dialta mengangguk pelan. Sambil lagi-lagi berdeham. Otaknya benar-benar dibuat kacau. Hingga dirinya susah payah menghilangkan pikiran dan rasa panas tubuhnya. Tak terasa, satu jam sudah pertemuan ini berlangsung. Setelah otaknya sempat berhenti sejenak. Pertemuan berjalan dengan lancar. Kesepakatan baru terbentuk. Dipenuhi formalitas. Kontrak yang hampir rampung. Dengan hasil Kerja sama bernilai ratusan juta dolar. Namun yang ada di kepala Dialta? Bukan kargo. Bukan dock perkapalan. Tapi— istri dadakannya yang telanjang bulat tanpa rasa bersalah. Sambil melangkah keluar ruangan, Dialta menahan napas. Reksa mendekat. “Tuan, tadi… apakah—” “Diam.” dialta memotong. “Don’t. Say. Anything.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN