Gosip Heboh

1140 Kata
Tiga tahun kemudian “Flaps full,” ujar Tania sambil memantau layar PFD (Primary Flight Display) di depannya. Suaranya tenang, tapi jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. “Landing gear down,” sahut Kapten Ardi, duduk di sebelahnya. Tangannya sigap di tuas throttle, matanya fokus pada runway 25R yang mulai terlihat di kejauhan. “Speed checked. Gear down, three green,” konfirmasi Tania, memastikan roda sudah turun sempurna. “Autopilot disengaged,” lanjut Kapten Ardi. “Manual control.” Tania mengangguk, matanya bergeser ke luar jendela kokpit. Langit Jakarta sore itu berwarna jingga, dengan siluet gedung-gedung tinggi yang tampak seperti barisan penonton diam. “Cabin crew, prepare for landing,” ucap Kapten lewat interkom. “Checklist complete,” kata Tania. “Landing checklist done.” Pesawat Airbus A320 mereka mulai menurunkan ketinggian dengan lembut. Tania bisa merasakan sedikit getaran di pedal rudder, tapi semuanya masih dalam kendali. Angin samping ringan, visibilitas bagus, dan runway sudah clear. “Approach stable,” ujar Kapten Ardi. “You have control.” “I have control,” jawab Tania, mengambil alih kemudi. Beberapa detik kemudian, roda pesawat menyentuh landasan dengan mulus. Reverse thrust aktif, dan pesawat meluncur pelan di atas aspal yang hangat. “Touchdown,” gumam Tania, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. Kapten Ardi tersenyum tipis. “Nice one.” Tania hanya tersenyum, matanya masih fokus. Di balik seragam putih dan headset, ada denyut lelah yang tertahan. Ini penerbangan keempat hari itu. Tapi entah kenapa, justru momen-momen seperti ini yang bikin dia merasa hidup. Begitu pesawat parkir sempurna di apron, suara interkom dari kabin belakang menyapa. “Selamat datang di Jakarta, kru favoritku,” ujar Rani, pramugari senior yang selalu bicara seperti influencer. “Penumpang udah mulai berdiri sebelum lampu sabuk mati. Klasik.” Tawa kecil terdengar dari interkom internal. “Siap-siap deh, drama koper overhead,” sahut Andre, teknisi kabin yang baru seminggu gabung tapi udah hafal ritme kekacauan setelah landing. Tania melepas headset, merapikan rambut yang sedikit kusut, lalu berdiri. Di luar, petugas darat mulai bergerak, dan sinar matahari sore menembus kaca kokpit, membuat bayangan wajahnya terlihat lebih lembut. “Penyerahan tugas terakhir, guys,” kata Kapten Ardi sambil membuka pintu kokpit. “Absen, laporan, dan jangan lupa senyum ke petugas darat. Kita belum boleh jutek sampai keluar bandara.” “Siap kapten..” Tania mengikuti langkah kaptennya, menyapa satu per satu kru yang sudah berkumpul di galley belakang. Ada basa-basi ringan, lelah yang dibalut candaan. Tania sudah bersiap melangkah keluar pesawat ketika suara Rani menepuk bahunya pelan. “Eh, Tan. Ada yang nunggu lo di terminal kru.” Tania mengerutkan alis. “Penagih utang?” “Kalau iya, cakep banget tuh penagih utangnya,” sahut Rani sambil nyengir, lalu berlalu. Tania mendengus kecil, tapi langkahnya tetap menuju lorong jet bridge. Udara AC terminal langsung menyambut dingin dan sedikit berbau karpet basah khas bandara. Dia baru sempat menarik napas panjang ketika sosok itu sudah bersandar santai di dekat pintu kru, tangan terlipat, masih pakai seragam penerbangan biru navy. “Flare lo barusan kebanyakan satu detik.” Tania refleks mendelik. “Tutup mulut lo, David.” Co-pilot itu terkekeh pelan. David, partner nya waktu latihan Airbus dulu. Tukang kritik kelas berat, tapi cuma orang-orang seperti dia yang rela nungguin di terminal cuma buat ngomong satu kalimat nyebelin. “Gimana, capek jadi captain wannabe?” godanya. “Ngomong apa lo, gue baru mendarat empat sector. Mulut masih bisa jalan, jadi gue belum mati.” David mengangkat kedua tangan menyerah, lalu ekspresinya berubah sedikit lebih serius. “Gue ada sesuatu. Nggak bisa ngomong di sini.” Dalam sekejap, rasa lelah yang menggantung di pundak Tania tergeser oleh rasa penasaran yang mendesak. “Terus?” tanyanya, matanya menyipit penuh antisipasi. “Ayo,” sahut David, sambil melangkah cepat menuju kafe bandara. Keduanya berjalan berdampingan, melewati beberapa kru yang sedang menikmati kopi dan camilan ringan. Beberapa dari mereka mengangguk ramah, memberi sapaan singkat sebelum kembali tenggelam dalam obrolan masing-masing. Setelah memesan dan makanan tersaji di depan mata, David mulai menatap ke kiri dan kanan dengan gerak-gerik mencurigakan. Seolah kabar yang akan ia sampaikan adalah rahasia negara tingkat tinggi. “Woi, lu kenapa sih, Dave?” tanya Tania, keningnya mengkerut. “Muka lo kayak mau bocorin data intelijen.” “Psst…!” David mendekat sedikit, suaranya diturunkan. “Lo tau nggak, katanya maskapai kita lagi rekrut beberapa kapten baru.” Tania mengangguk pelan, belum terlalu tertarik. “Tapi yang bikin heboh,” lanjut David sambil mengangkat dua jempolnya ke udara, “salah satunya itu kapten pilot termuda yang pernah viral gara-gara berhasil mendaratkan pesawat di atas laut waktu dua enjin mati. Gara-gara nabrak sekawan burung!” Tania terdiam, matanya membulat. “Setelah itu, dia sempat jadi pelatih di akademi penerbangan. Nggak jelas kenapa tiba-tiba mundur. Dan sekarang… dia balik lagi ke kokpit.” David menyandarkan punggung ke kursi, ekspresinya puas seperti baru saja membocorkan plot twist film thriller. Tania menatap mangkuk supnya yang mulai mendingin. Entah kenapa, kabar itu membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. “Kabarnya tuh, sore ini—” David belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika suara langkah-langkah berat bersepatu boots melintasi lantai marmer bandara. Seragam biru tua dengan emblem emas di bahu, koper kabin hitam yang menggelinding mulus, dan aura dingin yang entah kenapa bikin suasana kafe mendadak sunyi. Tania menoleh. Dan di detik itu, matanya nyaris keluar dari sarangnya. Empat orang kapten pilot melintas tepat di depan kafe. Postur tegap, langkah mantap, dan ekspresi yang seolah bilang: “Kami baru saja menaklukkan langit.” Salah satunya, yang berjalan paling belakang, membuat Tania nyaris lupa cara mengunyah. Rambutnya tersisir rapi ke samping, potongan pendek bersih, bukan yang terlalu niat, tapi jelas dikerjakan di barbershop mahal. Gaya simple tapi efektif, tipe yang bikin siapapun otomatis ngelirik dua kali. Wajahnya kalem, dilengkapi kacamata hitam yang duduk manis di pangkal hidung, menambah level cool tanpa perlu usaha. David menyipitkan mata. “Itu dia. Yang paling belakang. Kapten muda itu.” Tania masih terpaku, bahkan sendok di tangannya menggantung di udara. Dug! Dug! Dug! Jantungnya mendadak ribut sendiri, seolah ikut parade sambil bawa spanduk bertuliskan, ‘Serius… itu dia?’ batinnya nyaris menjerit panik ‘Ah masa sih? Itu bukan dia. Alam semesta nggak seiseng itu sama gue… kan?’ Tania mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Gue nggak tahu kenapa dia balik lagi ke kokpit,” gumam David pelan. “Tapi sumpah… kalau dia resmi gabung ke maskapai kita, fix dia langsung jadi kapten most wanted of the year. Dan gue?” Ia menatap nanar ke udara, dramatis. “Gue tinggal jadi figuran di latar belakang. No more cewek-cewek cantik nengok ke gue.” Tania menelan ludah pelan. Sopnya sudah dingin. Tapi dadanya justru terasa hangat. Ia mengeluarkan ponsel lalu mengetik pesan buat sohib, sekaligus kakak iparnya Loli ‘Beb, izin tanya… Nick baik-baik aja kan? Gue kayaknya belum siap mental buat chat duluan ke dia.’-Sent
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN