Jangan Lapor ke ban😏

1071 Kata
Pukul delapan lewat dua belas malam. Bandara Soekarno-Hatta belum sepenuhnya terlelap, tapi suasananya jauh lebih tenang dari siang tadi. Lampu-lampu terminal berkedip malas, petugas ground staff berjalan santai sambil menyeruput kopi dari gelas kertas, dan roda troli bagasi terdengar lebih nyaring dari biasanya, menggema di lorong yang mulai lengang. Hari ini, untuk pertama kalinya, nama Tania tercetak di jadwal penerbangan long haul. Rute Jakarta–Doha–Manchester. Dua belas jam di udara, belum termasuk transit. Long haul. Kata yang selama ini cuma ia dengar dari senior-senior yang pulang dengan mata panda dan cerita jet lag. Tapi bukan itu yang membuat telapak tangannya dingin. Yang bikin lututnya lemas adalah satu kalimat yang baru saja dikirim Loli lewat kiriman chat, sahabat sekaligus merangkap kakak iparnya. ‘Beb… Nick itu udah tiga tahun ngilang. Gue pernah tanya ke tante Sarah. Katanya dia sekarang terbang lagi. Terbang? Nick. Terbang? Berarti… ‘Nick itu… pilot dong?’ Tania menatap layar ponselnya lama, seolah huruf-huruf itu bisa berubah kalau ia cukup lama menatapnya. Tapi tidak. Kalimat itu tetap di sana, menatap balik, seperti hantu masa lalu yang baru saja check-in untuk penerbangan yang sama. “My God… jangan bilang…” Tania sengaja tidak menuntaskan kalimatnya, menelannya bulat-bulat bersama ludah yang tiba-tiba hambar. “First Officer Tania Halim” Suara berat itu datang dari belakang. Tidak terlalu keras, tapi cukup untuk membuat seluruh aliran darahnya berhenti sepersekian detik. Tania memutar badan perlahan. Dan disanalah ia berdiri. Seragam kapten Pacific Blue berpotongan rapi, lengkap dengan sayap emas di d**a kiri. Rambutnya kini pendek bersih, disisir ke samping tanpa satu helai pun keluar barisan. Wajahnya lebih dewasa, garis rahangnya lebih tegas, dan tatapan matanya… dingin. Bukan tatapan yang ia kenal tiga tahun lalu. Bukan Nick yang suka pakai hoodie belel dan rambut kribo berantakan. Bukan Nick yang dulu ia anggap bego karena tak bisa membedakan bebek dengan soang, lalu lari pontang-panting dikejar, nyaris nyebur ke got. “Selamat malam. Saya Kapten Nick White,” ujarnya dengan nada tenang dan formal, seperti memperkenalkan diri dalam briefing rutin. “Kita satu tim untuk penerbangan malam ini.” Deg.! Jantung Tania langsung ganti mode turbulence. “Sudah siap untuk pre-flight inspection?” Tania membuka mulut, tapi tak satu pun kata berhasil keluar. Ia hanya ternganga, mangap-mangap seperti ikan kehabisan oksigen, bingung, kaget, dan nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Kapten itu, yang merupakan suaminya, menoleh lagi, kali ini sedikit menaikkan alis seakan berkata ‘jawab, atau gue anggap lo penumpang nyasar.’ “Ke… ke apron sekarang?” akhirnya Tania berhasil bersuara. “Sekarang.” jawab Nick, lanjut tanpa menunggu lagi Dan seperti refleks, kaki Tania langsung mengikuti. Bukan karena perintah kapten. Tapi karena ia baru sadar… Ia akan mengecek pesawat. Bersama laki-laki yang masih sah menjadi suaminya. Yang kini berseragam kapten. Yang memperlakukannya seperti orang asing. Udara malam di apron terasa berbeda, dingin, tapi bukan dingin cuaca. Lebih mirip dingin AC kantor mantan. Lampu sorot kuning menyorot badan Airbus A330 yang terparkir gagah, dan suara APU di ekor pesawat mendengung seperti white noise yang terlalu dramatis untuk situasi ini. Nick berjalan di depan tanpa menoleh. Langkahnya stabil, tegap, seperti runway adalah runaway stage nya. Tania mengikutinya sambil berusaha tetap kelihatan profesional. Tapi otaknya sibuk berperang, “Gue harus bilang apa? ‘Hai, honey?’ Nggak mungkin, kan? Secara nikahnya juga bukan karena saling cinta. ‘Long time no see, suamiku?’ Ditampar juga pantes. Diam aja? Kebanyakan drama Korea itu yang mati duluan. Aduh... auk ah! Bingung gue, sumpah!” Nick berhenti di bawah hidung pesawat, lalu menoleh sedikit. “Kamu pegang bagian kanan. Mulai dari landing gear sampai fuselage belakang.” Nada suaranya datar, tapi jelas-jelas itu perintah. Tania mengangguk kaku. “Siap, Kapten.” Kapten? Padahal tiga tahun lalu dia masih manggilnya’ Nick kribo.’ Tania jongkok di depan landing gear utama, pura-pura fokus pada ban ukuran gaban itu. Padahal otaknya masih nge-loop. ‘Ini serius Nick? Kenapa suami gue upgrade jadi versi cold and gorgeous?’ “Ban kanan aman.” Ia bersuara, memastikan terdengar cukup profesional. Nick yang sedang mengecek sisi satunya melirik. “Jangan laporan ke ban. Lapor ke saya.” Tania hampir keselek udara. “O—oke. Ban kanan aman, Kapten.” Nick mengangguk singkat. “Good.” Lalu diam lagi. Hening. Hanya suara dengung mesin APU dan bunyi sepatu safety mereka di atas aspal. Sampai akhirnya, Nick berjalan mendekat. Jarak mereka sekarang cuma satu meter. Bau jet fuel bercampur aroma cologne maskulin, bukan cologne Nick yang dulu, ini versi mahal. Nick berhenti. Menatap Tania. Lama. Tatapan tajam… tapi kalau diperhatikan baik-baik, ada sesuatu di bawahnya. Bukan dingin. Lebih mirip… Seseorang yang sedang menahan sesuatu supaya nggak pecah. “Pastikan static port-nya bersih,” ujarnya pelan. “Jangan sampai ada yang menghalangi.” Tania mengangguk. “Iya. Siap.” Nick menahan napas. Sebelum akhirnya berkata— “Dan Tania…” Tania sontak menoleh. “Ya?” Nick menatap lurus ke arahnya. Mata mereka bertemu. “Jangan gemetaran begitu. Ini cuma pemeriksaan pesawat. Bukan sidang cerai.” Duar! “Uhuk—!” Kali ini Tania benar-benar keselek ludahnya sendiri. Refleks, ia langsung batuk-batuk sambil menepuk-nepuk dadanya, berusaha menenangkan diri dari kejutan yang baru saja mendarat tanpa izin. Sementara itu, Nick hanya berdiri di depannya dengan ekspresi datar, nyebelin, tenang, dan penuh aura sok tahu khas pria yang merasa selalu satu langkah lebih cerdas. ‘Dia bilang bukan sidang cerai?’ ‘Apakah… dia nggak mau cerai sama gue?’ Atau… Tania langsung membeku di tempat. Napasnya tertahan. Dan tanpa filter, satu nama lolos dari bibirnya lirih. “Alisa…” Begitu nama itu keluar, hatinya langsung jatuh ke perut. ‘. Bego lu Tan! Lupa ya, dulu di hatinya cuma ada Alisa?’ Ia bergumam makin pelan, seakan sedang menegur dirinya sendiri, “Jangan halu Tania… Dia pasti masih cinta sama Alisa. Lo cuma istri di atas kertas,” bisiknya, nyaris tak terdengar, seakan takut kenyataan itu benar-benar terucap. Tania kembali jongkok pura-pura fokus cek static port, berniat kabur dari pikiran sendiri. Yang sayangnya… tidak ia sadari, gumaman itu terdengar jelas oleh Nick. Dan untuk pertama kalinya malam itu— Sudut bibir Kapten Nick White terangkat miring. Bukan senyum ramah. Tapi seringai penuh misteri, ia kembali lalu membungkuk mendekat ke telinga Tania “Kalau kamu penasaran… tanya saja langsung ke suamimu.” Lalu ia berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Tania terpaku. Kata-kata itu bergema di kepalanya, lebih nyaring dari suara mesin jet di apron. ‘Apakah ini… misi balas dendam Nick?’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN