Udara di kokpit Airbus A330 selalu punya aroma khas, campuran material panel avionik, ozon dari sistem ventilasi, dan sedikit bau plastik hangus entah dari mana. Selama training, Tania pernah merasa itu bau yang menegangkan. Sekarang? Sudah bukan gangguan lagi
Nick masuk duluan. Langkahnya stabil, tanpa suara berlebihan, tubuh tegap saat melewati center pedestal. Ia duduk di Captain Seat left side dengan gerakan tenang tapi presisi. Seat adjustment. Rudder pedal set. Harness locked. Semua terdengar rapi.
Tania ikut menyusul, duduk di kursinya sendiri First Officer seat. Harness melintang di badan. Tangannya gemetar sedikit waktu menarik buckle. ‘Please jangan bunyi klik-nya terlalu keras. Nanti dia mikir gue newbie, bisa terjun bebas tuh harga diri gue.’
Nick tidak menoleh. Tapi suaranya terdengar.
“Oxygen?”
Tania kaget sepersekian detik. ‘Oh! Pre-flight cockpit setup checklist.’ Dia buru-buru menunduk ke panel overhead.
“Checked,” jawabnya.
“Flight Instruments?”
“Set.”
“Parking Brake?”
“On.”
Nick mengangguk kecil. Hampir tidak terlihat. Tapi kelihatan udah kelihatan kayak malaikat maut jantungnya Tania.
‘Easy.. Tania.. Easy, harus fokus dan jangan sampai salah.’ batinnya lagi menyemangati diri sendiri..
“Alright. Cockpit Preparation Checklist completed.”
Hening. Lagi.
Tania membetulkan headset-nya. Menatap Primary Flight Display untuk memastikan attitude indicator sudah align. Tapi otaknya malah lari ke tempat lain.
‘Dia beneran dingin amat. Gue kayak rekan kerja magang yang salah shift, bukan istrinya. Ya Tuhan, kami ini technically masih menikah. Akta nikah kami bahkan belum kedaluwarsa. Masa iya kalau gue keselek kacang di kokpit dia bakal nelpon HR bukan ambulans?’
“ATIS sudah kamu dengar?”
Tania tersentak. “Ah, iya, Kapten. Information Juliet. Wind 060 at 4 knots, visibility 10 km, temperature 28, QNH 1009.”
Nick mencatat tanpa komentar.
“Good. Kamu yang request pushback nanti.”
“Siap.”
Nick menoleh sedikit. Bukan menatap mata. Tapi cukup untuk menunjukkan pengakuan eksistensi.
“Checklist berikutnya. Before Start.”
Ia membaca, Tania menjawab. Suaranya tetap stabil. Profesional.
Sampai akhirnya…
“Transponder?”
Tania refleks menjawab, “Auto, Say—”
‘OMG! Untung nggak keceplosan.’ Tania merutuki dirinya sendiri dalam hati
Tania membeku.
Nick tidak bergerak.
Suara APU terdengar samar dari belakang. Lampu di MCP panel memantul di kaca
Nick bertanya pelan, dan datar.“Auto… apa?”
Tania menelan ludah. “Auto… Kapten.”
Nick menatapnya. Cuma dua detik. Tapi cukup membuat seluruh sistem pernapasan Tania tanda tanya, ‘masih berfungsi nggak nih paru-paru gue?’
Lalu…
Nick kembali ke panel. Tidak berkata apa-apa.
Checklist lanjut.
‘Oke. Aman. Gue nggak mati. Suara batin nggak kebongkar. Napas masih ada. Lanjut Tan. Fokus. Lo ini FO. Profesional. Jangan goblok.’
Tania menarik napas.
Saat mendaratkan Airbus A330 di simulator, ia bisa menghadapi engine failure. Tapi menghadapi suami instant dalam jarak 30 cm?
Engine failure lebih gampang. Deh kayaknya
Tania menggenggam radio switch di side-stick.
“Soekarno Ground, Pacific Blue Seven Two Zero requesting pushback and start-up clearance.”
Ground: “Pacific Blue Seven Two Zero, pushback approved, facing north. Call ready for taxi.”
“Pushback approved, facing north. Pacific Blue Seven Two Zero.”
Nick tidak memuji. Tidak juga mengkritik. Hanya…
“Good.”
Empat huruf. Tapi di dunia penerbangan, ‘good’ dari kapten perfeksionis itu lebih langka dari upgrade gratis ke first class.
Pushback dimulai. Badan pesawat perlahan mundur. Panel avionik bergetar halus.
Tania fokus. ‘Engine Mode Selector . Ignition Start’
Nick menatap jam. “Engine two”
Tania menekan tombol. Fuel flow increase. N2 rising.
‘Ignition.’
‘Stabilize at idle.’
“Engine two stabilized.”
“Engine one.” Nick instruksikan.
Lagi. Tania eksekusi. Sempurna. Hampir.
Sampai…
Tangannya dan tangan Nick bertemu saat sama-sama hendak menutup master switch.
Diam.
Bukan diam romantis versi drama Korea dengan soundtrack piano.
Ini versi “astaga gue mau narik tangan tapi kok genggaman dia keras amat sih”.
Nick tidak menarik tangannya.
Sebaliknya…
Ia hanya berkata pelan.
“Peganganmu masih terlalu lemah. Dalam situasi darurat kau harus tegas.”
Tania ingin jawab, ‘yang lemah itu lutut gue kalau lo giniin, Kapten,’ tapi tentu tidak.
“Baik… Kapten.”
Nick menarik tangannya. Kembali ke mode patung.
“Call for taxi.”
Tania mengangguk. “Ground, Pacific Blue Seven Two Zero ready for taxi.”
“Taxi to runway 25 Left via Alpha Three.”
“Runway 25 Left via Alpha Three, Pacific Blue Seven Two Zero.”
Nick menggerakkan tiller.
Pesawat berjalan perlahan.
Tania menahan napas. Lalu—
“Kapten?”
Nick tetap menatap ke depan. Tapi ia menjawab.
“Hm?”
“Boleh tanya sesuatu?”
Nick tidak menoleh. Tapi tetap menjawab “Kalau itu pertanyaan profesional, tanya sekarang. Kalau personal… tunggu cruise altitude.”
“Ba-baik.” jawabnya
Tania menarik napas pendek, mencoba menutup mulutnya rapat-rapat agar tidak terlihat terlalu kagum. Karena ya Tuhan… bahkan cara Kapten Nick mengucap “Stabilized” saja bisa membuat jantungnya teregulasi ulang.
“Before takeoff checklist.”
Suara Nick terdengar tenang, tidak dingin, tidak hangat, lebih seperti suhu AC 21°C, ideal, tapi jangan berharap kehangatan.
“Cabin crew, prepare for take-off,” ujar Tania sambil menekan interkom. Sambil itu matanya tak sengaja ‘oke, sepertinya sengaja’ melirik jemari panjang Nick yang bergerak cekatan di atas panel autopilot.
Nick: “Flaps.”
Tania: “Set.”
Nick: “Stabilizer trim.”
Tania: “Checked.”
Nick: “Auto thrust.”
Tania: “Armed.”
‘Astaga kok gue jawabnya pakai suara normal? Kenapa nggak pakai suara berat seksi seperti pramugari di drama Korea?’ batinnya ‘Fokus, Tania. Kamu sedang duduk di antara dua mesin jet yang jauh lebih mahal dari apartemen di Sudirman, bukan di podcast asmara.’
Nick: “Weather radar.”
Tania: “On.”
Nick: “Transponder.”
Tania: “T-A-R-A… set.”
Nick mengangguk sedikit. Approval. Tanpa senyum, tanpa kata-kata. Tapi entah kenapa sukses bikin Tania merasa baru dapat ranking satu di akademi
“Runway clear,” lapornya lagi, kali ini dengan nada sedikit lebih tegas. Profesional. Minimalist. Biar matching sama kapten nya.
Nick menarik throttle perlahan. Tenang. Terukur. Seolah seluruh dunia cuma butuh dua hal, gaya dorong mesin dan ketepatan perintahnya.
Oke. Ini baru take-off, tapi kenapa rasanya… Tania yang terangkat duluan?
“Pacific Blue Seven Two Zero, runway two five right, cleared for takeoff.”
Instruksi ATC terdengar jelas. Nick menoleh sekilas pada Tania.
“Cleared for takeoff, runway two five right, Pacific Blue Seven Two Zero.”
Jawabnya tenang, bariton ringan, no-nonsense. Dia tidak pernah menambah kata yang tidak diperlukan. Probably even says “k” instead of “okay” in texting.
Throttle mulai maju penuh. Mesin CFM di bawah mereka meraung.
Nick: “Airspeed alive.”
Tania: “Checked.”
Angka di PFD naik cepat. Delapan puluh.. Seratus… seratus tiga puluh…
Nick tak berkedip.
Nick: “V one.”
Oke. Itu artinya kalau sekarang ada kambing nyebrang di runway, pesawat tetap nggak boleh batal. Harus terbang bareng kambingnya.
Nick: “Rotate.”
Nick menarik yoke perlahan. Hidung pesawat terangkat. Perut Tania ikut melayang seketika.
Nick: “Positive rate.”
Tania: “Gear up.”
Landing gear masuk, suara “thunk” di bawah mereka seperti mengunci seluruh realitas baru.
Mereka telah melewati detik-detik krusial dan kini melaju stabil di ketinggian jelajah. Udara terasa lebih tenang, tekanan berkurang, dan komunikasi mulai bergeser dari prosedural menjadi… personal.
Dan untuk sesaat, di kokpit yang sunyi kecuali suara mesin dan callout instrumen, Tania merasa hanya ada dua manusia di dunia ini
Satu yang menerbangkan pesawat.
Dan satu lagi yang mencoba tidak jatuh… lebih cepat dari tujuh ribu kaki per menit.
Autopilot aktif. Nick menyandarkan punggungnya sedikit, matanya tetap ke depan, dia memang tipe kapten yang memperlakukan kokpit seperti ruang suci. Hening merambat, hanya suara stabil dari mesin di luar sana.
Lalu tanpa peringatan, “Apa yang mau kamu tanyakan tadi?”
Nick berbicara tanpa menoleh sedikit pun.
“Hah? Aku? Tadi aku mau…” Tania terdiam sejenak. ‘Tunggu… kapan aku… oh sial. Iya, tadi sebelum take off aku sempat mau nanya sesuatu. Tapi… apa ya?’ batinnya mulai panik.
Tania langsung refleks menelan ludahnya.
“Ka-kamu… apa kabar?”
WHAT THE HECK. Of all things in this universe, itu yang keluar? Bukan “apa kamu sudah makan” atau “apakah kamu masih menyimpan kemarahan eksistensial soal masa lalu kita"? Minimal “hi kapten you look illegally good in that uniform’
Tania ingin sekali menjedukkan kepalanya ke panel overhead. Kalau bisa, cukup keras sampai masker oksigen jatuh otomatis, biar sekalian pesawat ini jadi panggung drama.
Nick diam sebentar. Lalu mengernyit, ringan, hampir tak terlihat.
“Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja.”
Jawabannya padat, netral, borderline defensif. Seakan bilang ‘don’t poke further unless you’re ready to get burned.’
Tapi tentu saja Tania Halim, dalam segala kebodohan impulsifnya, mendorong lebih dalam.
“Kamu… apakah marah sama aku?”
Hening dua detik.
Tiga.
Lalu Tania melihat sudut bibir Nick terangkat sedikit. Bukan senyum ramah. Bukan senyum nostalgia. Tapi…
Senyum sinis. Pelan, tajam, seperti seseorang yang baru saja menemukan humor dalam luka yang sudah mengering.
“Menurut kamu?”
Deg!