Manchester Airport — 22.14 PM
Manchester menyambut mereka bukan dengan kehangatan, melainkan dengan dingin basah khas Inggris Utara, kabut tipis, lampu runway berkilat di atas aspal yang mengilap, seperti kilau lampu kota dipoles air mata.
“Thrust reverse idle. Spoilers disarm,” suara Nick tetap stabil, tenang, dan sangat... manly
“By your command,” gumam Tania pelan sambil menekan tombol sesuai instruksi checklist. Dia tidak yakin Nick mendengarnya. Semoga tidak.
Pesawat berhenti sempurna di apron. Ground crew mulai bergerak di luar, lampu-lampu orange berkedip seperti ritual penyambutan.
“Cabin crew, disarm doors and crosscheck,” ucap Nick ke interkom, tone nya sopan tapi tanpa intonasi. Profesional, netral dan datar. Kayak es batu mahal yang dikirim langsung dari Swiss.
Tania menarik napas panjang. ‘Oke. Landing done. Nyawa penumpang selamat. Tinggal satu misi lagi, bertahan hidup di hadapan suami kapten yang sekarang jadi alasan gue ngerasa deg-degan tanpa turbulensi’
Saat Semua Orang Turun, Mereka Masih Terjebak di Kokpit
First officer standby sampai semua penumpang keluar. Standar, prosedur, sudah bagian dari rutinitas. Tapi sayangnya, itu juga berarti, waktu awkward maksimal.
Diam di kokpit, pura-pura sibuk, padahal yang ada cuma suara koper diseret dan ucapan terima kasih yang kadang nggak jelas ditujukan ke siapa.
Nick melepas seatbelt, bangkit lebih dulu, menggulung lengan seragamnya sampai siku, membuat Tania menelan salivanya
Lengan, siku urat. ‘Tuhan, tolong cabut penglihatanku sejenak. Ini nggak benar.’ batin Tania
“Mau turun sekarang atau tunggu sampai cabin kosong sepenuhnya?” tanya Nick tanpa menoleh.
Tentu saja instrukturnya dulu tidak mengajarkan mata kuliah 'Cara Menjawab Suami yang Jadi Atasan Level Kapten' di sekolah penerbangan.
“A—aku ikut kapan kamu turun aja,” jawabnya, nyaris tercekat. ‘Astaga Tania, ngomong apa sih? Loli… help me please… ini semua gara-gara kamu deh.’
Nick hanya mengangguk tipis. “Let’s go.”
Ya Tuhan… boleh nggak bangunin Tania lagi, tapi di tahun 2024 saja? Biar dia bisa mengubah awalnya. Biar momen ini nggak terasa sekaku sekarang. Biar dia punya satu kesempatan lagi untuk bilang hal yang benar, dengan cara yang lebih tenang.
Mereka berjalan berdampingan, tanpa sepatah kata.
Sepatu mereka menjejak karpet biru tua jet bridge. Sunyi, tapi berisik di kepala Tania.
‘Ngapain sih Tuhan nyuruh gue jalan di sebelah dia begini. Ini bukan jalan jet bridge, ini jalan menuju kebaperan.’
Tiba-tiba Nick bicara.
“Briefing besok jam sepuluh tepat. Don’t be late.”
“I won’t,” jawab Tania cepat
Hening sejenak..
Tania memberanikan diri menambahkan, “Tapi… kalau aku datang lebih awal, dapat poin tambahan nggak?”
Nick akhirnya menoleh. Sekilas senyum muncul di sudut bibirnya, bukan senyum ramah, lebih ke ‘you’re ridiculous but slightly amusing.’
“No.”
Singkat. Dingin. Tapi entah kenapa… lucu?
Tania menahan senyum. Oke, itu bukan jawaban yang ia harapkan, tapi setidaknya Nick menoleh. Itu sudah satu poin tambahan di hatinya.
Shuttle menuju hotel sudah menunggu. Mereka duduk di barisan tengah. Dua kursi berdampingan. Luas, tapi terasa sempit oleh diam yang menggantung.
Tania menggigil. Hangat kabin pesawat masih tersisa di kulitnya, tapi begitu melangkah keluar… udara Manchester langsung menyusup ke tulang belakang, dingin dan tajam.
Nick melirik sekilas.
Tanpa berkata apa-apa, ia melepas jaket seragamnya dan meletakkannya di atas paha Tania.
“Aku nggak minta,” ucap Tania pelan.
“Ini bukan soal kamu minta,” jawab Nick datar. “Ini supaya kamu nggak mati kedinginan dan aku tidak menyandang predikat duda terlalu dini.”
Deg!
“Sadis amat,” gumam Tania, separuh geli, separuh bingung. “Jadi kamu nggak rela dong kalau aku mati kedinginan?” desisnya pelan, dengan nada setengah bercanda
Mereka tiba di hotel sekitar dua puluh menit kemudian. Tanpa banyak bicara, masing-masing mengambil kunci kamar dan berpisah di lorong yang sunyi. Hanya suara roda koper yang bergesek pelan dengan karpet.
Begitu pintu tertutup, Tania menjatuhkan diri ke kasur hotel, masih memakai jaket Nick.
“Kenapa jantung gue lebih ribut pas dia ngomong ‘nggak mau menyandang predikat duda terlalu dini’ daripada pas turbulence lima belas menit sebelum landing?”
Ia menoleh ke jaket yang masih membungkus tubuhnya. Aroma vanila dan musk perlahan naik ke inderanya, hangat, maskulin, dan bersih. Membuatnya merasa nyaman. Tapi nyaman itu nggak cukup buat nenangin degup yang makin nggak karuan.
Tania meremas ujung lengan jaket itu, jemarinya gemetar halus. Matanya nyaris kosong, tapi napasnya pendek-pendek.
“Gue harus gimana, ya? Harus lapor ke Loli… atau Ko Ivan?” gumamnya, nyaris tenggelam dalam dengung pelan AC kamar yang terus berputar, seolah ikut menambah dingin di kepalanya yang makin riuh.
Baru kali ini rasanya dia benar-benar paham arti dari kalimat, “Dunia ini kecil, ya?” Tiga tahun berpisah tanpa kabar, dan sekarang, tanpa aba-aba, mereka dipertemukan lagi. Di perusahaan yang sama. Di ruangan yang sama. Dan entah kenapa, jantungnya mendadak sibuk kerja lembur.
“Arrghh…” Tania menjerit, suaranya pecah di antara dinding kamar hotel yang dingin.
Ia mengacak rambutnya sendiri, frustasi. “Coba aja dia masih Nick yang kribo waktu itu, yang petakilan. Gue nggak bakal sesulit ini pas kami ketemu lagi.”
Tania berjalan mondar-mandir, langkahnya pendek-pendek, kayak nyari jalan keluar dari labirin yang nggak kelihatan. “Mungkin aja, kalau jadwal kami kosong, gue bisa ajak dia pulang ke Paris. Bilang ke orang tua kalau kami mau cerai. Tapi sekarang…”
Ia berdiri di depan jendela, menatap keluar. Cahaya kota terlihat samar, seperti dunia di luar sana sedang menjauh pelan-pelan.
Tok!
Tok!
Suara ketukan itu membuat Tania terlonjak seperti kesamber azan subuh padahal belum tidur. Ia berdiri terpaku beberapa detik, jantungnya memukul tulang rusuk seperti penumpang turbulensi yang nekat berdiri sebelum lampu seatbelt off.
“Siapa sih?” gumamnya, setengah malas.
Ia melangkah ke pintu, membuka dengan satu tarikan cepat. Tapi bukan Nick yang berdiri di sana. Tania tertegun. Sosok Alisa berdiri di ambang pintu, rambutnya ditata rapi, wajahnya bersinar, tampak cantik dan menawan, jauh dari bayangan terakhir yang Tania ingat dari tiga tahun yang lalu.
“Halo, Kak Tania,” sapa Alisa, senyum kecil di bibirnya.
Belum sempat Tania merespons, Nick muncul dari balik lorong dengan setelan piyama tidur, tangan bersedekap santai.
“Alisa akan menggantikan salah satu cabin crew kita besok,” katanya, dengan nada datar.
Hening.
Tania mematung. Rasanya seperti dijatuhkan dari langit tanpa parasut, mendadak, tanpa pegangan.
Alisa? Alisa, si adik panti Loli yang dulu jatuh cinta pada Nick sejak pandangan pertama? Jantung Tania mendadak berubah jadi drum marching band.
“Oh…” jawab Tania, pura-pura biasa. Padahal kalau ada kursi lipat, dia sudah duduk sambil kipas-kipas d**a.
Tania menutup pintu pelan-pelan. Gerakannya nggak dramatis, nggak terburu-buru, tapi juga bukan tenang. Lebih seperti seseorang yang sedang menutup lemari horor, berusaha kelihatan santai, padahal jantungnya nggak berhenti deg-degan.
Klik!
Begitu pintu tertutup sempurna, Tania menempelkan punggungnya ke kayu pintu. Napasnya memburu, matanya menatap kosong ke lantai.
Ada sesuatu yang tidak biasa sedang terjadi.
Dadanya terasa sesak, tapi bukan karena marah. Lebih kayak... terganggu. Ia mengerutkan kening, mencoba mencari alasan kenapa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.
“Gue nggak marah... tapi gue juga nggak akan kalah sebelum perang dimulai. Enak aja!”
Kali ini ucapannya tidak melayang sebagai gumaman. Itu janji.