Manchester, 07:48 AM
Kamar hotel masih remang ketika Tania membuka mata, tapi jantungnya sudah berlari duluan seperti dia terlambat ke final olimpiade. Detik pertama sadar, yang pertama kali muncul adalah satu kalimat
"Alisa. Di next flight. Sama Nick. Sama aku."
Tania menutup wajahnya dengan bantal, suaranya teredam namun penuh emosi. “Kenapa sih naskah hidup ini tiba-tiba berubah genre jadi love triangle? Siapa penulisnya? Aku mau protes!” teriaknya dengan kesal.
Ia duduk perlahan, rambut berantakan, otak masih loading, jantung masih ngedrill tak tentu arah. Jaket Nick masih ada di ujung kasur, terlipat rapi, well, rapi menurut standar orang yang panik semalam.
Aroma vanilla musk nya masih menggantung di udara, bikin Tania ingin jatuh tidur lagi hanya biar ngelupain malam penuh kekacauan mental itu.
Ia bangkit, cuci muka, dan menatap pantulan dirinya di cermin. Mukanya… lumayan. Tidak hancur. Tapi tidak cukup mengintimidasi. Tidak cukup “jangan coba-coba ngerebut suami gue meski kita mau cerai”.
“Gue butuh aura CEO. Aura woman who knows what she’s doing. Aura… apa pun selain aura jantung lomba lari.” gumamnya sambil ngelirik bayangan sendiri di kaca.
Ngomong sendirian udah kayak podcast pribadi, cuma bedanya nggak ada pendengar, nggak ada mic, cuma dia sama pikirannya yang berisik.
Tania memoles sedikit concealer, sedikit blush biar tampak hidup. Tidak berlebihan. Profesional. Tapi tetap cute, karena ya, masa kalah sama adik panti Loli yang glow up macam bintang iklan skincare?
Telepon bergetar.
Notifikasi pesan baru.
Nick-07:55 AM
‘I’ll be downstairs at 08:15. We’ll go to breakfast before the briefing. Don’t be late.’
Tania menatap layar tanpa berkedip.
“Maaf nih, sejak kapan suami kapten berubah jadi personal assistant sekaligus alarm hidup?” gumamnya setengah kaget
Ia mengetik balasan.
‘On my way.’
…
Lobby hotel sepi, hanya beberapa kru maskapai lain yang sedang check-out. Tania turun dengan langkah yakin, koper kecil di tangan kanan, senyum tipis yang sudah ia latih selama dua menit di dalam lift.
Nick sudah menunggu di sofa lobby, masih pakai seragam training day yang santai tapi tetap bikin aura alpha nya susah dilawan. Rambutnya sedikit berantakan, efek bangun tidur, dan sialnya, itu justru bikin dia makin… ya, begitulah. Mengganggu iman Tania.
“Makan dulu,” ucap Nick tanpa basa-basi sambil berdiri.
Langsung jalan. Tidak nunggu. Tidak boleh.
New Nick!
Tania mengikutinya, sambil berusaha terlihat setenang tiang lampu.
Restoran hotel cukup ramai, aroma kopi menyeruak, suara cutlery beradu pelan. Mereka duduk bersebelahan dinding kaca, pemandangan pagi Manchester yang gloomy tapi estetik.
Tania meraih roti dan yoghurt, sarapan sederhana namun lengkap. Nick, sebaliknya, hanya mengambil secangkir kopi, itu saja.
“Gue baru tau dia manusia yang nutrisi hidupnya cuma caffeine,” gumam Tania pelan.
Nick menoleh.
“Apa?”
“Oh… err, nothing,"” jawab Tania tergagap, sambil mengusap pelan dadanya. ‘Hampir saja…’ batinnya, menahan degup jantung yang mulai berparade liar di dalam dirinya.
Hening sesaat.
Nick menyeruput kopi sambil memperhatikan Tania makan. Tidak menatap terus-terusan, tapi cukup sering untuk bikin Tania salah gigit roti.
“Kenapa kamu tegang?” tanya Nick tiba-tiba.
“Ka… karena kamu sekarang ini mendadak gan—ops!” Tania buru-buru menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangan, wajahnya langsung merah padam.
Matanya terpejam rapat, dalam hati ia merutuki dirinya sendiri, ‘Astaga, Tania! t***l banget! Mulut lo tuh kayak nggak ada tombol mute, apa susahnya dipasang lem?’
Nick mengernyit, senyum tipisnya muncul, jelas-jelas sudah bisa menebak arah ucapan Tania barusan. “Saya kenapa?” tanyanya lagi, nada suaranya datar tapi agak menyebalkan.
Tania membuka mata, menatapnya dengan gaya sok santai, lalu mengangkat alis. “Erm… maksud aku, kamu tuh mendadak cool banget. Kayak… vibe CEO gitu.” ucapnya, bohongnya sampai kelihatan banget
“Hmm.”
Hanya itu. Tapi tatapannya kayak sinar X-ray yang bilang ‘bohong detected’.
Tania memutuskan makan lebih cepat supaya ia tidak perlu menjawab hal-hal yang bisa membongkar gempa bumi di dadanya.
Sarapan mereka diselesaikan dengan cepat. Mereka keluar dari restoran tepat ketika suara langkah cepat terdengar dari arah lift.
Itu adalah Alisa
Dengan seragam yang fit, rambut terikat ponytail tinggi, aura segar dan percaya diri. Glow up tingkat dewa.
“Kak Nick!” sapanya, cerah seperti iklan vitamin C.
Nick mengangguk tipis. “Ready for today?”
“Ready, Captain,” jawab Alisa, matanya berbinar.
Tania menelan ludah.
‘Kenapa sih dunia ini nggak adil… gue udah lari sejauh mungkin, tapi tetap aja ketemu lagi sama si cacing ini. Emang nggak ada manusia lain? Kok ikatan takdirnya sama gue kuat banget, sampai nggak bisa lepas. Heran!’ batinnya, kesal sekaligus pasrah.
Alisa menoleh padanya dengan senyum lebar. “Halo, Mbak Tania. Lama nggak ketemu, ternyata Mbak makin cantik aja. Udah mirip aktris Korea. Jangankan Kak Nick, aku sendiri aja sampai pangling,” ucapnya penuh semangat.
Tania mengernyit, dalam hati bergumam.‘Ini anak lagi muji gue, atau nyindir, sih?’ Ia menelisik wajah Alisa, mencari celah kebohongan, tapi tak menemukan apa-apa di sana.
“Hmm… kamu juga makin cantik. Selamat ya, akhirnya bisa jadi pramugari,” balas Tania, sekadar basa-basi, suaranya tetap terdengar tenang namun tetap menyimpan waspada.
“Aku ke kamar dulu,” pamit Nick lalu melangkah meninggalkan Tania dengan langkah lebar
Beberapa menit kemudian, Nick kembali turun ke lobby dengan kemeja putih rapi, blazer hitam tersampir di lengannya. Aura profesional langsung terasa, membuat suasana jadi lebih serius.
Tanpa banyak bicara, mereka bergabung dengan kru lain yang sudah menunggu. Roda koper berderak di lantai marmer, sapaan singkat terdengar di antara wajah-wajah yang familiar.
Bus kru sudah siap di depan hotel. Udara dingin Manchester menyambut mereka saat pintu terbuka. Semua bergerak cepat, disiplin, seperti ritual yang sudah terlatih.
Perjalanan menuju bandara berlangsung singkat, penuh hening yang hanya diisi deru mesin. Begitu tiba, langkah mereka otomatis mengarah ke ruang briefing, ruangan kaca dengan aroma kopi dan dokumen, panggung pertama sebelum mereka kembali mengudara.
Tania masuk bersama Nick di belakangnya. Alisa mengikuti mereka seperti anak magang yang sangat siap menunjukkan dirinya.
“Morning,” sapa Flight Supervisor, Chammy, singkat tapi tegas.
“Morning,” balas kru serempak.
Tania duduk di sebelah kanan Nick, bukan pilihan romantis, tapi kursi kosongnya memang itu. Walau begitu… jarak duduknya cukup dekat sampai dengusan napas Nick terdengar jelas.
‘Tolong, Tuhan. Kalau begini, gimana gue mau fokus? Bercanda amat sih.’
Chammy menepuk mapnya. “Alright, let’s keep this quick.”
Nick tiba-tiba menggulung lengan kemeja seragamnya sedikit. Gerakan biasa, hal kecil.
Tapi untuk Tania?
Dunia ambruk o.7 detik
‘Tolong… siapa pun… kasih aku filter visual. Aku mau resiiiiign,’ batinnya, sambil menahan wajah tetap netral.
Nick mencondongkan tubuh sedikit, suaranya rendah tapi jelas. “Tania, kita langsung ke cockpit setelah ini. Kita cek sistem dan flight plan. Lucy akan handle pre-flight cabin check bersama kru lain. Semua laporan masuk sebelum boarding.”
“Copy,” jawab Tania dan Lucy cepat.
Tania berusaha menghindari kontak mata dengan Alisa. Namun, Alisa tampak terlalu menikmati duduk berhadapan langsung dengan Nick, senyum lebar, tatapan penuh energi. Pemandangan itu membuat Tania ingin menenggak lima gelas kopi sekaligus, hanya demi bertahan secara emosional.
Chammy mulai memberi rundown.
“Flight time hari ini sekitar enam belas jam. Cuaca di rute bagus, dengan kemungkinan turbulence ringan. Passenger load: 168. Special meals, lima. Satu wheelchair assistance di arrival. Safety demo dilakukan sesuai prosedur standar. Ada pertanyaan sebelum kita mulai persiapan?”
Semua menggeleng.
Nick menambahkan, suaranya dalam dan profesional. “Jaga komunikasi. Jangan ambil keputusan sendiri tanpa koordinasi. Kita punya first timer hari ini,” Nick menoleh sedikit pada Lucy, “so we stay sharp.”
Lucy mengangguk serius. “I’ll do my best, Captain.”
Nick lalu kembali melihat tablet. “Departure runway 23L. Initial climb 6000 feet. After takeoff checklist standard.”
Semua mencatat.
Kemudian…
Nick menoleh ke Tania. Tidak ke semua kru. Ke Tania.
Tatapannya firm tapi tidak dingin… lebih ke “I need you to stay on your game.”
“Tania.”
“Ya captain”
“Don’t rush. Fokus. Kamu tegang sejak kemarin.”
Kalimat itu menampar seluruh ego pilot Tania.
Semua orang langsung melihat ke arahnya. Termasuk Alisa.
Tania bisa dengar jantungnya berteriak, “GUE TENANG, BANG! GUE TENAAANG!!!”
Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah… “I’m fine captain. Really.”
Nick menaikkan alis, meragukan. “Good. Stay that way.”
Alisa berkedip beberapa kali, seperti baru menyadari bahwa intensitas Nick ke Tania itu… beda. Bukan formal. Bukan kaku. Ada sesuatu.
‘Apa kak Nick benar-benar suka sama mbak Tania?’