Jakarta, 07:12 PM | Soekarno Hatta International Airport
Begitu roda pesawat menyentuh runway, getaran halus merambat ke seluruh kabin. Dari balik jendela cockpit, lampu-lampu kota Jakarta berpendar kuning, padat, sedikit kacau, tapi ada kehangatan aneh yang membuat Tania otomatis menghela napas lega.
“Welcome back to the tropics,” gumamnya lebih ke diri sendiri, masih mengenakan seat belt hingga pesawat melambat.
Nick fokus pada panel, suara bassnya tenang, stabil, nyaris tanpa emosi. “After landing checklist completed.”
“Checklist completed, Captain,” jawab Tania, suaranya profesional walaupun hatinya sudah minta rebahan.
Di kabin penumpang, Alisa duduk di jumpseat, matanya berbinar menatap lampu kota dari jendela samping. Senyum excited muncul, seperti anak kecil melihat dunia baru. “Jakarta tuh indah banget dari atas,” bisiknya pada rekan pramugari di sebelah, ini adalah momen pertama long haul arrival nya.
Pesawat taxi menuju bay. Setelah parking brake aktif, barulah seatbelt dilepas. Pintu dibuka, penumpang debarkasi, lalu kru ikut keluar bersama rombongan lain. Aroma jet fuel, udara lembap, dan angin panas khas Jakarta langsung menyergap wajah. Dari suhu sepuluh derajat di Manchester, kini lompat ke udara tropis seperti masuk sauna gratis.
Tania mengibaskan kerah seragam. “Ya ampun… belum apa-apa udah kayak digoreng.” gumamnya pelan
Nick menoleh, menahan senyum yang nyaris tak terlihat. “Welcome home.”
“Home?” Tania mengangkat alis tinggi, tatapannya setengah tidak percaya. “Captain, aku tinggal di apartemen studio empat jam dari sini. Itu bukan home. Itu… survival shelter. Tempat orang bertahan hidup, bukan membangun masa depan.”
Nick menghela napas pendek, seakan baru tersadar akan sesuatu yang tak boleh diabaikan, hal penting sekaligus menyebalkan bila sampai terlupakan, status pernikahan mereka yang masih menggantung, belum jelas arah dan ujungnya.
“So…” ia menatap Tania lurus, penuh ketenangan yang bikin keringat dingin muncul,
“itu akan jadi rumah kita.”
Tania langsung mematung. Bola matanya membulat sempurna sampai-sampai ia yakin retina nya pindah posisi.
“Ki—ki… kita?!” serunya tertahan, sambil menoleh kiri-kanan memastikan nggak ada kru lain yang dengar drama internal pernikahan mereka.
Nick tidak terlihat ragu sedikit pun. Malah semakin tegas. “Yes,” ia melanjutkan, suaranya calm tapi punya gravitas fatal bagi stabilitas mental Tania.
“You and me. Husband and wife.”
Begitu saja. Sederhana. Padat. Kayak dia baru ngumumin departure time, bukan masa depan mereka
Nick lalu meraih pegangan kopernya, menariknya santai, dan berjalan pergi begitu saja, seperti pria itu baru menjatuhkan bom emosional lima belas kiloton dan memilih melenggang tanpa rasa bersalah.
Tania masih berdiri di tempat, mulut sedikit menganga, otaknya buffering parah.
“SUAMI–ISTRI??” bisiknya lirih, nyaris tercekat.
Dalam hati ia berteriak, ‘Halo?? Alert dulu dong sebelum ngelempar statement yang bisa bikin jantung gue overheat, CAPTAIN KRIWIL!’
Tapi pria itu cuma melangkah makin jauh tanpa menoleh. Cool. Tenang. Punggungnya tegak, langkahnya stabil, aura ‘I know exactly what I’m doing’ terpancar jelas.
Dan entah kenapa… makin ke sini, makin membuat Tania lupa cara bernapas.
Bukan cuma lupa. Ini level paru-paru mogok kerja.
Jantungnya seperti bilang, ‘Good luck, gue cabut dulu.’
Otaknya nge-freeze, mulutnya kering, dan seluruh sistem hidupnya mendadak reboot.
Tania memegang gagang kopernya erat-erat, mencoba menarik napas tapi yang masuk cuma udara se-setitik.
“Serius, Tan… belajar napas yang bener tuh gimana sih?” gumamnya lirih, wajahnya memanas sendiri.
…
Arrival Hall
Kerumunan penumpang, suara pengumuman bandara, dan gemuruh trolly bag memberi kelegaan setelah enam belas jam terbang. Kru lain sudah berpisah menuju shuttle masing-masing.
Nick melirik jam di pergelangan tangan lalu menoleh ke arah Tania yang baru mendekat dengan tampang lemas kayak habis marathon emosional.
“Ayo,” ajaknya singkat.
Belum sempat Tania membuka mulut, tiba-tiba Alisa muncul dari entah dimensi mana, munculnya terlalu cepat untuk ukuran manusia biasa dan langsung nyempil di antara mereka.
“Kak, boleh nggak temenin aku ketemu Ibuk? Aku kangen banget sama beliau sama adik-adik…” ucapnya dengan mata berbinar, persis kayak karakter anime yang lagi excited.
Nick bahkan tidak butuh tiga detik untuk merespon “Maaf,” ujarnya tegas. “Kamu bisa naik shuttle aja.”
“Tapi kak—”
Tania sebenarnya tidak mau ikut campur, tapi telinganya otomatis berdiri kayak radar pesawat militer.
‘Welcome to my mental challenge part two,’ batinnya getir, setengah capek setengah siap berantem.
Nick tetap tidak menggubris protes Alisa. Dengan gerakan tenang tapi mantap, ia meraih tangan Tania, tanpa tedeng aling-aling dan menarik wanita itu menuju parkiran, tempat mobil sport merahnya terparkir dengan sangat tidak rendah hati.
Tania ingin protes. Tapi entah kenapa… bukannya menolak, dia malah ikut begitu saja.
Kayak kerbau dicucuk hidung.
Atau lebih tepatnya, pilot yang kehilangan semua kendali.
Di belakang, Alisa masih mengekori dengan tampang kesal yang tidak bisa lagi disembunyikan.
“Aku ikut dong…” rayunya lagi, setengah jalan menyusul.
Nick berhenti sebentar, lalu menunjuk ke mobil sport merahnya.
“Tempat duduknya cuma dua.” Nick menatap Alisa dengan wajah datar sempurna. “Kamu mau duduk di mana, Alisa? Di ban? Atau di rooftop mobil?”
Kali ini sarkasnya tidak main-main. Bukan halus, ini mah skakmat. Permainan caturnya selesai, bidaknya tumbang, pawonnya kebakar.
Blunt. Tepat sasaran. Dan sukses membungkam Alisa total.
Sementara itu, Tania, pilot cantik dengan sisa tenaga mental di level sepuluh persen itu, berusaha keras menahan tawa yang hampir pecah. Bibirnya sudah maju-mundur kayak buffering video.
Di kepalanya, imajinasi absurd langsung muncul,
Alisa, dengan outfit pramugarinya yang rapi itu, duduk manis di rooftop mobil sport merah Nick, melaju kencang di tengah senja Jakarta. Rambut berkibar, tangan melambai, vibesnnya bukan manusia.
‘Apa nggak dikira makhluk astral tuh si cacing?’ batinnya, hampir kelepasan ngakak.
Tania menunduk sedikit, pura-pura sibuk sama tali tasnya demi menutupi senyum yang terlalu lebar untuk situasi sensitif seperti ini.
Namun Alisa jelas tidak menyerah begitu saja. Gadis itu tiba-tiba memegang dahinya, tubuhnya miring ke samping seolah mau tumbang.
“Aduh… kak… pusing… kepala aku muter… kayak… kayak..” rengeknya dengan suara yang dibuat lirih, sedikit lebay, sedikit sinetron, sedikit berharap.
Tapi Nick?
Pria itu bahkan tidak menoleh.
Ia hanya mengencangkan pegangan di pergelangan tangan Tania dan terus berjalan menuju parkiran. Tenang. Stabil. Cool-nya kebangetan.
“kapten,” Tania berbisik, setengah memohon, setengah panik. “Tuh, Alisa kayaknya mau—”
“Dia latihan drama,” sahut Nick datar. “Bukan mau pingsan.”
Tania melongo.
Sementara di belakang mereka, Alisa masih pura-pura goyah seperti daun kering tertiup angin.
Sayangnya, Nick yang sekarang bukan Nick kriwil yang tiga tahun lalu masih gampang dibohongi air mata. Pria itu bahkan sempat melirik ke belakang sekilas, lalu mengucapkan kalimat yang menusuk tapi halus
“Kalau dia beneran mau jatuh, dia pasti sudah jatuh.”
Tania hampir tersedak udara.
Dan entah kenapa, semakin Nick menarik tangannya, semakin banyak pertanyaan yang berputar dalam kepala Tania.
‘Sebenarnya, sejak gue cabut pagi itu… tiga tahun sudah lewat. Apa yang sebenarnya terjadi di Paris? Kenapa si kriwil ini berubah total, seolah berputar seratus delapan puluh derajat? Rasanya… dia bukan lagi orang yang dulu gue kenal.’