Sedari tadi perhatian Inge susah dipelaskan dari kotak kertas makanan warna merah dan kuning di tepi meja itu. Saat pertama kali melihatnya tadi, Inge langsung ingat kotak yang sama juga ada di atas meja Olin. Kemudian Inge sadar, kemungkinan Arif dan Olin, atau Arif dengan siapa pun membeli makanan sama sangat mungkin, mengingat outlet makanan itu ada di lantai dasar gedung.
Inge menghela napas. Inilah yang dia takutkan dari hilangnya rutinitas sarapan yang dibarengi dengan makin dinginnya sikap Arif, sehingga Inge tidak tenang dan mudah curiga. Itu sangat bahaya, untuk membuktikan kecurigaannya, Inge bisa saja menghubung-hubungkan segala hal tidak peduli masuk akal atau tidak yang penting kecurigaannya terlampiaskan.
"Nggak usah dimakan kalau udah kenyang, Mas."
"Belum kenyang. Aku senang kamu ke sini bawa makanan," jawab Arif sambil mengunyah salad sayur yang dibawanya. "Kamu nggak ke kantor?"
"Nggak ada meeting pagi, nggak apa-apa aku masuk siangan."
Arif hanya manggut-manggut mengerti. Arif mengaku meeting-nya tiba-tiba ditunda sampai jam 11 nanti, itulah kenapa dia bisa sarapan dengan tenang di ruang kerjanya.
"Kamu sibuk ngerjain apa sekarang, Mas?" Inge berusaha membangun obrolan.
"Ya biasa, kayak kamu nggak tahu kerjaan aku aja."
"Terus, isu kamu mau diusung buat Pilgub itu gimana?"
"Ya kayak yang kamu baca di berita. Netizen mereston positif, tapi masih ada pihak-pihak yang nilai aku masih terlalu muda dan kontribusinya belum terlalu kelihatan."
"Tapi kamu sendiri percaya diri buat maju?"
"Iya lah, Nge. Kenapa kamu mesti tanya lagi? Itu kesempatan bagus," tanggap Arif mantap. Jika sudah menyangkut karir politiknya, Arif tidak pernah menunjukkan keraguan. Pada Inge, dia terus terang ingin menjadi Presiden di masa depan. Namun di depan media, dia tentu harus merendah dengan menjawab ingin memberi kontribusi untuk bangsa sebagai apa pun dan dalam bentuk apa saja.
Tidak mengherankan. Arif tumbuh di keluarga politisi. Ayahnya pernah dua kali menjabat sebagai menteri dari dua kabinet berbeda, dan pamannya ketua umum partai politik penguasa. Sejak kecil Arif sudah didoktrin dengan segala hal berbau politik, sehingga itu terbawa hingga dewasa. Arif hanya perlu memikirkan citra dan sebanyak-banyaknya terlibat dengan isu kemasyarakatan sejak remaja, karena paman dan nama besar ayahnya merupakan jalan tol yang bisa dia lewati mulus tanpa kerikil dan hambatan.
Inge tersenyum kecil, ia pasti akan jadi salah satu orang yang sangat bangga jika Arif berhasil meraih mimpinya.
“Mas, kamu tadi pergi nggak bilang, karena sebel aku nangis, ya?” Inge tidak tahan untuk tidak bertanya.
“Hm?” Arif mengalihkan pandangannya dari wadah salad ke wajah sang istri, lalu mengembuskan napas saat paham maksudnya. “Sebelnya udah nggak jadi sebel lagi karena kamu nggak bisa dibilangin.”
“Maaf, Mas, aku nggak bisa tenang kalau nggak memastikan. Aku setiap malam doa biar Allah kasih keajaiban, siapa tahu Allah sudah menurunkan keajaiban itu jadi bisa kita jaga lebih awal.”
“Terus setelah tahu keajaiban itu belum datang, kamu bisa tenang memangnya?”
Inge sedikit menundukkan pandangan menyesal.
“Nge,” lirih Arif, meraih tangan kanan Inge untuk digenggamnya. “Aku juga berdoa biar keajaiban itu segera datang. Aku yakin kalau dia datang, dia akan ngasih tanda. Selagi nunggu, kamu bisa lakukan hal lain yang lebih sehat buat mental kamu.”
“Aku udah unggu itu selama 5 tahun, Mas. Aku bisa aja sabar karena ini seburuk-buruknya kondisiku, tubuh ini punya aku. Tapi gimana sama kamu? Gimana orangtua kamu yang sudah sangat lama nunggu cucu dari kita?”
“Aku nggak gimana-gimana. Nggak ada yang gimana-gimana.
“Nggak mungkin kamu nggak gimana-gimana.”
“Aku kan udah bilang, buat aku anak itu bonus. Bukan tujuan utama aku menikahi kamu.”
“Bohong!"
Arif mendesah lelah. “Jadi kamu maunya aku gimana?”
Ditanyai seperti itu, pikiran Inge mendadak kosong. Tentu saja saat ini hal terbesar yang diinginkannya adalah anak. Dia merasa tertekan bukan karena keinginannya terlalu menggebu atau tidak sabaran.
Kalimat sabar yang bisa ditujukan untuk mereka yang secara fisik sehat, sedangkan Inge punya masalah hormon yang membuatnya sulit hamil. Mereka sudah coba segala terapi yang dianjurkan dokter sejak pernikahan mereka memasuki tahun ke tiga, namun belum pernah ada hasil. Hingga puncaknya tahun lalu mereka mencoba program bayi tabung dan ternyata gagal lantaran embrionya tidak menempel di rahim.
Mudah saja bagi Arif mengatakan itu karena menurut pemeriksaan fisik dia sangat sehat. Dia hanya butuh perempuan yang punya rahim dan sel telur sehat untuk dibuahi, lalu dia akan punya anak.
Dan perempuan itu bukan Inge. Inge tidak bisa punya anak atau lebih buruk lagi, melihat Arif memiliki anak dari perempuan lain.
“Aku maunya kamu jujur sama perasaan kamu,” Inge melirih, menatap mata Arif frustrasi. “Jangan bohong cuma demi melindungi perasaan aku. Tahu kamu memendam perasaan kamu yang sebenarnya, itu malah makin menyakiti aku.”
Pembahasan ini tidak pernah mudah bagi Arif, sebab Inge akan sangat emosional dan Arif sendiri tidak cukup sabar. “Aku ingin punya anak, Nge, tapi itu bukan sesuatu yang harus banget. Kita udah berusaha, kan? Kita udah ngehabisin sangat banyak energi, waktu, dan emosi buat itu. Sekarang aku cuma ingin kita menjalani dengan santai.”
“Kalau sampai kapan pun aku nggak akan bisa punya anak gimana?”
“Ya kalau itu udah takdir kita, kita harus ikhlas,” jawab Arif terlalu enteng di telinga Inge. “Kamu lihat di luar sana, ada banyak pasangan yang mutusin buat nggak punya anak meskipun mereka bisa. Kita cukup ubah tujuan dan mind set kita.”
Inge tidak bisa berkata-kata, dadanya semakin sakit menahan desakan tangis. Hingga Inge tidak mampu lagi menahannya, air mata keluar berderaian, Inge menggigit bibir mencegah isakan lolos. Dia sudah sangat banyak menangis untuk masalah ini dan ia sangat tahu kalau Arif tidak menyukai itu.
Arif meletakkan garpunya, seperti sudah kehilangan selera untuk makan. Dia mengusap wajah kuat hingga kulit wajahnya tampak memerah.
“Kamu jangan nangis terus dong, Nge,” desahnya. “Aku capek.”
***
BELAJAR BERKEMBANG BERSAMA DARI PASANGAN ARIF BIJAKSANA DAN INNEKE CLARA
Headline artikel online itu tercetak kapital dan tebal, dibawanya ada foto Arif dan Inge di momen pelantikan Arif sebagai anggota dewan. Dibawahnya lagi, memuat hasil wawancara si wartawan dengan pasangan itu. Arif dan Inge banyak cerita pengalaman lima tahun pernikahan mereka serta bagaimana tips berkembang dan beriringan di bidang masing-masing. Inge banyak memuji Arif yang sama sekali tidak membatasi langkahnya, sebaliknya Arif pun banyak memuji Inge yang selalu bisa jadi teman diskusi terbaik.
"Pasangan sempurna," gumam Olin nyaris terdengar seperti sedang berbisik ke diri sendiri.
"Lagi baca apa?"
Olin menunjukkan layar tabletnya, dan detik selanjutnya, perangkat itu terlempar ke ruang kosong ranjang tempatnya sekarang duduk.
“Aku capek," desah orang itu, orang yang beberapa detik lalu namanya ia baca di artikel. Sekarang orang itu ada di kamar ini bersamanya.
Olin mengusap lembut rambut Arif yang direbahkan di atas pangkuannya. Dia selalu mengeluh itu tiap mereka bertemu, membuat Inge semakin bersimpati padanya. Melalui cerita-cerita Arif usai percintaan panas mereka di atas ranjang, Olin tahu betapa lelaki ini tersiksa dalam rumah tangganya dengan sang istri.
“Kalau capek ya istirahat,” jawab Olin.
“Ini lagi istirahat,” gumam Arif. Suaranya teredam di perut Olin. “Sama kamu.”
Olin tersenyum miris. Tentu saja, bagi Arif, dirinya hanya sekadar tempat peristirahatan yang disinggahi sesaat, sebelum dia pulang ke rumah yang sesungguhnya. “Kalau udah istirahat tapi masih capek ya berhenti.”
Olin menggigit bibir, dia cukup berani mengatakan itu. Tapi dia tidak tahan tidak mengatakannya. Sejurus kemudian, kepala Arif berpaling, dari perutnya, lurus menatap Olin. “Itu nggak mungkin.”
“Kenapa? Bukannya kamu nggak bahagia sama Bu Inge?”
Kepala Arif menggeleng pelan, lalu dibenamkan lagi di atas perutnya. Tanpa menjelaskan apa-apa.
Baik Olin atau Arif, keduanya sama-sama sadar dengan bola api yang sedang mereka mainkan. Jika ditanya mengapa masih diteruskan, mereka bertanya baik, mengapa harus dihentikan selagi api itu bisa dikendalikan?
“Abang kamu masih berulah lagi?” tanya Arif mengalihkan topik.
Olin tetap mengangguk meski Arif tidak melihatnya. “Gimana aku bisa memperkaya diri kalau aku jadi sapi si Ringgo,” lirihnya miris pada dirinya sendiri.
Olin iri pada orang lain, walaupun sudah tua, orangtuanya masih mampu membiayai kebutuhan mereka sendiri. Beda dengan Olin, setelah palanya meninggal saat ia baru lulus SMA, Olin langsung mengemban beban berat di punggungnya sebagai tulang punggung keluarga, tanpa Olin pernah benar-benar merasakan uang hasil jerih payahnya. Jangan tanya ke mana Ringgo. Sudah pasti dia hanya peduli dengan dirinya sendiri, kerjaannya hanya mabuk-mabukan dan balapan liar.
Sementara anak-anak beruntung seperti Inge misalnya, mereka bisa koar-koar membahas investasi dan tabungan di usia muda. Serta keheranan ketika bertemu dengan orang seperti Olin yang memiliki tabungan minim padahal sudah lama bekerja, dengan enteng bertanya, 'lho sudah lama kerja mana hasilnya’.
Olin mengusap kepala Arif. “Tapi sekarang jauh lebih ringan karena kamu, Mas.”
Arif menatap Olin lagi, meraih tangan Olin yang mengusap kepalanya untuk didekatkan ke bibirnya. Arif mencium unggung tangan Olin lembut. “Maaf, aku memang cuma bisa kasih itu ke kamu.”
Olin tersenyum. Ini lah kenapa dia tidak keberatan hanya didatangi Arif saat lelaki sedang capek saja, Arif membayarnya dengan ‘harga’ yang membuat Olin sadar diri untuk tidak menuntut lebih.
Entah sampai kapan mereka akan terjebak hubungan terlarang ini.
Meskipun selamanya, kalau lelakinya adalah Arif, Olin tidak keberatan menjadi wanita simpanan Arif sampai kapan pun.