Olin sedang berada di sebuah toko bunga yang berada di tengah pusat perbelanjaan ternama. Dendi, asisten pribadi Arif, menyuruhnya untuk mengambil bunga pesanan di sana. Jelas ini agak merepotkan Olin, mengapa untuk membeli bunga saja harus masuk mal. Demi bunga ini, Olin harus menyekip makan siangnya dan diberi ultimatum oleh Dendi bahwa bunga itu harus sudah siap sebelum jam 1 siang. Walhasil Olin harus lari-larian keluar kantor dan nyaris terpeleset di lantai mal yang licin. Sembari menunggu bunga pesanan disiapkan, Olin berkeliling toko untuk melihat-lihat bunga yang tersedia. Kebanyakan adalah bunga-bunga impor, Olin nyaris tidak menemukan bunga krisan dan sedap malam. Ya, mungkin itulah alasan mengapa Dendi tidak membeli di toko bunga sembarangan.
“Bunganya sudah siap, Kak.”
Olin segera berbalik ke meja tempat sang florist merangkai. Sebuah buket bunga besar dengan kertas warna merah muda berlapis-lapis membungkus kumpulan bunga Peony serta bunga lain yang membuat Olin berdecak kagum. Siapapun yang akan menerima bunga ini, dia adalah orang yang sangat beruntung.
“Katanya udah dibayar, kan, ya?” tanya Olin memastikan.
“Betul, sudah dibayar.”
Olin menngucapkan terima kasih dan membawa keluar buket bunga yag telah dimasukkan ke dalam tas kertas berlogo toko bunga ini. Sembari berjalan ke pintu, Olin penasaran ingin mengintip isi kartu ucapan yang terselip di antara bunga-bunga.
Happy birthday to the woman that has stolen my heart from very first sight. You’re more than a wife, I just want you to know that I don’t need nothing but you. Yes, you. Only You.
Langkah Olin melambat hingga akhirnya berhenti melangkah saat mencapai akhir kalimat di mana tertulis ‘Your Lucky Hubby, Arif.’
Jadi, Olin merepotkan diri untuk Inge? Dan, orang beruntung itu adalah Inge?
Olin mendengus menertawai diri sendiri, bisa-bisanya ia lupa bahwa Inge adalah 1% dari populasi bumi yang terlahir dengan segala keberuntungan. Lahir di keluarga terpandang yang kerap jadi percontohan keluarga berkualitas, dapat menempuh pendidikan tinggi dengan misi murni menimba ilmu dan bukan untuk mengubah nasib, dapat berkarir tanpa memikirkan gaji karena tanpa bekerja sekali pun, dia punya warisan dan suami yang siap menafkahi berlebih-lebih makanya dia bisa mengabdikan diri di lembaga non-profit hingga dipuji sana sini. Bahkan, Tuhan juga memberinya suami yang enggan meninggalkannya meski dia tidak bisa memberinya anak.
Terhadap Inge, Olin merasa iri, tapi juga kasihan. Inge tak ubahnya seorang Putri raja dalam istana yang hanya disodori segala sesuatu yang indah dan terbaik, tanpa pernah tahu apa yang terjadi di baliknya sehingga tidak sadar bahwa dunia sebenarnya tak seindah itu. Sebagai seorang istri, jelas-jelas dia gagal memberikan kepuasan kepada suaminya hingga mendatangi wanita lain untuk melepaskan penatnya.
Olin yakin pasti ada alasan mengapa Arif enggan pisah dari Inge, dan Olin yakin itu tak jauh-jauh dari ambisi politik Arif. Ayah Inge yang notabenya adalah pimpinan sebuah partai politik yang memiliki jejak karir gemilang di Pemerintahan sejak satu dekade ini pastinya sangat berguna bagi Arif. Ditambah lagi, popularitas Arif sebagai politisi muda tak lepas dari nama besar Inge sebagai akvokad yang vokal membela kasus-kasus yang berhubungan dengan kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan terhadap wanita.
Tiba di kantor, Olin mengetuk pintu ruangan Arif, bermaksud memberikan sendiri bunga ini tanpa melalui Dendi yang ternyata kebetulan sedang ada di ruangan Arif.
“Oh, taruh saja di sana,” perintah Dendy, menunjuk meja kaca sofa di ruangan Arif.
Pandangan Olin dan Arif sempat bertemu sedetik, sebelum Arif kembali memusatkan perhatian pada Dendi.
“Jadi sisa hari ini, Bapak bisa bersenang-senang sama Ibu.”
“Oke, terima kasih, kamu bisa lanjutin kerjaan kamu.” Dendi mengangguk, lalu pamit undur diri dari hadapan Arif.
Diam-diam, Olin mencuri dengar penggalan percakapan mereka dan menyimpulkan bahwa Arif akan meninggalkan kantor lebih awal demi merayakan ulang tahun yang sialan beruntungnya itu.
“Ngapain kamu masih di sini?” Olin berjingkat terkejut mendengar teguran Dendi.
“Enggak apa-apa, Den, biar sekalian dia rapikan.”
Tahu-tahu Arif melangkah mendekati sofa dengan sebelah tangan menenteng sangkir kopinya. Begitu Dendi hilang di balik pintu, Arif mendekati Olin sambil menatapnya terang-terangan.
“Bapak kelihatan senang sekali hari ini.”
Arif mengangkat alisnya. “Tentu, hasil survey eletabilitas, peringkatku naik ke posisi dua dengan selisih cuma 5%, mimpi aku buat jadi Gubernur termuda dalam sejarah.”
Olin sama sekali tidak heran mendengarnya. Arif dan obsesinya ingin menjadu Gubernur termuda.
“Oh, aku kira karena kamu nggak sabar mau merayakan ulang tahun bareng istrimu.”
“Ck, hentikan, Lin. Inge bukan seseorang yang bisa kamu cemburui. Berapa kali harus aku bilang, jangan melibatkan perasaan dalam hubungan kita. Biar aku perjelas lagi—“
“Aku yang setuju menjalani hubungan ini dan Bapak nggak menjanjikan apa-apa ke aku. Aku bisa menolak kalau aku nggak mau.”
Arif mengacungi jempol bagaimana Olin hafal di luar kepala aturan terpenting hubungan saling menguntungkan di antara mereka. “Betul, selalu ingat itu baik-baik. Jangan pernah berharap lebih. Asal kamu tahu, aku gampang aja cari 10 teman main seperti kamu, tapi aku nggak akan bisa menemukan wanita seperti Inge.”
Perkataan Arif barusan sukses membuat Olin terperangah hingga tak bisa berkata-kata. 10 teman main seperti dirinya, Arif bilang?
Sayangnya, Olin tidak bisa erbuat apa-apa. Ia telanjur punya rasa dan berharap ada kemajuan lebih pada hubungannya dengan Arif. Dari teman main, paling tidak Olin ingin menjadi wanita yang diprioritaskan, meski tidak diajak tampil di publik sebagai istri. Di luar semua itu, Arif lah yang menarik Olin dari kubangan lumpur kemiskinan akibat ulah Papa dan Kakaknya.
“Kamu mikir apa, Olin?” Arif mengusap lembut kepala Olin, agaknya menyadari suasana hati gadis itu. “Nggak usah datang ke apartemen kalau nggak mau, sebelum aku yang ninggalin kamu kalau baper,” bisik Arif seduktif. Perlahan, lelaki itu mendekatkan wajahnya ke wajah Olin. Semakin dekat dan Olin otomatis memejamkan mata, siap menambut bibir Arif, tepat ketika pintu ruangan Arif diketuk cepat sebanyak tiga kali dan sejurus kemudian pintu terbuka.
“Surprise!” seru Inge. Wajar cerianya perlahan mengendur mendapati posisi canggung antara Arif dan Inge yang tak punya waktu cukup untuk memisahkan diri. Inge menatap dua orang itu bergantian.
Arif berdeham, usahanya mengendalikan diri. “Hai, kok kamu ke sini?” sapanya, berjalan mendekati Inge. Merangkulnya mesra dan memberi kecupan di pelipisnya.
“Kamu udah janji hari ini bakal luangin waktu seharian buat aku. Aku jemput karena khawatir kamu akan lupa.”
Arif tergelak ringan. “Mana mungkin aku lupa, aku baru aja mau jalan ke kantor kamu. Ah, kan harusnya aku yang ngasih surprise. Lihat itu, bunganya juga sudah siap.”
Inge melempar pandangan ke arah buket bunga yang menyembul di dari dalam paper bag. “Cantik,” komentarnya.
“Sesuai sama yang mau dikasih,” sahut Arif, mengecup bibir Inge. Arif melakukannya tepat di depan kedua mata Olin.
“Mas, ih, nggak malu dilihat Olin.” Inge memukul lengan Arif dengan muka merah.
Barulah saat itu Arif menoleh ke arah Olin, seolah-olah baru sadar Olin masih mematung di sana. “Lho, Lin, masih ada lagi?”
Kedua tangan Olin mengepal di kedua sisi tubuhnya. “Tidak ada, Pak. Saya permisi.” Olin memaksa diri tersenyum pada Arif dan Inge sebelum menyeret langkahnya keluar dari ruangan Arif.
***
Lihat, siapa yang bisa membenci Inge? Dia adalah kesayangan semua orang, mereka memberinya julukan ‘Ibu Peri’ yang dinilai cocok untuk sosok Inge yang setiap tutur katanya lembut, tindak tanduknya elegan, serta hatinya yang dermawan. Jangan lupakan pula peranannya di masyarakat seabagai akvokat di sebuah lembaga hukum.
Kalau bukan Inge, mana ada orang berulang tahun justru membagi-bagikan hadiah. tak tanggung-tanggung, Inge bukan hanya memberikan ke orang terdekatnya saja, bahkan staf kerja suaminya juga mendapat jatah.
Olin membuka paper bag cokelat yang barusan dibagikan oleh Inge kepada semua orang, isinya ada selembar kain baik tulis asli yang tiap orang mendapat motif berbeda. Melalui sentuhan saja, siapapun akan tahu kalau kain batik ini kualitas premium yang harganya nyaris sejuta per meter.
Tak hanya memberi kado, selayaknya sebuah ulang tahun, maka harus ada kue. Semua orang berseru heboh sewaktu dua orang OB mengantarkan dua kotak kue, lengkap dengan es kopi berlogo wanita duyung berekor ganda. Inge dihujani doa dan sanjungan yang dibalas dengan tawa kalem bersahaja yang entah mengapa di mata Olin justru terlihat munafik. Inge jelas sangat tahu bagaimana cara memenangkan hati semua orang.
“Olin.” Panggilan Inge membuat Olin mengerejapkan mata. “Ngapain kamu diam aja, ini, ambil keburu kehabisan karena saya belinya nggak banyak.”
Olin mendengus dalam hati, beli tidak banyak apanya? Jelas-jelas kue yang dibeli Inge tidak akan habis dimakan oleh staff Arif saja.
Inge mengambil satu buah donat hanya agar dirinya terlihat ikut menikmati.
“Wah, ulang tahunnya sering-sering, ya, Bu.”
Inge tertawa meningkahi candaan salah satu teman Inge. “Ada-ada saja kamu, San.” Kurang baik apa lagi? Inga bahkan hafal nama semua orang yang kerja dengan Pandu. “Ulang tahunnya sekali setahun saja. Anggap ini ucapan terima kasih karena kalian semua udah membantu pekerjaan suami saya.”
“Itu udah tugas kami, Bu.”
“Kalau begitu, anggap aja sebagai penyemangat.”
Satu per satu satu menyalami tangan Inge sembari memberi ucapan ulang tahun. Hingga pada giliran Olin tiba.
“Selamat ulang tahun ya, Bu. Semoga selalu bahagia dan segera diberi momongan karena Pak Arif suka sekali sama anak kecil dan saya bisa membayangkan Ibu dan Bapak akan jadi orang tua sempurna dan betapa beruntungnya anak itu punya orangtua seperti Ibu dan Bapak,” ucap Olin, berlagak tidak penyadari pelototan rekan lain yang terkejut dengan ucapan Olin. Walaupun di depan publik mereka bilang tidak mengejar punya anak, tapi orang-orang yang dekat dengan keseharian mereka tahu perjuangan Olin dan Arif dalam upaya memperoleh keturunan.
“Ehm, ya, makasih.”
“Sayang, kita harus pergi sekarang.” Arif muncul di saat yang kurang tepat, Olin ingin menikmati lebih lama kebekuan di wajah Inge. Bagi orang-orang yang terbiasa hidup dalam kesempurnaan, mereka biasanya sulit menerima kekurangan. Terlebih, jika kekurangan tersebut sumbernya dari diri mereka sendiri dan merupakan sesuatu yang sulit terbeli dengan uang.
Asal kamu tahu, aku gampang aja cari 10 teman main seperti kamu, tapi aku nggak akan bisa menemukan wanita seperti Inge.
Perkataan Arif yang itu belum juga bisa hilang dari benak Olin. Olin memiringkan kepala, melihat punggung Inge dan Anggit yang kian menjauh. Sebuah ide melintas di kepalanya. Olin akan menunjukkan pada Arif bahwa ia beda dengan 10 wanita itu atau bahkan Inge sekalipun.