Inge tak kuasa menahan air matanya melihat seorang anak umur 2 tahun, tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Tubuhnya sangat kurus karena asupan gizinya kurang, ditambah lagi banyaknya bekas sudutan rokok, dari yang tinggal bekas hingga ada yang masih basah.
Anak malang ini merupakan korban penganiayaan oleh kedua orangtua kandungnya sendiri yang keduanya sama-sama tidak waras. Mereka adalah pasangan suami istri umur 20 tahun yang sama-sama putus sekolah karena harus menikah setelah si perempuan dinyatakan hamil, kehamilan yang pastinya tidak diharapkan. Di usia semuda itu, mereka yang tahunya hanya senang-senang, tiba-tiba diberi tanggung jawab besar. Pola pikir, mental, dan finansial mereka belum siap mengemban semuanya.
Memang benar, di dunia ini setiap orang mungkin bisa memiliki anak, tapi tidak setiap orang bisa jadi orang tua. Itulah mengapa seks harus dilakukan oleh orang dewasa yang telah teredukasi. Ketika dua orang berlawanan jenis melakukan hubungan seksual tanpa pengaman atau cara aman, selain penyakit kelamin, apa lagi konsekuensinya selain kehamilan?
Seorang anak tidak pernah minta dilahirkan ke dunia, apalagi bisa memilih dari menjadi anak orang tua macam apa. Orang dewasa lah yang secara sadar membuat mereka hadir ke dunia, maka semestinya tidak ada alasan mereka melalaikan tanggung jawab sebagai orang tua, setidaknya sampai anak tersebut cukup dewasa untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.
Ironis sekali, bukan? Tuhan semudah itu memberi kepercayaan pada pasangan yang jelas-jelas tidak bisa dipercaya. Sedangkan belum juga mempercayai Inge padahal Inge sudah siap dari segala sisi, baik fisik, mental, dan finansial.
“Mbak, kita harus pergi sekarang.” Bisikan Rizka, salah satu junior Inge di LBH tempat mereka bekerja, menyadarkan Inge bawa ia terlalu lama ada di yayasan yang kini jadi rumah baru anak ini lantaran tidak ada keluarga yang bisa menjadi walinya karena berbagai alasan, lantaran orangtua kandung bayi ini harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di penjara.
Inge mengusap air matanya dan melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan rampingnya. “Udah jam 12 aja ternyata. Kamu balik aja ke kantor, Riz. Aku hari ini kerja setengah hari.”
“Mau ngerayain ulang tahun sama Pak Suami ya, Mbak?” goda Rizka mengerling menggoda.
Inge tertawa kecil. “Iya, mumpung ada alasan. Kalau nggak gini, suamiku nggak akan ada menyempatkan waktu. Pasti sibuk terus sama pekerjaannya.”
“Namanya juga kerja buat negara, Mbak. Nggak heran Pak Arif bisa kayak sekarang. Kalau Pak Arif udah jabat jadi Gubernur, apa Mbak Inge masih akan kerja di LBH?”
“Sebenarnya, aku punya rencana sendiri kapan mau berhenti jadi pengacara. Sayangnya, itu bukan sesuatu yang bisa aku targetkan kapannya.” Inga mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum lemah.
Rizka hanya mengangguk, cukup paham rencana yang Inge maksud. “Ya udah, aku balik duluan kalau gitu, ya, Mbak. Sekali lagi, selamat ulang tahun, aku tunggu makan-makannya.”
“Dasar kamu,” Inge terkekeh meningkahi candaan Rizka.
Selepas kepergian Rizka, Inge kembali mengarahkan pandangannya pada anak malang itu. Dengan lembut Inge mengusap kepalanya. “Seandainya aku yang jadi ibumu, Nak. Kamu akan tidur di kasur ebih nyaman,” bisik Inge sedih.
***
“Selamat 31 tahun, Sayang. Tadi pagi aku sudah telepon Mamamu untuk mengucapkan terima kasih karena sudah melahirkan kamu.” Arif mengacungkan gelas wine-nya, mengundang Inge untuk bersulang.
Inge mengangkat gelas wine-nya dan mengetukkannya ke gelas milik Aris yang lelaki itu. “Gombalan kamu nggak berubah dari tahun ke tahun. Tapi ya sudah lah, terima kasih juga karena masih setia menemani aku merayakan ulang tahunku selama 5 tahun pernikahan kita.”
Mereka lalu sama-sama menyesap cairan keunguan pekat tersebut dan meletakkannya kembali ke atas meja. Pasangan suami istri ini sedang berada di restoran sebuah hotel tempat mereka liburan singkat. Lantaran berbenturan dengan kesibukan Arif di gedung dewan, Inge sudah cukup puas menghabiskan siang hingga esok hari staycation di sebuah hotel di pusat kota. Akhirnya mereka benar-benar memiliki waktu berkualitas berdua setelah pentengkaran kecil mereka tempo hari. Mengharapkan waktu Arif di akhir pekan sangat sulit, setiap hari sabtu dia punya agenda rutin bermain golf dengan koleganya sesama politikus dan sederet kegiatan lain.
Inge tidak bisa banyak protes, sejak awal mereka telah sepakat untuk mendukung karir dan mimpi satu sama lain. Meski lama-lama Inge merasa seolah-olah ia makin jauh dari Arif.
“Setiap kali kita birthday atau anniversary dinner, baru kerasa kalau kita ternyata udah bersama-sama sangat lama.”
“Hm, iya waktu berjalan cepat,” balas Arif santai sambil memasukkan potongan daging ke mulutnya. “Ngomong-ngomong, aku tadi lihat wawancara kamu. Pointmu tentang s*x education sangat bagus, tapi kamu kelihatan emosional sekali tadi.”
Inge mendesah pendek. “Kamu harus lihat langsung kondisi anak itu, Mas. Sekujur badannya penuh sudutan rokok, umurnya dua tahun tapi kamu tahu berat badannya berapa? Cuma 7 kilo, padahal untuk anak laki-laki umur dua tahun idealnya antara 11 kilo. Siapapun juga pasti akan emosional, apalagi buat orang-orang kayak aku.” Bahkan untuk membicarakannya saja dadaa Inge terasa sesak. Aku jungkir balik nungging biar bisa punya anak, dia seenaknya nyiksa anaknya pakai alasan belum siap punya anak.”
Arif menyentuh punggung tangan Inge, menyadari kekalutan istrinya itu. “Aku mengerti, Sayang. Sabar.”
“Kamu harus lakukan sesuatu, Mas. Kalau masalah s*x education cuma dilempar ke sosmed, ujung-ujungnya akan jadi debat kusir.”
“Itu pasti, Nge. Tapi kamu sendiri tahu problem utamanya, masyarakat kita belum siap buat itu. Masalah s*x masih jadi topik tabu buat diomongin, salah-salah kita dianggap ngajarin buat free s*x cara aman dan mendukung LGBT. Terus nanti muncul lagi nikah muda sebagai solusi tandingan di saat pemerintah kita masih berjuang buat menurunkan angka pernikahan dini,” jelas Arif. “Udah, ini hari bahagia kamu, kita bahas tentang kamu saja.”
Sekali lagi Inge mendesah pendek. Sangat disayangkan masyarakat masih banyak yang salah kaprah tentang pentingnya edukasi seks sejak dini, padahal ada banyak isu penting yang harus dipahami. Seperti masalah kesehatan reproduksi, penyakit kelamin, dan masalah seksualitas lain. Pendidikan seksual juga dapat menjawab persoalan kekerasan seksual jika mereka tahu pentingnya consent.
Inge pernah menangani kasus yang sungguh menguras emosi, ia menjadi pembela seorang istri yang melaporkan pemerkosaan yang dilakukan oleh suaminya. Tentu saja semua orang menertawainya, mana ada istri diperkosa suami. Mereka menutup mata bahwa masih ada suami-suami yang memaksakan kehendaknya tanpa mempedulikan kondisi dan kesiapan sang istri. Mereka tahunya istri wajib melayani suami dan berdosa jika menolak diajak berhubungan badan.
Ah, akan jadi narasi sangat panjang jika dilanjutkan. Benar kata Arif, sebaiknya Inge tidak merusak hari bahagianya ini.
***
Inge tersedak ketika Arif memacu tubuhnya yang ada di dalam tubuh Inge kian menghentak. Arif nyaris hilang akal saat akibat desakan gairah yang menekan dan menuntut dilampiaskan. Gerakan Arif semakin kasar seiring dengan desahan napasnya yang kian tajam tak beraturan, beradu dengan suara pancauan parau Inge, menatap Arif penuh permohonan bahwa kenikmatan ini harus dituntaskan sekarang juga.
“Mas, bantalnya, dong,” pinta Inge pasca Arif menuntaskan pelepasannya.
Arif yang sudah hafal dengan permintaan itu, lantas mengambil bantal terdekat dari jangkauannya lalu menaruh bantal tersebut di bawah pinggul Inge. ‘Ritual’ pasca bercinta tersebut nyaris tidak pernah Inge lewatkan setidaknya sejak 3 tahun terakhir. Entah Inge mendengar dari mana, konon dengan mengganjal pinggul dengan bantal usai bercinta dapat menggiring s****a menuju sel telur, disamping mempraktekkan tips dan anjuran semua dokter kandungan yang mereka datangi.
Namun, ya, semua usaha itu belum kunjung membuahkan hasil.
Setelah getaran tubuhnya berhenti, perlahan Arif memisahkan penyatuan tubuh mereka dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara Inge harus tetap berada di posisi itu setidaknya sepuluh sampai lima belas menit.
Saat Arif kembali dari kamar mandi, Inge sudah membersihkan diri seadanya dan bergelung nyaman di bawah selimut. Arif menyusul dan mereka saling berpelukan di bawah selimut itu.
“Mungkin nggak ya, Mas, yang barusan jadi?” gumam Inge menempelkan pipinya di daada Arif.
“Nggak ada yang nggak mungkin, tapi kalau pun belum jadi, ya kita usaha lagi. Nikmati aja prosesnya, enak ini.”
Inge mendecakkan lidah mencibir. “Iya, proses bikinnya enak, tapi nunggunya yang nggak enak. Nggak jadi-jadi terus.”
“Sabar, Nge.” Arif sengaja merespon pendek karena jika ditanggapi, mereka akan kembali ke pembahasan melelahkan.
“Berapa lama lagi aku mesti sabar.”
Arif menghela napas lelah. Lihat, memang dasarnya Inge suka merusak suasana dengan mendramatisir segalanya.
“Maaf, aku jadi ngeluh lagi,” cicit Inge menyadari Arif mulai tak nyaman.
Arif mengusap kepala Inge lembut. “Enggak apa-apa. Aku tahu kamu ingin sekali punya anak—“
“Kamu juga, kan?” potong Inge. “Olin aja sampai bisa ngomong kayak tadi. Di luar kamu mungkin bisa bilang santai santai, tapi mereka yang kenal kamu bisa lihat kalau sebenarnya kamu juga nggak sabar.”
“Memangnya Olin tadi bilang apa?”
Inge hanya mendesah, enggan menjawab. Perkataan Olin mungkin dimaksudkan baik, mungkin Inge lah yang terlalu terbawa perasaan. “Bukan apa-apa, dia cuma mendoakan supaya kita cepat punya momongan.”
“Terus apa lagi?”
“Nggak ada.”
“Yang benar?” pertanyaan memastikan Arif diangguki oleh Inge meski Arif sendiri sebenarnya tidak yakin. Belakangan Olin makin berani melewati batasan. Arif akan memantaunya, jika dia berulah lagi, Arif akan memutuskan hubungan mereka. Walaupun amat disayangkan, sebab kalau boleh jujur, Olin sangat manis. Berbeda dengan Inge yang sudah sangat matang sehingga sering kali Arif merasa Inge bisa melakukan segalanya sendiri, Olin adalah kebalikannya. Dia gadis muda dengan sederet problem hidup dan Arif ingin melindunginya. Makanya setiap kali Arif lelah menghadapi Inge, menghabiskan waktu dengan Olin selalu jadi penghilang stress terbaik.
Namun, semanis apa pun Olin, Inge tetap wanita ideal untuk dapat bersanding dengannya. Lalu untuk masalah anak, barangkali lantaran melihat banyak temannya yang masih melajang di usia 30-an, Arif merasa tidak diburu waktu. Di sudut hatinya yang terdalam, Arif yakin suatu saat ia akan punya penerus garis keturunannya.
“Nge,” panggil Arif, meminta perhatian Inge. Memikirkan anak, Arif tiba-tiba teringat obrolannya dengan sang ibu terakhir kali.
“Hmm?”
“Aku mau menyampaikan pesan Mamaku. Ini cuma saran aja, sih, jadi nggak apa-apa kalau kamu nggak mau.”
“Apa itu?” Inge mengangkat kepalanya dari daada Arif agar bisa menatap wajah sang suami.
“Soal … adopsi.”
“Enggak,” jawab Inge tegas nyaris tanpa berpikir. “Aku nggak mau adopsi anak orang cuma buat pancingan biar aku bisa hamil.”
“Ya nggak buat pancingan lah, Nge. Yang mau kita adopsi anak manusia, bukan cacing. Lagian aku nggak percaya sama mitos begituan. Kita adopsi satu anak kurang beruntung, dia rawat dan didik dia kayak anak kita sendiri.”
Inge menatap Arif dengan mata berkaca-kaca. “Kamu nggak percaya aku bisa melahirkan anak kamu, Mas?”
“Bukan kayak gitu maksudku, Nge.” Arif menegakkan badan gusar. “Apa salahnya kita adopsi anak? Kalau pun nantinya kita diberi kepercayaan punya anak kandung, kita tetap beri kasih sayang ke dia. Banyak juga tuh memutuskan adopsi daripada punya anak sendiri demi—“
“Aku bukan mereka, Mas.” Inge tak mau dengar apa-apa. “Sampai dokter menyatakan aku beneran nggak bisa hamil atau aku monopouse, aku nggak akan menyerah buat ngasih kamu keturunan. Anak yang akan jadi penerus darah keluarga kamu,” ujar Inge penuh tekad.
Arif mengangguk dan tersenyum menenangkan. “Iya, iya, nggak mau nggak apa-apa. Nggak usah dipikirin. Ayo, kita tidur. Atau, kamu mau kita lanjut lagi?” goda Arif berusaha mengubah atmosfer sekitar. “Biar nggak di ranjang melulu, gimana kalau kita main di kitchen bar lagi?”
“Hah? Memanagnya kapan kita pernah main di kitchen bar?”
Deg! Arif membeku. Sialan, sesaat tadi ia lupa bahwa Inge adalah wanita pemalu yang hanya mau melakukan hubungan badan di kamar, bukan Olin yang meski malu-malu tapi tetap mau memenuhi fantasi seksual Arif yang tidak pernah didapatnya dari Inge.
“Siapa yang kamu di kitchen bar?” tanya Inge dengan kening berkerut dalam, penuh selidik.