Inge memicing saat pulang kerja, Arif menyodorkan sebuah paper bag warna oranye berlogo rumah mode mewah langganan Inge. Lantaran tak kunjung ada pergerakan atau perubahan ekspresi berarti di wajah Inge, Arif membuka paper bag tersebut, memperlihatkan sebuah tas jinjing cantik warna hitam. Warna kesukaan Inge agar tak tampak mencolok dan hedonis yang mana itu kurang singkron dengan lingkungan pekerjaannya.
"Apa ini?"
"Tas."
Jawaban polos Arif membuat Inge memutar bola mata malas. "Aku juga bida lihat ini bukan sepatu, Mas. Tapi buat apa? Dalam rangka apa? Ulang tahunku udah kemarin dan kamu udah ngasih aku satu set perhiasan."
Arif tersenyum sabar dan berpindah duduk di sebelah Inge. "Nggak dalam rangka apa-apa, Nge. Kayak aku nggak pernah ngasih hadiah kamu aja."
"Iya, pas masih pacaran dan awal menikah kamu sering ngasih aku kejutan atau hadiah. Tapi dua tahun ini kamu selalu tanya aku mau apa atau ngasih uang mentahnya biar beli sendiri."
"Masa, sih?"
Inge mengembuskan napas pendek dan melipat tangan di dadaa dengan picingan curiga. "Kamu tahu, Mas, dengan bertingkah aneh begini, aku jadi curiga jangan-jangan benedan ada perempuan lain yang kamu ajak main di kitchen set."
Arif terbelalak. "Astaga, kok jadi ke sana, sih? Kan aku udah bilang, aku kebawa potongan scene di film jadi ngerasa kayaknya kita pernah melakukan itu. Mungkin juga karena aku punya fantasi main di dapur, sekalian bujuk kamu siapa tahu kamu mau." Arif mengakhiri pembelaan dirinya dengan menyeringai berlagak menggoda jahil.
Inge mendengus, penjelasan Arif tak cukup mengenyahkan seluruh kecurigaannya.
"Duh, aku salah langkah, nih, kayaknya," gumam Arif lagi. "Niatku membelikan kamu hadiah karena merasa bersalah udah bikin kamu bete tadi malam. Kayaknya aku kebanyakan pikiran, makanya sering nggak sadar apa yang aku omongin. Maaf ya, Sayang. Gara-gara bibir sialan ini, kamu jadi mikir yang enggak-enggak. Bibir nggak berguna." Arif memukul-mukul bibirnya sendiri.
"Apaan, sih, Mas?" Inge menghentikan aksi Arif pukul-pukul bibir, menatap wajah Arif yang menatapnya penuh sesal. Lalu menghela napas dalam lagi. "Ya udah, aku percaya. Makanya jangan keseringan lembur. Kamu tuh kurang istirahat, makanya jadi nggak fokus."
Arif tersenyum senang dan lantas memeluk Inge erat. "Iya, aku usahakan nggak keseringan pulang tengah malam. Terima kasih, Sayang, udah percaya sama aku."
Inge tak menjawab dan hanya membalas pelukan Arif. Inge tak menampik, ketakutan Arif akan bosan dengannya itu selalu ada. Namun, penerimaan Arif terhadap kondisinya membuat Inge percaya Arif mencintainya dan tidak akan mungkin mengkhianatinya. Lagipula, Inge sangat mencintai Arif. Ia tidak akan membiarkan ketakutannya menjadi kenyataan.
"Kamu bosan karena kita mainnya selalu di kamar?" tanya Inge ingin mendengar perasaan Arif. Inge sendiri merasa cukup puas dengan percintaan mereka, walau tempatnya selalu di kamar, mereka tak jarang melakukannya dengan posisi-posisi bervariasi.
"Emm ... nggak bosan, mana mungkin aku bosan. Cuma, kadang aku kepikiran ingin suasana baru."
"Kan di rumah ada pembantu, kita nggak mungkin bisa main di tempat sembarangan. Malu kalau dilihat mereka."
"Aku tahu, makanya aku nggak pernah minta kan. Maksudku kalau kita sedang menginap di hotel kayak kemarin, kan kita bisa bebas. Tapi nggak usah dipikirin. Selama sama kamu, aku nggak akan bosan meskipun cuma di ranjang." Arif menyengir lebar. Lelaki itu tidak sepenuhnya berbohong. Ia tidak mau merepotkan diri membujuk Inge menuruti fantasi seksualnya. Ia punya Olin yang enerjik dan agresif dengan gaya malu-malu.
Inge menghela napas, entah mengapa belum bisa sepenuhnya tenang.
Inge menyadari pentingnya peranan kegiatan seksual dalam sebuah hubungan, utamanya hubungan pernikahan. Tanpa ada anak, apa lagi yang bisa Inge lakukan untuk mengikat Arif jika bukan kepuasan di ranjang? Baiklah, Inge sepertinya tidak boleh terlalu kaku setelah ini.
***
"Jangan sentuh!"
"Ups."
Ringgo mengangkat kedua tangan bak penjahat ditodong pistol oleh polisi. Olin lantas menyambar tas jinjinh barunya yang hampir saja disentuh oleh tangan kotor Ringgo. Tas ini dibelikan oleh Arif kemarin, katanya agar Olin puas dengan materi yang Arif beri sehingga Olin tidak menuntut minta hati Arif.
Melalui ekor matanya, Olin bisa lihat Ringgo menatapnya meremehkan. Namun Olin tidak menghiraukannya, ia menjauhkan tasnya dari jangkauan Ringgo sementara ia membereskan dapur sebelum berangkat ke kantor.
"Dijatah berapa sebulan sama sugar daddy lo itu?" Olin pura-pura tak dengar, kedua tangannya sibuk mencuci piring bekas sarapannya. "Siapa Bapak-bapak itu? Duda? Suaminya orang? Pastikan lo kuras hartanya, jangan sampai abis manis, lo dilepeh nggak dapat apa-apa."
"Ringgo, jangan ajak Olin bicara kalau nggak ada hal baik yang kamu bicarakan," tegur Ibu mendekat ke arah dapur, bersamaan dengan Olin menyelesaikan pekerjaanya.
Ringgo berdecak remeh. "Memangnya ada hal baik yang dipunya Olin?"
"Ringgo," tegur Mama tak cukup tegas karena dibarengi batuk.
"Nggak usah tanggapi dia, Ma." Olin menarikkan kursi untuk mamanya duduki. "Dia tahu kalau dia nggak berguna, makanya berisik biar ada yang lirik dia."
"Ya, karena gue nggak punya m***k dan t***t buat ditawarin ke Om-Om," sahut Ringgo santai, tak peduli Olin menembakkan tatapan laser ke arahnya, juga tatapan nelangsa Mama yang tak habis pikir Ringgo bisa bicara sejahat itu tentang adik satu bapak sendiri.
"Kamu kenapa, sih, Nggo, selalu ngatain adikmu perempuan nggak benar."
Sebelah sudut bibir Ringgo tertarik, membentuk seringai sinis. "Tante, itu kenyataan. Buka mata, jangan naif. Tante kira Olin bisa punya uang buat nebus rumah ini, uangnya dari mana?"
"Olin kerja di gedung dewan, wajar aja gajinya banyak dan dia gampang dapat pinjaman pegawai."
"Ck ck ck, susah emang urusan sama orang polos atau sebenarnya logikanya udah ketutupan uang. Terus kenapa kalau Olin kerja di gedung dewan? Dia cuma karyawan kontrak yang nggak penting kerjaannya, yang wajar gajinya banyak ya si anggota dewan. Ah, udah lah. Ibu sama anak, sama aja. Munafik." Ringgo mengambil satu buah pisang di atas meja dan membawanya melenggang santai ke kamar. Iya, di saat semua orang bangun tidur untuk mulai beraktivitas, jam segini adalah jamnya Ringgo tidur. Masih mending jika malamnya Ringgo bekerja menghasilkan uang, kenyataannya kerjaan Ringgo adalah menghambur-hamburkan uang di meja judi. Tidak berlebihan rasanya jika Olin menyebut Ringgo manusia tak berguna.
"Jangan pikirkan omongan Abangmu, Lin. Fokus saja bekerja," ujar Mama menenangkan Olin.
Olin menghela napas. "Emang nggak aku pikirin, udah biasa. Kalau pun aku jual diri, yang menikmati hasilnya juga dia."
"Hush! Jangan bicara sembarangan," sambar Mama. "Mama percaya kamu nggak seperti itu. Kamu harus tahu gimana bersyukurnya Mama punya anak berbakti kayak kamu, Lin. Maaf Mama nggak bisa bantu, bisanya malah merepotkan kamu. Nanti, setelah hutangmu lunas, kamu bisa bersantai menikmati masa mudamu. Jalan-jalan, pacaran, terus menikah sama laki-laki baik."
"Menurut Mama aku bisa menikah sama laki-laki baik?"
"Tentu saja," sahut Mama cepat. "Kamu wanita berpendidikan, nggak bodoh kayak Mama yang kurang baik."
Olin tersenyum miris. Entah sebenarnya mamanya yang terlalu mudah percaya atau memang hanya tutup mata terdesak keadaan, kadang Olin ingin membenarkan perkataan Ringgo agar Mama berhenti memuji-muji dirinya. Olin mungkin anak 'berbakti', tapi Olin bukan wanita baik-baik.
"Aku berangkat, Ma." Olin menyalimi tangan mamanya dan meninggalkan rumah.
Olin melangkah dengan pasti, setiap langkahnya sarat akan tekad kuat. Ia akan berusaha mewujudkan harapan Mama bahwa Olin akan menikahi laki-laki baik, sekaligus mengikuti saran Ringgo yaitu memastikan dirinya tidak dilepeh tanpa mendapat apa-apa. Tak cuma materi, Olin pasti akan mendapatkan hati Arif meski tidak dengan cara Arif memberinya sukarela.
Dengan begitu, Olin bisa membungkam mulut orang-orang yang pernah, masih, serta selalu meremehkannya.
***
Selama lima tahun menikah, rasa-rasanya bisa dihitung dengan jari berapa kali Inge masuk ke toko lingerie. Demi menggairahkan kembali hubungan seksualnya dengan Pandu, Inge kira ia bisa memulainya dengan memilih lingerie seksi.
Inge menjatuhkan pilihan pertamanya pada sebuah lingerie sutra warna nude yang kalem dan manis, sangat cocok dengan selera Arif. Arif selalu memuji Inge cantik setiap Inge mamakai baju-baju warna nuansa earth tone. Lingerie ini dilengkapi jubah terpisah dari terusan mini dengan tali spaghetti dan potongan dadaa rendah bentuk V.
Saat Inge mencari-cari model lingerie lain, ia berpapasan dengan Olin yang juga tampak terkejut bertemu dengannya. Refleks Olin menyembunyikan gulungan baju yang tersamping di lengannya, ke balik punggungnya.
Inge mengulum senyum maklum dan sebisa mungkin tidak memberi kesan judgmental. "Santai aja, Olin. Kamu lihat saya kayak lagi lihat hantu."
"Sore, Bu. Nggak nyangka ketemu Bu Inge di sini," sapa Olin yang cukup terlambat.
"Sore juga, Lin. Lagi belanja juga?"
Olin meringis kecil. "Jangan bilang siapa-siapa ya, Bu, kita ketemu di sini."
Inge tertawa kecil. "Astaga, kamu mikir apa, Lin? Tenang aja, saya bukan orang kayak gitu. Sejak sebelum menikah, saya juga sudah belanja lingerie, kok. Sering saya pakai buat tidur karena nyaman, nggak ada yang aneh," jawab Inge setengah berbohong, semata-mata agar Olin merasa nyaman. Inge sungguh tidak peduli dengan urusan kamar orang. Mau dia sudah menikah atau belum, selama orang itu sudah dewasa dan sekiranya paham konsekuensinya, maka dosa biar jadi urusan mereka.
"Kamu beli apa itu?" Inge melongokkan kepalanya mengintip apa yang disembunyikan Olin.
Perlahan, Olin menggerakkan tangannya ke depan. Menunjukkan lingerie warna merah dan ungu terang. Di saat yang sama, Inge mendapati bahwa tasnya sama persis dengan tas yang dipakai Inge. Inge memperhatikan tas itu sekilas-sekilas, tas tersebut tampak asli. Tentu ini sedikit aneh jika ditilik dari pekerjaan Inge. Namun, tahu apa Inge tentang Olin? Mungkin saja dibalik kesederhanaannya dia berasal dari keluarga berada, punya bisnis sampingan, atau bisa juga punya pasangan mapan.
Inge berdehem, mengatasi kecanggungannya. "Selera kita beda banget kayaknya," komentar Inge cukup terkejut dengan pilihan warna Olin.
Olin melihat sekilas pilihan lingerienya. "Kebetulan pacar saya suka warna mencolok."
"Oh ya?" Inge sedikit terkejut, tak menyangka Olin akan terus terang. "Kalau gitu, selera pasangan kita yang beda."
"Masa sih, Bu?"
"Ya?" Inge tak paham maksud Olin.
"Saya kira Pak Arif suka warna-warna terang. Meskipun kayak baju-baju batiknya selalu warna gelap atau warna tanah, saya perhatikan Bapak selalu pilih warna-warna terang misal untuk slide presentasi, warna-warna koleksi lukisan Bapak di ruangan, terus—"
"Tunggu deh, Lin," Inge menyela. "Kenapa kamu memperhatikan suami saya?"
Olin berlagak gelagapan tak sadar apa yang diucapkan barusan. "Eh, maksud saya nggak memperhatikan, Bu. Maksudnya kan setiap hari saya ketemu Bapak, jadi tahu aja."
"Kamu salah. Suami saya nggak suka warna cerah."
"Maaf ya, Bu, kalau saya sok tahu."
Inge mesem sedikit. "Oke, lanjut aja, Lin." Entah mengapa Inge sangat terganggu dengan wajah Olin yang seakan dibuat-buat lugu ketika faktanya gadis itu ternyata tak sepolos kelihatannya.
Inge hendak beranjak dulu meninggalkan Olin, bersamaan dengan terdengarnya deringan ponsel Olin. Wajah Olin tampak sumringah saat mengecek si penelepon. "Permisi dulu ya, Bu," pamitnya ceria yang hanya diangguki oleh Inge. Olin lantas menjauh sambil menjawab teleponnya, "halo, Mas?"
Astaga, sulit untuk tidak judgemental terhadap apa yang baru disaksikan Inge sekarang. Inge menggeleng mencoba tak peduli. Ia mengeluarkan ponselnya sendiri untuk menghubungi Mas-nya, agar dia tidak lembur malam ini karena Inge menyiapkan kejutan untuknya. Sayangnya, teleponnya dijawab oleh operator yang memberitahu bahwa nomor Pandu sedang sibuk.
Tunggu dulu, ada sesuatu yang mengganjal tapi Inge tidak tahu apa. Diperhatikannya dari kejauhan punggung Olin yang masih terlibat pembicaraan di telepon, sampai akhirnya terlihat Olin menurunkan ponselnya. Lalu sesaat kemudian, ponsel Inge berdering. Ada telepon masuk dari Pandu.
"Halo, Nge, kamu barusan telepon aku?" sapa Arif langsung ke intinya.
"Telepon sama siapa tadi, Mas?" tanya Inge.
"Kamu nggak kenal. Urusan pekerjaan."
Inge hanya ber-oh pendek. "Nanti bisa makan malam di rumah, nggak?"
"Waduh, kayaknya nggak bisa. Aku ada dinner meeting, ini aja kerjaan aku belum beres."
Tidak ada yang bisa Inge lakukan, lagipula ia sudah tak seantusias sebelumnya untuk memberi Arif kejutan.