Aini keheranan saat Inge menghampirinya untuk minta diberikan gunting, pasalnya majikannya itu berjalan lurus dengan ekspresi seperti ingin memakan manusia. Tidak pernah sekali pun Aini melihat Inge semarah itu. Ah, ralat, Inge tidak pernah marah.
Inge berjalan naik menuju kamarnya yang terhubung dengan ruang khusus tempat ia menyimpan barang-barang fashionnya. Ia mengambil tas pemberian Arif di lemari kaca, lalu mengoyak tas mahal tersebut menggunakana gunting yang dibawanya. Merasa tak cukup dengan satu barang ini, Inge mengeluarkan semua barang-barang yang dibelikan Arif. Tas hitam itu mungkin bukan satu-satunya barang sama yang Arif hadiahkan untuk dirinya dan Olin.
Lebih dari itu, Inge tidak mau posisinya disejajarkan dengan seorang selingkuhan.
“Brengsekk, bajigaan, penipu, pembohong ….” Dengan air mata berderaian, Inge mengeluarkan semua kata sumpah serapah yang ada di perbendaharaan bahasanya sambil mengoyak tas-tas serta sepatu sebagai pelampiasan emosi yang tertahan.
Inge tidak pernah dikhianati sampai separah ini. Hatinya sakit sekali. Baginya, Arif bukan hanya sekadar suami. Ia sudah menganggap Arif sebagai bagian dari dirinya yang sangat ia percaya dan rela melakukan apa pun untuknya. Arif tidak boleh melakukan ini padanya.
Inge tidak akan mempertanyakan apa yang kurang dari dirinya atau kurang sebaik apa dirinya sampai-sampai Arif berselingkuh. Iinge menyadari, sangat menyadari bahwa sebagai istri dirinya tidak sempurna. Dia belum bisa memberi Arif keturunan. Namun, sekali lagi, alasan itu tak lantas memperbolehkan Arif menghianati cintanya. Inge pikir, Arif masih cukup waras dan cerdas untuk membedakan mana yang benar dan salah. Seandainya Arif jujur bahwa dia bisa bertahan lagi di sisi Inge, seharusnya dia menyampaikannya baik-baik. Sehingga tidak Inge tidak harus merasa terhina dan tak berguna.
Emosi Inge kian tak terkendali, gerakan tangannya makin sembrono dan tanpa sengaja ujung guntungnya menggores telapak tangannya. Inge dapat merasakan perih serta dapat melihat garis merah di sepanjang goresan tersebut, tapi itu sama sekali tidak menghentikan aksinya.
“Inge, apa yang kamu lakukan? Berhenti, Inge. Aku bilang berhenti!” Suara Arif terdengar, di susul kemudian dengan tangan lelaki itu menahan kedua pergelangan tangan Inge, sontak menghentikan aksi Inge.
Inge mendongak menatap wajah Arif dengan wajah basah oleh air mata. Di saat matanya bertemu dengan mata Arif itulah, emosi Inge benar-benar meledak. Tangannya berusaha digerakkan ingin memukul Arif, sayangnya kedua tangannya tak bisa bergerak akibat cengkeraman Arif.
“Tenang, Nge, tenang … Kamu baru boleh hajar aku kalau kamu udah tenang.”
“Lepas! Kamu suruh aku tenang kayak gimana? Coba bilang ke aku gimana tenangnya seorang istri yang diselingkuhi suaminya!” Inge berteriak histeris. “Nggak bisa, Arif, nggak bisa! Siapa pun akan gila kalau tahu suaminya selingkuh dan akan punya anak dari selingkuhannya.”
Sungguh Inge ingin memainkan peran istri tersakiti ini dengan cara elegan, seperti yang selama ini ia sarankan pada orang-orang yang minta pendapatnya. Namun ternyata yang Inge sarankan hanya omong kosong.
Lama-lama tubuh Inge merosot kehabisan tenaga, hanya isak tangis yang tersisa. Baru lah saat itu Arif melepaskannya.
“Maaf, Nge. Aku nggak nyangka jadinya akan begini.” Arif bersimpuh di depan Inge dengan kepala tertunduk dalam, seolah ingin menunjukkan sedalam itulah penyesalannya.
“Nggak nyangka akan ketahuan maksudmu?”
Arif menggeleng sambil memejam rapat. “Enggak. Aku nggak nyangka Olin akan ngejebak aku. Selama ini aku Cuma kasihan sama dia. diamasih sangat muda tapi nanggung beban yang nggak semestinya dia tanggung di usianya. Dia udah aku nggak adik—”
Perkataan Arif tercekat lantaran Inge tiba-tiba tertawa keras. “Adik kamu bilang, Rif?” Pekik Inge, lalu disambung tawa sumbang. “Mana ada Kakak yang menghamili adiknya? Nggak perlu banyak alasan yang bikin kamu kelihatan makin bodoh di mata aku. Cukup jawab aja satu pertanyaanku … pernah nggak, sih, kamu mencintai aku?”
“Aku mencintai kamu,” jawab Ari langsung, tanpa mengambil jeda berpikir.
Alih-alih senang, Inge malah terdiam dengan tatapan terluka. “Aku juga mencintai kamu,” jawabnya melirih. “Tapi kok aku nggak pernah sekali pun berpikir buat selingkuh. Aku selalu membatasi hubunganku sama teman-teman laki-lakiku demi menjaga perasaan kamu dan menghormati kamu sebagai suamiku. Harusnya kayak gitu, kan, orang yang mencintai pasangannya? Baru kali ini aku tahu ada seseorang yang menunjukkan cintanya dengan cara selingkuh.”
“Aku—“
“Ceraikan aku,” sela Inge yang tidak ingin mendengar suara Arif, sebab apapun yang kelua dari bibirnya telanjur ia anggap sebagai bualan. Dengan begini, semuanya akan cepat selesai.
Sejak awal Inge tidak berniat berkompromi, baginya perselingkuhan adalah kejahatan tingkat tinggi dalam rumah tangga, tidak ada kata ampun. Inge bahkan tidak ingin bertanya alasan Arif berselingkuh atau memberinya ultimatum pilih dia atau selingkuhannya.
Bagi Inge, kenyataan Arif selingkuh saja sudah menjawab keduanya. Seseorang yang mencintai pasangannya tidak akan terpikir untuk selingkuh.
Kedua mata Arif membeliak kaget. “Tunggu, Nge. Ini masih bisa kita bicarakan. Hubunganku sama Olin nggak kayak yang kamu pikir. Dia menyalahartikan kebaikan aku, dia pikir dengan menjebak aku lewat kehamilan, dia bisa memiliki aku.”
“Jangan konyol, Rif. Kamu ngasih dia uang, perhatian, dan pelepasan, apa maksudmu salah mengartikan?”
“Coba kamu pikir—“
“Ck, udah lah, Arif Bijaksana,” decak Inge antara muak dan malas. “Aku beneran nggak mau dengar apa-apa dari mulut kamu. Kalau kamu takut aku akan mempengaruhi Papa buat menarik dukungannya ke kamu, kamu tenang aja, aku bukan orang sepicik itu. Dan kalau kamu khawatir aku akan mem-blow up perselingkuhan kamu, kamu juga tenang aja. Aku nggak sudi dikasihani dan dianggap kalah dari perempuan kayak Olin.”
Jika setelah ini Arif masih menuntut hal lebih, maka lelaki itu pantas dinobatkan sebagai laki-laki paling tidak tahu diri sedunia. Bukankah solusi yang Inge beri sangat bijaksana? Dengan begini, urusan mereka akan cepat selesai dan mereka bisa melanjutkan hidup masing-masing dengan tenang tanpa ada kehebohan.
Inge sungguh ingin terbebas dari rasa sakit ini.
Perlahan, Inge bangkit berdiri, tapi kakinya yang lemas membuatnya hampir terjatuh jika saja Arif tidak dengan sigap memeganginya.
“Jangan sentuh aku.” Refleks, Inge mendorongnya seperti jijik membiarkan kulitnya bersentuhan dengan kulit Arif.
Arif terperangah, tak berkata-kata.
“Kemasi barang-barang kamu dan pergi dari rumah ini, aku nggak mau lihat wajah kamu lagi. Kalau pun kamu gagal jadi Gubernur, aku jamin penyebabnya bukan karena skandal perselingkuhan. Rakyat sekarang sudah cerdas. Mereka tahu mana politikus yang benar-benar punya kualitas, mana yang rela menghalalkan segala cara demi mencapai ambisinya. Pada akhirnya mereka akan bisa menilai apa kamu layak menjadi pemimpin mereka.” Inge mundur menjauh sambil melempar Arif merendahkan. “Sama rumah tangga aja nggak bisa menjaga komitmen, apa lagi sama rakyat dan Negara.”
Arif mengusap rambut ke belakang dengan bibir menyunggingkan senyuman miring. Inge baru saja menyenggol harga dirinya. “Kamu nggak penasaran, menurutmu kenapa aku selingkuh?”
Ucapan Arif menghentikan langkah Inge, dengan terpaksa perempuan itu kembali memutar kepala berhadapan dengan Arif. “Apa lagi memangnya? Selingkuhanmu bisa ngasih satu-satunya yang nggak bisa aku kasih yaitu anak.”
Kali ini, giliran Inge yang dibuat mengernyit oleh tawa sumbang Arif. “Bukannya yang ngebet ingin punya anak itu kamu? Berapa kali aku bilang aku nggak mempermasalahkan kita punya anak atau enggak, aku bahkan menawarkan adopsi anak biar kamu nggak terbebani merasa perempuan harus melahirkan biar bisa disebut Ibu. Tapi apa? Kamu selalu menyiksa diri, nggak mau mendengar aku, selalu mengeluh masalah sama tapi tiap aku kasih solusi kamu kekeh sama keputusan kamu sendiri. Iya, itu lah kamu, selalu merasa paling cerdas dan pengambil keputusan paling bijaksana.”
Inge menyipit tak menyangka dengan apa yang barusan Arif katakan, sebisa mungkin tak terpengaruh karena Arif hanya gaslighting.
“Kamu salah.” Arif belum berhenti, ada banyak unek-unek dalam kepalanya yang bertahun-tahun terpendam demi menjaga perasaan Inge. “Olin, selingkuhanku, punya banyak hal yang nggak bisa kamu kasih. Dia tahu kapan aku minta masukan atau Cuma ingin didengarkan, dia tahu apa yang aku suka tanpa aku bilang A, dia nggak pernah mendramatisir keadaan. Kamu tahu apa yang paling lucu, Nge?”
Rahang Inge mengetat.
Arif tersenyum lemah dengan mata berkaca-kaca. “Olin mungkin memang polos dan naif, tapi nggak tahu kenapa kadang aku merasa dia lebih mengenal aku daripada kamu.”
“Benarkah?” Kata pertama yang bisa Inge katakan setelah terpaku sesaat. Barusan Arif kembali melukainya, bahkan memberi efek lebih parah daripada saat mengatahui fakta selingkuhan Arif mengandung anak Arif. Kali ini, secara nyata Arif memuji-muji dia di depan mata dan telinga Inge.
Inge menipiskan bibir, memaksa tersenyum di tengah deraan sakit hati. Kepalanya mengangguk-angguk, memicu air mata yang menggantung di pelupuk matanya luruh. “Baguslah kalau begitu, nggak perlu lagi bertahan sama orang yang nggak bisa memahami kamu ini.”
Usai mengatakan itu, Inge langsung beranjak pergi tanpa menunggu respon Arif. Pun dengan Arif yang tidak berusaha menahannya.
Seburuk itukah Inge sebagai istri?
***
Olin masih menangis sesenggukan sejak kepergian Arif sekitar dua jam lalu. Ia takut ucapan terakhir Arif sebelum pergi bukan hanya sekadar geretakan. Setahunya, Arif bukan orang sejahat itu. Dia pasti tidak benar-benar menyuruh Olin menggugurkan kandungannya.
Namun, jika besok Arif tidak berubah pikiran, lalu Olin harus bagaimana?
“Mas?”
Olin tampak tercengang melihat Arif kembali di saat ia pikir telah kalah dalam taruhannya sendiri.
Sesaat Arif hanya diam menatap Olin. “Pulanglah, aku mau sendirian malam ini. Kita bicara lagi … besok,” ujar Arif yang tak seemosional sebelumnya.
Olin pun tidak berbicara apa-apa dan membiarkan Arif masuk ke dalam kamar, ingin memberi waktu bagi Arif menenangkan diri. Bagaimana pun juga, situasi ini mendadak dan kompleks. Arif harus membereskan apa yang telah ia hancurkan, dan Arif harus membangunlagi apa yang telah hancur itu. Entah bersama Olin, atau membangun ulang bersama Inge.
Olin mengelus perutnya. Apa yang harus dilakukannya jika boomerang yang dilemparkannya terbang berbalik arah?
Sementara itu, di kamar, Arif duduk di tepi tempat tidur, menjambak rambutnya sendiri dengan kedua siku bertumpu di lutut. Olin benar-benar menyulitkan hidupnya.
“Sama rumah tangga aja nggak bisa menjaga komitmen, apa lagi sama rakyat dan Negara.”
Arif mengakui kebejatan serta sikap tidak bertanggungjawabnya. Olin ada benarnya, Arif terlalu menggantungkan Inge. Dan Inge juga benar tentang keraguannya apakah Arif masih layak menjadi seorang pemimpin ketika ia sendiri gagal memimpin sebuah rumah tangga yang isinya hanya ada dua kepala.
Arif baru menyadari hubungan sayap kanan dan kiri yang dijalaninya hampir setahun terakhir ternyata tidak semenyenangkan itu. Seandainya Arif menyadari ini lebih awal, ia masih bisa memilih antara Inge atau Olin. Tapi sekarang, tidak ada yang bisa dipilihnya. Hubungannya dengan Inge tidak bisa diselamatkan, sementara janin tak berdosa di dalam kandungan Olin harus segera ditentukan nasibnya.
Ia telah membuat Inge makin marah dan bukan tidak mungkin Inge akan menarik kata-katanya kembali—tidak akan mem-blow up perselingkuhannya. Di kantong Arif kini ada bom waktu yang tombolnya dipegang Inge dan Olin. Jika Arif tidak mengambil langkah bijak, salah satu dari keduanya bisa meledakkannya dalam satu pencet.
Situasi kini tak lagi sama.Mengembalikan situasi seperti dulu mustahil sebab Inge membenci dan tidak mempercayainya lagi, maka tak ada yang bisa Arif lakukan kecuali bertahan pada apa yang masih bisa dijadikan pegangan. Di momen ini juga sepertinya bisa Arif jadikan kesempatan untuk merenungi kembali untuk apa ia harus menjadi Gubernur termuda.
***
Jika Arif berpikir ucapannya tadi malam membuat Inge depresi menyalahkan diri, maka Arif salah.
Keesokan harinya, Inge kembali menjalani aktivitasnya seperti biasa. Rencananya, hari ini juga ia akan lengsung mengurus gugatan cerai dan memberi tahu keluarganya bahwa pernikahannya dengan Arif harus kandas di tengah jalan. Semakin epat selesai, semakin baik. Biar saja kalau Arif mau menikahi Olin, dibanding dirinya, Olin jauh lebih membutuhkan Arif. Lagipula, ada tidaknya Arif dalam hidupnya, tidak akan ada yangberubah dari hidup Olin kecuali status yang beralih jadi janda.
Inilah salah satu alasan mengapa perempuan harus mandiri, baik secara finansial dan lainnya. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Jangan pernah sekalipun kita bergantung pada manusia karena manusia lah letak ketidakpastian itu.
Sampai saat ini, masih banyak Inge jumpai perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga milih bertahan dalam pernikahan neraka lantaran bingung menyambung hidup jika sampai bercerai. Selama pernikahan dia hidup dari nafkah suami dan sebelum menikah tidak punya pengalaman kerja sama sekali. Buat sebagian orang, ada ketakutan yang lebih mengerikan dibanding dimaki atau dipukuli setiap hari. Yaitu, besok mau makan apa?
Inge dalam perjalanan ke kantor, ketika Rizka meneleponnya. “Halo?” sapa Inge leluasa menjawab sebab ada supir pribadi yang mengemudikan mobil ini.
“Halo, Mbak. Maaf telepon pagi-pagi.”
“Enggak apa-apa. Ini aku lagi perjalanan ke kantor. Ada apa?”
“Aku rasa Mbak harus mendengar kabar ini. Mbak masih ingat sama Bu Marlina?”
“Bu Marlina?” Inge mengingat-ingat nama itu. “Oh, ingat. Dia yang tahun lalu lalu kita bantu gugatan KDRT karena suaminya suap aparat biar laporannya nggak diproses itu, kan? Ada apa sama dia?”
“Iya, benar dia, Mbak. Aku dapat laporan kalau tadi malam dia membunuh mantan suaminya.”
“Apa?”
Segera, Inge minta supirnya mengalihkan tujuan menjadi ke kantor polisi tempat Marlina ditahan.
Dan, Inge kini sedang duduk berhadapan dengan Marlina yang penampilannya tidak lebih baik dari tahun lalu meski tidak ada tanda-tanda kekerasan di fisiknya sekarang. Yang paling mencenganggan Inge adalah Marlina tidak tampak menyesali perbuatannya.
“Bu Marlina tahu perbuatan Ibu apa?” tanya Inge tenang.
“Tahu. Saya membunuh mantan suami saya,” jawab Bu Marlina sama tenangnya.
“Tahu ancaman hukumannya berapa tahun?”
Marlina menghendikkan bahu acuh tak acuh. “Mereka bilang saya bisa saja dipenjara seumur hidup karena katanya itu pembunuhan berencana.”
“Nggak menyesal mempertaruhkan sisa hidup di penjara buat mantan suami?”
“Yang dulu Anda bilang salah.”
Inge mengernyit lantaran ucapan Marlina tidak berhubungan denan pertanyaannya.
Marlina menatap Inge. “Setelah dia bikin saya kehilangan dua gigi dan janin dalam perut saya, bercerai bukan cara untuk membebaskan saya dari penderitaan. Lihat setelah dia keluar dari penjara, dia menikahi selingkuhannya dan setiap hari haha hihi pamer kebahagiaan. Saya nggak ikhlas. Kenapa setelah disakiti saya masih menderita dan dia ... setelah menyakiti saya bisa bahagia?”
Inge terpaku tidak bisa berkata-kata.
“Harusnya dulu saya nggak mengikuti saran Anda. Mestinya saya menghukum dia, bukan menceraikannya.”
Inge menelan ludah serat. Trauma yang dialami Marlina pasti sangat berat hingga dia sampai punya pikiran seekstrim itu. “Dihukum dengan cara dibunuh?”
Marlina tersenyum miring. “Lebih baik dia mati daripada saya harus melihat dia hidup bahagia.”