Jujur saja, Olin sedikit takut. Ketahuan seperti ini tidak masuk dalam rencananya sehingga wajar ia kaget dan belum siap. Namun, itu tak sampai membuatnya merasa gentar. Dengan hamil anak Arif, artinya Olin telah menang 1-0.
Mereka kini tengah duduk berhadapan dengan adu tatapan tajam. Inge terbilang sangat tenang untuk ukuran seseorang istri yang baru memergoki suaminya berselingkuh dan akan punya anak dari selingkuhannya itu. Tidak ada adegan teriak memaki-maki, apalagi saling jambak rambut.
"Cuma karena kamu jadi selingkuhan suami saya, kayaknya kamu merasa satu kedudukan sama saya karena kamu sekarang berani natap mata saya," ujar Inge dengan air muka meremehkan.
"Memangnya saya harus bagaimana?"
Inge mendengus sinis dan mendesis, "benar-benar tidak tahu malu."
Rasa simpati Inge terhadap Olin hilang, tergantikan oleh rasa jijik. Sebagai sesama seorang wanita, Inge malu mengakui ada orang tidak tahu malu seperti Olin dalam kaumnya di saat Inge bertahun-tahun memperjuangkan ketidakadilan yang dialami para wanita. Bisa-bisanya seorang wanita menyakiti sesamanya. Memang bukan menyakiti secara fisik, atau mencuri sesuatu darinya—Arif bukan benda mati yang bisa dicuri, melainkan caranya untuk memperjuangkan kebahagiaan lewat cara merusak kebahagiaan orang lain.
Olin seolah sengaja mengejel Inge dengan terang-terangan meletakkan tangan di atas perutnya. Dia pasti sangat bangga atas kehamilannya.
"Nge, kita pulang, ya? Kita bicara di rumah," bujuk Arif entah yang ke berapa kali. Dasar ayam, pikir Inge.
Inge melirik Arif. "Kamu bukannya ke sini karena nggak mau pulang? Kenapa sekarang jadi mau pulang?"
"Nge, aku bisa jelasin—"
"Jelasin atau ngarang alasan?" potong Inge dengan nada menyindir, lalu disambung dengan decihan muak. "Sudahlah, kayaknya kamu sendiri masih syok banget. Pertama, karena nggak nyangka ketahuan. Dan yang kedua, karena selingkuhan kamu hamil." Inge berdiri menenteng tas jingjingnya.
"Kamu mau ke mana?" tanyanya saat melihat Arif juga menyusulnya berdiri.
"Pulang sama kamu."
Inge tertawa sinis, diliriknya Olin yang tampak hendak memprotes Arif. "Setelah semua ini, kamu pikir aku mau pulang bareng sama kamu? Urus saja, selingkuhan cilikmu ini. Lagian, memang seharusnya kamu tetap di sini, kan? Kalian harus merayakan sebentar lagi akan jadi orang tua?" Inge lalu beranjak menuju pintu, dapat dirasakannya Arif mengejarnya.
"Tunggu, Nge—"
"Mas jangan pergi." Kali ini suara Olin yang menyela saat Arif kekeh ingin mengejar Inge.
Langkah Inge sontak ikut berhenti, tapi tidak memutar kepala barang se-inchi. Kembali ia tersenyum yang menandai penerimaannya terhadap kenyataan ini. Lihat betapa beraninya Olin sekarang, seolah-olah sengaja mengajak Inge berperang. Dasar anak kecil, pikir Inge. Dikiranya Inge tertarik menyulitkan diri dalam permainan perang-perangan ini hanya untuk lelaki yang terbukti tidak setia. Olin bisa memiliki Arif karena memiliki Arif saat ini tidak membanggakan sama sekali.
Inge melanjutkan langkahnya, hingga tangannya menarik handle pintu, Arif tidak menyusulnya. Baiklah, Arif sepertinya telah menentukan pilihan. Inge pun kini tahu apa yang harus dilakukan.
Satu kata. Cerai.
***
"Bagaimana bisa?" Arif menyambung pertanyaannya yang belum terjawab sebelumnya, begitu di ruangan ini hanya tinggal dirinya dan Olin saja.
"Ya, bisa. Kan kita biasa bercinta."
Pyar! Arif membanting gelas dengan murka hingga membuat Olin memekik terkejut. Pecahan gelasnya menyebar ke sekitar, siap melukai siapapun yang menginjaknya. "Jangan bodoh, Olin. Kamu tahu apa maksudku. Kita selalu main aman karena kamu, tunggu ...," Arif menjeda ucapannya lantaran tiba-tiba terpikir sesuatu. Matanya menyipit menatap Inge penuh selidik. "Jangan bilang, kamu sengaja nggak pernah minum lagi."
Olin meremas tangan gugup, sebisa mungkin berusaha tidak menunjukkannya. Ia sudah menyiapkan jawaban atas pertanyaan ini, Olin hanya perlu mengulanginya saja. "Aku selalu minum, ya ... bisa aja, kan? Setahuku banyak yang pakai kontrasepsi tapi tetap kebobohan."
"Kamu sengaja," cetus Arif menangkap gelagat bohong di wajah Inge. Ia cukup mengenal Olin, gadis polos ini tidak biasa berbohong. Sekalinya berbohong, ketahuan dari keanehan bahasa tubuh Olin yang tegang dan bicaranya gagap. "Kenapa kamu lakukan itu? Kenapa?!" teriak Arif tepat di depan wajah Olin.
Olin memejam terkejut, tak bisa lagi menampik bahwa saat ini ia tengah ketakutan setengah mati. Ia sudah memprediksi Arif akan marah, tapi ternyata menghadapi kemarahan Arif sangat menegangkan. Kepalang basah, Olin berada di ujung tanduk. Bersikap takut-takut seperti pengecut hanya akan membuat kenekatannya jadi boomerang yang melukai diringa sendiri. Olin harus tegas.
"Bukannya kamu ingin punya anak tapi istrimu nggak bisa ngasih? Ini, aku memberimu anak." Entah suntikan keberanian itu dari mana datangnya, Olin mendongak membalas tatapan tajam Arif.
"Anak?" ulang Arif tak habis pikir. "Kamu bilang aku ingin anak?" Arif membuat Olin mengernyitkan kening, meningkahi tawa lelaki itu.
"Kalau yang aku inginkan adalah anak, aku nggak akan bertahan sama Inge sampai selama ini. Aku bisa tinggalin dia dan cari perempuan yang bibit, bebet, bobotnya jelas buat melahirkan anak aku. Asal kamu tahu, yang aku butuhkan saat ini bukan anak, baik itu dari Inge, apalagi dari kamu!" Arif berteriak hingga wajahnya merah dan otot-otot wajah serta lehernya mencuat. "Aku punya target yang mesti aku capai sebelum umur 35 tahun, dan kamu baru aja mengacaukannya."
"Apa? jadi Gubernur itu?" Olin membalas. "Kenapa kamu khawatir sekali, sih, Mas? Tanpa Inge dan keluarganya, kamu pasti bisa jadi Gubernur. Kamu udah punya nama besar dan image yang bagus di mata kaum milenial."
"Olin, kamu ini sebenarnya bodoh atau sok naif, sih? Menurutmu bertahan berapa lama popularitas buat politikus? Popularitas itu kayak pisau mata dua. Kami bukan anak SMA yang berebut badge ketua OSIS, Olin! Menurutmu apa yang akan terjadi kalau sampai Inge bawa ini ke media? Gimana soal dukungan dari partai papanya?"
"Itu ...." Olin gelagapan.
"Papamu saja mantan narapidana. Inilah kenapa aku bilang nggak akan ada yang bisa menggantikan Inge. Kamu mestinya tahu diri."
"Kamu nggak bisa bicara seperti itu tentang aku, Mas. Sekarang aku hamil. Anak kamu."
"Kamu menjebak aku!" Arif menolak tanggung jawab. "Sejak awal aturan dan kesepakatannya udah jelas. Nggak ada ikatan, nggak ada paksaan. Kamu sangat bisa pergi kalau nggak setuju aturanku. Jangan mengharap apa-apa dari aku, memangnya uang yang aku beri masih kurang?"
Kedua tangan Olin mengepal kuat. Matanya mulai berkaca-kaca, merasa harga dirinya terhina dan patah hati. "Tapi aku cinta sama kamu, Mas," lirih Olin.
"Persetan. Memangnya ada untungnya dicintai sama kamu?"
"Kamu bahagia sama aku. Kamu bertahan sama Inge karena terpaksa, kamu takut karir politikmu terganggu dan kamu kasihan sama dia karena stress nggak bisa punya anak. Sama aku, kamu bisa jadi diri kamu sendiri. Sedangkan kalau sama Inge, kamu merasa harus selalu menyenangkan dia dan pura-pura suka apa yang dia pilih. Kamu merasa lebih nyaman menghabiskan waktu sama aku kalau lagi capek dan suntuk." Alif tak kutik, tak bisa mengelak apa yang barusan Olin jabarkan. Tanpa sadar, makin lama cintanya pada Inge luntur dan digantikan perasaan butuh. Inge pasangan sempurna. Terlalu sempurna. Arif lelah harus mengimbangi segala kesempurnaan Inge.
Sedangkan pada Olin, Arif tidak perlu khawatir terlihat buruk dan menunjukkan kelemahannya. Olin sempurna, sebagai pasangan hidup.
Ketermenungan Arif dimanfaatkan Olin, dengan lembut ia menubrukkan diri memeluk Arif dari depan. "Mas, aku memang nggak bisa ngasih golden pass karir politikmu kayak yang bisa Inge kasih. Tapi aku bisa ngasih kamu keluarga yang bahagia. Untuk apa karir mentereng kalau kamu nggak bahagia? Jangan mengelak, Mas. Kalau kamu bahagia sama Inge, kamu nggak akan mencari aku atau 10 wanita seperti aku. Kita coba ya, Mas, kamu pasti bisa mendapat keduanya."
Dadaa Arif naik turun, emosinya masih belum sepenuhnya surut. Dia sedikit terpengaruh oleh perkataan Olin. Sejak dulu ia sangat memimpikan 'rumah' yang nyaman untuk dituju setelah seharian berkutat dengan pekerjaan yang menguras pikiran, bukannya tambah stress dengan segala keluhan Inge tentang anak atau ajakan diskusi berita dan isu-isu terkini. Sejauh ini, pulang pada Olin mempu me-recharge energinya hingga pulih kembali.
Kesadaran lain menampar Arif. Tidak, bukan itu yang penting saat ini. Bagaimana pun juga, sejarah harus mencatat nama Arif Bijaksana sebagai Gubernur termuda di Indonesia. Masalah asmara dan keluarga bisa dibangun beriringan. Arif tidak bisa mempertaruhkan karir politiknya demi seorang Olin.
Arif melepaskan pelukan Olin dan sedikit mendorongnya menjauh. "Enggak, enggak, aku nggak bisa melepaskan Inge. Nama besarku nggak lepas dari nama besar diam. Mudah buat dia hancurin aku pakai masalah ini."
"Kenapa kamu kesannya jadi bergantung banget sama Inge? Keluargamu kan juga bukan keluarga sembarangan. Kamu bisa lakukan sesuatu buat menyelesaikan masalah ini tanpa merugikan diri."
"Kenapa aku yang harus membereskan masalah yang kamu bikin?" Arif melotot, bara amarah yang semula sempat meredup, kini berkobar-kobar kembali. "Dan ngomongin soal anak, apa yang bikin kamu merasa pantas jadi Ibu anakku?"
"A—pa?" Mata Olin mulai berkaca-kaca.
Arif mendengus dan membuang muka ke arah lain dengan gusar. "Gugurin kandungan kamu," kayanya, menyerupai gumaman tapi dalam, tajam, dan tegas.
Deg! Untuk yang satu itu, Olin tidak pernah berharap akan terucap. Arif pasti bercanda, dia tidak mungkin menyuruh Olin menghilangkan darah dagingnya sendiri. Olin tersenyum gamang. "Kamu ... bercanda, kan, Mas? Kamu nyuruh aku gugurin anak ... kamu."
"Dia anak hasil kebodohan kamu. Aku akan memiliki anak, saat aku benar-benar menginginkannya." Arif menyambar jasnya dan menyampirkannya di lengan, seperti bersiap hendak pergi.
"Ak—"
"Nggak ada bantahan," Arif memotong sambil mengacungkan telunjuk tepat di depan ujung hidung Olin. "Itu solusi satu-satunya yang aku bisa kasih untuk membereskan masalah ini." Kemudian Arif beranjak dari hadapan Olin.
"Kamu kayaknya lupa satu hal," seru Olin tepat saat Arif mencapai depan pintu. Kedua tangan Olin mengepal kuat, rahangnya mengetat emosional. Seperti halnya Arif yang tidak ingin karir politiknya hancur, Olin pun tidak ingin hidupnya hancur. Ia telah mempertaruhkan semuanya, sehingga ia tidak boleh berakhir rusak dan tidak mendapat apa-apa.
Dengan malas Arif memutar badan menghadap Olin.
"Nggak cuma Inge, aku juga bisa memakai masalah ini buat menjatuhkan kamu. Lalu kita lihat, apa Inge dan keluarganya bisa menyelamatkan nama baik kamu."
Kening Arif berkerut dalam. "Kamu sedang mengancam aku?"
"Syukurlah kalau kamu merasa terancam."
Sebelah sudut bibir Arif ditarik membentuk seringai sinis. "Kamu kayaknya belum kenal siapa aku, Olin. Sebelum kamu buka suara, aku sangat bisa membungkam kamu selamanya."