Be a Baby Sitter?!

4243 Kata
••••••••••••••••••••●●●••••••••••••••••••••• Karena aku sudah bersumpah membenci mereka. Bahkan Sang dewa Zeus pun akan kutolak Apalagi cuma seorang Narcissus rendahan. •••••••••••••••••••••●●●••••••••••••••••••••• "Jangan coba main-main dengan saya. Kamu bilang ini laporan valid? Saya tidak menerima audit firma akuntan gak jelas kaya gini. Asset sengketa ini tidak bisa jadi jaminan! Saya ingin jaminan yang lain bilang pada mereka!" Gue lempar draft kredit ke marketing baru uang bernama Johan itu. Dia mengambil draft itu. "Tapi Bu, mereka group perusahaan besar. Dulu saya pernah kerja sama dengan mereka. Dan pembayaran mereka tidak pernah macet..." Masih mencoba bicara dan mencari pembenaran ngelolosin pengajuan dia. "Terus kalo mereka macet kamu mau jadiin diri kamu jaminan? Kamu tahu aturannya. Saya tahu kamu marketing senior ditempat lain, tapi disini aturan yang berlaku berbeda!" Langsung memakai nada tinggi dan laki-laki yang umurnya lebih tua dari gue itu langsung diam ditempatnya. "Ini gak masuk ke rapat pengesahan. Titik. Kamu boleh keluar sekarang. Pakai auditor kita, kasih saya asset lain baru saya pertimbangkan." Gue Carlita Darwis. Usia 33 tahun. Senior Credit Analyst divisi 6. Orang-orang di sini tahu ngelewatin senior analyst di tempat ini gak mudah. Kami bisa sangat bermurah hati jika melihat prospek bagus, dan jaminan valid, tapi jelas tak akan mentolelir penyimpangan aturan. Dan kadang markering-marketing ini melakukan sesuatu yang salah untuk melancarkan komisi mereka. "Bu, waktunya meeting." Sekertaris ngigetin via intercom setelah meeting dengan marketing kurang ajar itu. Dan Boss gue adalah Managing Director Oscar Wu. Lulusan salah satu universitas Ivy League. Otaknya brilliant. Kecuali hubungannya dengan keluarga Wu yang merupakan pemegang saham. Dia adalah orang yang tak bisa kau tebak pikirannya. Btw, selama gue jarang banget ngeliat dia senyum, mukanya kebanyakan datar kaku tanpa ekspresi di kantor, kalo gak mau dibilang serem, sekalinya dia senyum itu adalah senyum sinis kebanyakan. Tapi gue gak masalah toh jita dikantor level-level udah manager, udah gak mencampuri kehidupan pribadi masing-masing. Dia single. Umur gue gak tahu pasti. Gue nebak udah hampir 40 mungkin. Kenapa dia single. Gak tahu juga , bukan urusan gue juga. Yang penting kerjaan gue beres. Gosip seremnya dia punya simpenan, udah kaya pejabat. Gosip lainnya bilang dia gay. Terserah yang penting boss gue orang waras dan duduk di posisinya dan berfungsi dengan benar. Yang penting adalah analisa kredit yang gue setujui pembayarannya lancar dan jabatan gue gak terancam. "Siang Pak Oscar... " "Siang, sihlakan mulai." Dia duduk dimejanya sambil megang laporan dan satu temen senior analyst gue juga masuk ngajuin persetujuan kredit dia. Langsung ke permasalahan seperti biasa. Gak lama kita kasih rangkuman laporan kita dan jelasin kondisi dan prospek perusahaan dan dia okein atau dia minta kita cermati lagi sebelum kasih persetujuan laporan. Done. Rapat selesai gak sampai sejam. Gue keluar ruangan Pak Oscar. "Lita,.." Kepala tim analyst yang lain namanya Timmy yang masuk sama gue tadi nyamperin gue. Gue noleh sambil benerin kacamata gue. Hari-hari gue pakai kacamata buat kerja. Tapi sebenarnya itu cuma kacamata biasa yang gue pake biar gue terlihat lebih tua "Iya Tim?" "Mau keluar sama gue besok. Makan yuk?" "Wahhh gak bisa Tim. Ada kesibukan." Kebanyakan cowo disini nyangka gue masih single gak laku. Karena kerjaan gue di analyst kredit, gue gak banyak ketemu orang. Gue dibelakang meja, jarang bermake up heboh centil dan memilih terlihat membosankan dengan kacamata dan blazer hitam sepanjang tahun. "Kok kerjaan terus yang dipikirin Lit, Sekali-sekali kita perlu ganti suasana." Timmy masih ngejejerin gue. Napa sih, ngapain dia ngajak gue makan. Gak ada yang lain apa. "Ada acara kawinan keluarga Tim. Sorry ya..." "Ohh gitu. Oke deh. Lain kali aja ya..." Empat tahun gue kerja di kantor ini. Satu tahun sebagai manager analyst. Gak ada seorang pun yang berhasil ngajak gue jalan dikantor ini buat jalan-jalan berdua. Dari alasan paling membosankan sampe paling gak masuk akal. Dari sogokan makanan sampe sogokan bunga. Gak ada yang pernah berhasil. Sampe gue digosipin manager analyst le*sbian. Gue ketawa aja. Biarin aja gosip itu, malah bagus karena gue males bohong. Timmy mundur setelah ketiga kalinya nyoba gak berhasil. Sebentar kemudian gue tahu alasannya kenapa dia mencoba buat ke tiga kalinya. Gue lewat cluster ruangan divisi dia. "Kan sini bayar gue, udah bilang gue pasti ditolak ama Ratu Es. Sini seratus masing-masing." Ohhh di nyoba ngajak gue buat taruhan doang. Sebutan gue Ratu Es. Cocok gue suka banget. "Ayooo sini 400rb lumayan buat makan-makan." Dia ngumpulin duitnya. Gue masuk ke ruangannya dia. Mereka kaget karena gue tiba-tiba muncul. "Ohh ngajakin gue buat taruhan. Sini bagi gue 200, 200nya buat usaha lu." Langsung ngambil 200ribu dari tangan dia. "Tenang aja. Gue gak sakit hati kok. Makasih yaaa..." Dan gue berlenggang dari ruangan mereka sambil kipasan 200ribu. Lumayan buat makan-makan besok. ----------- "Ma, boleh ambil buku ini dua...?" Gue lihat apa yang dia ambil kemudian senyum sambil ngangguk. Anak perempuan itu tampak tersenyum gembira. Dan jalan ke kasir. Gue punya rahasia. Nama gadis kecil cantik itu adalah Elina dan dia adalah cinta sejati gue. Anak gue, umurnya delapan tahun dan dia sangat pintar untuk anak seumurnya. Dia adalah matahari dan bulan. Dia adalah pengagum rahasia gue dan gue adalah ksatria berkudanya sekaligus Ibu Perinya. Ayahnya? Ayahnya adalah seorang yang punya segalanya. Tapi menolak mengakui kalau dia ada, dan gue anggap dia udah mati. Elina juga tahunya Papanya sudah meninggal. Dikremasi. Gak ada sisa. Di kantor gue ngaku single, karena dulu untuk melamar pekerjaan gue, diperlukan status single. Kalau temen gue ketemu dia, dia akan jadi ponakan gue. Dan dia ngerti buat manggil gue tante. Gak ada yang tahu kecuali sahabat baik gue dikantor soal Elina. Dan dia tahu dengan jelas kenapa gue nolak semua pria yang dekat sama gue. Trauma. Trauma percaya sama pria. Trauma nyakitin orang tua gue. Mama dan Papa gue hancur hatinya ngeliat anaknya dan tetep bantu gue ngerawat Elina, sementara gue berjuang mati-matian buat mantapin karier gue dan setelah sekarang semuanya membaik. Gue bisa menopang diri sendiri dan Elina. Gue bersumpah gak akan membuat mereka sedih lagi. Gue menganggap semua laki-laki sama brengseknya dan gue bisa hidup tanpa laki-laki. "Berapa sayang harganya..." "67.000 mah." "Ya udah kasih ke Ibu Kasirnya." "Ibu mau ambil ini..." "Makasih mah..." "Iya sayang..." "Lita?" Sebuah suara dalam dari samping membuat tengkuk gue dingin. Pak Oscar natap gue dengan heran, pasti karena Elina manggil gue 'Mah'?! "Oh Pak Oscar. Siang pak..." Gue pucet pasti. "Ini ponakan saya Elina, biasa manggil Mah karena sering pergi sama saya..." Elina sedikit mikir sebelum dia ngeh kalo gue ngomong gitu dia harus membenarkan omongan gue. "Ohh muka kalian mirip..." tambah dingin tengkuk gue. "Iya pak, namanya juga keluarga..." Gue senyum kaku. Dia gak jawab cuma meneliti muka gue sama Elina bikin gue tambah grogi. "Kasih salam sama Pak Oscar, El, boss ma....ehh tante di kantor." Astaga gue yang kelepasan 'Ma' sekarang. Ya ampun. "Siang Om...Saya Elina." Dia mengangsurkan tangannya untuk bersalaman. Pak Oscar langsung senyum dan ngebungkuk, dia kasih senyumnya yang jarang itu sama Elina. "Siang Elina. Beli buku cerita ya, sini om bayarin sekalian ya." "Eh gak usah pak, beneran gak usah..." "Ga pa pa. Mba sama ini juga tolong..." Sambil mengangsurkan buku Elina. "Pak, ...itu..." "Ga pa pa." Dia ngangkat tangannya. Gue jadi gak bisa ngomong lagi. "Makasih Pak. Elina bilang makasih ama Om Oscar." "Makasih Om." Oscar mengacak rambut Elina sambil senyum. "Sama sama Elina." Dia nyerahin plastik belanjaan bukunya Elina. "Oke kalau gitu. Sampai nanti di kantor." Dia noleh ke Elina. "See you Elina... rajin belajar." Elina memang punya wajah mengemaskan yang bikin semua orang percaya kalau dia semacam model catwalk. Bukan sekali dia tiba-tiba ditawari sesi pemotretan oleh pencari bakat. "Iya Om, makasih." "Panggil apa ke Lita?" Tiba-tiba dia nanya ke Elina. "Mm...ehh ...tante." Elina kegagapan dan pak Oscar senyum kecil. Gue habis. Gue ketahuan! "Kamu sangat manis."Dia tiba-tiba ketawa. Gue udah pucet dia malah ketawa. Dia ketawa depan Elina. Gue aja gak setaon sekali ngeliat dia ketawa. Dia pergi kemudian sambil melambai ke Elina. Dan gue masih diem pucet. Apa gue bakal dipecat besok! Ya Tuhan, kerjaan gue. Please. Jangan bikin gue dipecat. Serius gue bisa tidur semaleman. Mikirin gimana caranya lolos. Apa Pak Oscar bakal permasalahin ini. Tapi tadi dia gak marah atau bersikap sinis. Malah ketawa-ketawa sama Elina. Jadi harusnya gue aman ya...? Dan gue ada satu pengajuan lagi hari ini mesti ketemu dia. Ya Tuhan gue mohon, baru setahun terakhir rasanya lumayan lega. Jangan ambil kerjaan ini lagi dari gue. Masuk kantor dengan gak semangat besoknya. Takut ditanya lagi, tapi walaupun harus memohon sambil nangis gue akan usahain sebisanya. Gak boleh kehilangan kerjaan ini. "Lita..." Tiba-tiba Timmy manggil gue pas di Lobby. "Eh, Tim. Kenapa?" "Yang kemarin sorry..." Gue cuma senyum kecil. "Ga pa pa. Kan udah bilang gak pa pa. Makasi udah ngasih gue 200 lhoo." "Ini sarapan buat lu. Sorry sekali lagi." "Ehh,..." Timmy ngasih McD breakfast ke tangan gue dan ngilang ke depan lift yang hampir penuh sekali lagi dan ngelambai ke gue naik duluan. Well, ya udahlah hemat uang makan siang deh. ----Asli gue deg-degan harus ketemu Pak Oscar buat tandatangan pengajuan kali ini. Mau gak mau plafon diatas 10M harus dia yang tanda tangan, kalo dibawah itu tandatangan wakilnya. Tapi ini harus jalan karena ini kerjaan. "Siang Pak." Gue mencoba biasa aja tapi sebenarnya deg-degan gue parah banget. "Siang Lita, kamu boleh mulai..." Gue mulai dengan ngasih rangkuman dokumen pengajuan profile perusahaan dan bacaan segala ratio depan dia,dan prospek bisnis perusahaan. "Diatas kertas mereka oke. Aturin meeting sama mereka. Tanya Sarah buat waktu meetingnya." Sarah adalah sekertaris Pak Oscar, dia yang pegang jadwal availablenya Boss. "Iya pak. Saya akan atur sama marketingnya..." Selamet gue, berarti dia gak masalah ama yang kemarin. Gue ud berdiri mau keluar. "Umur berapa..." Beku ditempat, harus duduk lagi dan ngeliat balik ke pak Oscar. Dia masih ngeliatin dokumen matanya. Maksudnya dia nanya umur Elina? "Maksud Bapak umur ponakan saya?" Masih mencoba menghindar. Sekarang dia ngeliat ke gue. "Ponakan?" Satu kata itu cukup membuat gue takut. Gak ada kesempatan buat ngebohongin dia. "Pak, please saya mohon jangan pecat saya. Saya melakukan semuanya buat pekerjaan yang sekarang. Kerjaan saya sangat berarti buat saya..." Alisnya langsung naik dan dia ngeringis kecil. "Yang bilang saya mau mecat kamu siapa, saya cuma nanya umur ... 'ponakan kamu'." Gue diem sekarang. Gue pasti terlihat b**o karena coba ngebohongin dia. "Delapan pak,..." Jawab dengan nada rendah. "Ohh, kelas dua SD ya... Anaknya cantik sekali." Diem, gue gak tahu mau jawab apa. "Kamu melakukan pekerjaan dengan sangat baik disini. Bahkan senior analyst termuda disini. Saya gak mecat orang dengan alasan gak jelas...". Oke, jadi gue gak akan dipecat, gue ngehela napas lega. "Dimana ayahnya?" Pertanyaan selanjutnya masih berlanjut ternyata. "Meninggal." Jawaban yang sama yang gue berikan jika Elina bertanya dimana Ayahnya. Kondisi yang sebenarnya terlalu sulit dijelaskan. "Hmm... sejak umur berapa." "Maksudnya Pak?" "Suami kamu meninggal sejak Alina umur berapa?" "Sejak dia belum lahir." Jawaban gue cepet, tanpa perasaan. Tapi pikiran gue melayang ke masa-masa terberat dalam kehidupan gue. Jika bukan Mama dan Papa yang support gue, mungkin Alina gak akan ada sampai sekarang. Sekarang gue bersyukur tapi melupakan dan memaafkan adalah hal yang sulit. Gue ngeliat dokumen yang gue pegang dan menghela napas panjang. "Saya single mother, saya minta maaf kerena untuk mendapatkan perkerjaan ini saya harus berbohong saya single awalnya." Lebih baik gue ngaku aja, bohong depan boss gue yang punya pengamatan setara detektif Sherlock Holmes adalah hal mustahil. "Saya tidak pernah permasalahkan status. Lagipula senior analyst yang lain rata-rata memang sudah berkeluarga. Saya appreciates pencapaian kamu, kadang saya nanya motivasi kamu bekerja begitu keras, karena wanita single biasanya punya ... tujuan yang berbeda, tapi sekarang saya tahu." Maksudnya wanita single punya tujuan yang berbeda. Single 33?! Tujuan yang berbeda? Ohh dapetin suami? Hahaha itu hal terakhir yang akan terjadi di hidup gue ... Mustahil. Suami, berarti penambahan masalah. "Terima kasih Pak." Gue makasih karena gue gak dipecat. Tapi selanjutnya gue takut dia kepo lagi nanyanya meninggal gara-gara apa. Dia pasti bukan Elina yang menerima semua penjelasan gue tanpa bertanya lebih lanjut. Please jangan lanjutin ini. Gue harus keluar dari sini. "Pak saya masih ada kerjaan. Saya boleh pergi?!" "Iya." Satu kalimat pendek itu cukup bikin gue segera ngilang dari depannya langsung. Selamet, kerjaan gue selamet... Elina.Jangan kuatir, Mama masih bisa terus jadi Ibu peri kamu. ----Pak Oscar itu mukanya lebih cocok jadi boss pimpinan mafia. Atau penyelidik kaya film-film CSI, karena dia terlalu tenang, terlalu dingin pembawaannya. Gak ada yang berani ngedeketin dia. Even cewe paling centil pun ngeper ngadepin dia karena pembawaannya. Kurasa dia sengaja menciptakan image itu, seperti gue menciptakan image Ratu Es membosankan gue. Dalam pertemuan dengan klien pun seperti itu. Gak pernah ngomong sampain ngakak kaya tipe-tipe luwes marketer ngobrol. Tapi gue perhatiin setiap dia nanya atau mengarahkan pertanyaan ada sesuatu yang dia dapet. Gue mungkin terlatih dalam analisa angka, tapi dia bisa baca angka plus manusia yang menghasilkan angka itu. Mungkin dia pernah ikut semacam kelas criminology di univ-nya dulu sehingga dia bisa kemampuan kaya gitu. Bohong depan dia adalah mustahil karena dia bisa menangkap tanda tanda kebohongan. Mungkin satu-satunya cara menghindar dari pengamatan dia adalah tidak bertemu dengan dia dan tentu saja tidak membuat masalah dengan managing Director. Tapi entah takdir apa yang membawa kami ke perjumpaan selanjutnya. Padahal gue udah lega setengah mati dia gak masalahin status gue. Gue dan Elina punya jadwal belanja di supermarket deket apartment kecil kita. Tiap Sabtu sore kita belanja disana sekaligus jalan-jalan muterin supermarket kadang bisa hampir dua jam. "Mama... itu tuh spagettinya." Elina lari ke rak spagetti didepan sementara gue ngecek list belanjaan gue. "Mah ambil berapa, ..." Elina langsung nanya. "Empat aja..." Anak itu langsung bawa dua spagetti yang dia lempar begitu dekat ke keranjang belanjaan dan dengan heboh bawa dua balik lagi bawa dua kurangannya. Heboh pokoknya, dia merasa berguna bisa membantu Mamanya ceritanya. "Mahhh jangan lupa kejunya mah. Kata Bibi kejunya udah abis." "Hmm... iya." Dia narik keranjang belanjaan. Ada beberapa email dan pesan dari kerjaan masuk gue baca sementara gue dorong dan dia ngarahin keranjang ke rak bagian keju. Dia hafal tempat ini karena keseringan pergi. "Om Oscar! Hallo... Om belanja juga yah." Dan kalimat riang Elina langsung membuat kepala gue beralih dari ponsel. Pak Oscar dengan baju kaos dan celana jeans. "Hai Elina, anak pinter, kita ketemu lagi ternyata..." "Lagi bantuin Mama belanja Om." Dia mikir sebelum sadar harusnya dia bilang Tante. "...maksudnya Tante." Gue pengen masukkin kepala gue ke tempurung kura-kura sekarang. Tapi Pak Oscar langsung senyum lebar. "Yang ngajarin kamu bohong siapa?" "Mama." Dengan polosnya dia nunjuk gue yang udah spechless diem aja sebagai tersangka utama. "Tadi ngomongnya Tante, terus bilangnya Mama... Jadi yang bener mana. Gak boleh bohong, anak baik gak boleh bohong." Percakapan itu berlanjut dengan Pak Oscar berjongkok didepan Elina. "Mama." Dia ngaku dengan polos. "Nah. Bener begitu. Kemarin bukunya bagus ceritanya?" "Bagus Om. Ceritanya kuda poni yang mencari harta karun sama satunya naga kesatria ...." Dan mulailah dia bercerita dengan comelnya tentang buku ceritanya itu panjang lebar, dan pak Oscar senyum lebar sambil angguk-angguk dengerin ceritanya yang sangat bersemangat itu. Dan kali ini gue ngeliat ekspresi dia yang lain. Ekspresi terpesona dan kagum denger anak kecil bercerita. Semua kesan dingin dan sangarnya ilang. Tinggal senyum kagum melihat seorang anak gadis kecil yang bercerita soal dunia impiannya. "Bagaimana kalau kita beli buku di rak sana sementara Mama belanja sebagai reward kamu udah gak bohong lagi.... Om udah selesai belanja. Mau kan? Terus nanti om traktir makan pizza." "Mau Om, mau ... Mama juga mau ngajak makan pizza nanti, yah mah? Mah boleh kan mah?" Anak itu langsung minta izin gue dengan mata puppy eyesnya. Gue diem gak jawab. Gue gak enak sama Pak Oscar beneran sementara Elina goyangin tangan gue minta izin. "Mama bilang boleh, ayo kita beli buku. Raknya disana..." Pak Oscar langsung ngasih tangannya buat digandeng tangannya sama Elina dan anak itu dengan polosnya langsung ngasih tangannya juga. "Saya ke rak sebelah sana sama El, nanti kamu udah selesai susul aja kita kesana." Bahkan dia manggil dengan sebutan El. "Tapi Pak..." Gue takut dipecat jadiin boss gue baby sitter Elina tentu saja. "Ayoo..." Langsung ngajak lari. Gue cuma bisa benggong lihat mereka yang udah ilang dibelokan rak. Astaga...Boss gue jadi baby sitter Elina. Plus mau traktir makan Alina. Kenapa dia ramah banget ama Elina, sama gue aja gak pernah senyum. Ini akan kacau kedepannya.Gue mesti bayarin baby sitter Elina makan pizza sebagai rasa terima kasih abis ini. Ehhh?! Baby sitter? Kenapa gue rasanya mau ngakak sekarang.... Vote tetep kumpulin di BATTLEFIELD of Love sanpai tanggal 30 Sept temen-temen Makasih yaaaNext jam 6WIB tiap sore. Serius gue bisa tidur semaleman. Mikirin gimana caranya lolos. Apa Pak Oscar bakal permasalahin ini. Tapi tadi dia gak marah atau bersikap sinis. Malah ketawa-ketawa sama Elina. Jadi harusnya gue aman ya...? Dan gue ada satu pengajuan lagi hari ini mesti ketemu dia. Ya Tuhan gue mohon, baru setahun terakhir rasanya lumayan lega. Jangan ambil kerjaan ini lagi dari gue. Masuk kantor dengan gak semangat besoknya. Takut ditanya lagi, tapi walaupun harus memohon sambil nangis gue akan usahain sebisanya. Gak boleh kehilangan kerjaan ini. "Lita..." Tiba-tiba Timmy manggil gue pas di Lobby. "Eh, Tim. Kenapa?" "Yang kemarin sorry..." Gue cuma senyum kecil. "Ga pa pa. Kan udah bilang gak pa pa. Makasi udah ngasih gue 200 lhoo." "Ini sarapan buat lu. Sorry sekali lagi." "Ehh,..." Timmy ngasih McD breakfast ke tangan gue dan ngilang ke depan lift yang hampir penuh sekali lagi dan ngelambai ke gue naik duluan. Well, ya udahlah hemat uang makan siang deh. ---- Asli gue deg-degan harus ketemu Pak Oscar buat tandatangan pengajuan kali ini. Mau gak mau plafon diatas 10M harus dia yang tanda tangan, kalo dibawah itu tandatangan wakilnya. Tapi ini harus jalan karena ini kerjaan. "Siang Pak." Gue mencoba biasa aja tapi sebenarnya deg-degan gue parah banget. "Siang Lita, kamu boleh mulai..." Gue mulai dengan ngasih rangkuman dokumen pengajuan profile perusahaan dan bacaan segala ratio depan dia, dan prospek bisnis perusahaan. "Diatas kertas mereka oke. Aturin meeting sama mereka. Tanya Sarah buat waktu meetingnya." Sarah adalah sekertaris Pak Oscar, dia yang pegang jadwal availablenya Boss. "Iya pak. Saya akan atur sama marketingnya..." Selamet gue, berarti dia gak masalah ama yang kemarin. Gue ud berdiri mau keluar. "Umur berapa..." Beku ditempat, harus duduk lagi dan ngeliat balik ke pak Oscar. Dia masih ngeliatin dokumen matanya. Maksudnya dia nanya umur Elina? "Maksud Bapak umur ponakan saya?" Masih mencoba menghindar. Sekarang dia ngeliat ke gue. "Ponakan?" Satu kata itu cukup membuat gue takut. Gak ada kesempatan buat ngebohongin dia. "Pak, please saya mohon jangan pecat saya. Saya melakukan semuanya buat pekerjaan yang sekarang. Kerjaan saya sangat berarti buat saya..." Alisnya langsung naik dan dia ngeringis kecil. "Yang bilang saya mau mecat kamu siapa, saya cuma nanya umur ... 'ponakan kamu'." Gue diem sekarang. Gue pasti terlihat b**o karena coba ngebohongin dia. "Delapan pak,..." Jawab dengan nada rendah. "Ohh, kelas dua SD ya... Anaknya cantik sekali." Diem, gue gak tahu mau jawab apa. "Kamu melakukan pekerjaan dengan sangat baik disini. Bahkan senior analyst termuda disini. Saya gak mecat orang dengan alasan gak jelas...". Oke, jadi gue gak akan dipecat, gue ngehela napas lega. "Dimana ayahnya?" Pertanyaan selanjutnya masih berlanjut ternyata. "Meninggal." Jawaban yang sama yang gue berikan jika Elina bertanya dimana Ayahnya. Kondisi yang sebenarnya terlalu sulit dijelaskan. "Hmm... sejak umur berapa." "Maksudnya Pak?" "Suami kamu meninggal sejak Alina umur berapa?" "Sejak dia belum lahir." Jawaban gue cepet, tanpa perasaan. Tapi pikiran gue melayang ke masa-masa terberat dalam kehidupan gue. Jika bukan Mama dan Papa yang support gue, mungkin Alina gak akan ada sampai sekarang. Sekarang gue bersyukur tapi melupakan dan memaafkan adalah hal yang sulit. Gue ngeliat dokumen yang gue pegang dan menghela napas panjang. "Saya single mother, saya minta maaf kerena untuk mendapatkan perkerjaan ini saya harus berbohong saya single awalnya." Lebih baik gue ngaku aja, bohong depan boss gue yang punya pengamatan setara detektif Sherlock Holmes adalah hal mustahil. "Saya tidak pernah permasalahkan status. Lagipula senior analyst yang lain rata-rata memang sudah berkeluarga. Saya appreciates pencapaian kamu, kadang saya nanya motivasi kamu bekerja begitu keras, karena wanita single biasanya punya ... tujuan yang berbeda, tapi sekarang saya tahu." Maksudnya wanita single punya tujuan yang berbeda. Single 33?! Tujuan yang berbeda? Ohh dapetin suami? Hahaha itu hal terakhir yang akan terjadi di hidup gue ... Mustahil. Suami, berarti penambahan masalah. "Terima kasih Pak." Gue makasih karena gue gak dipecat. Tapi selanjutnya gue takut dia kepo lagi nanyanya meninggal gara-gara apa. Dia pasti bukan Elina yang menerima semua penjelasan gue tanpa bertanya lebih lanjut. Please jangan lanjutin ini. Gue harus keluar dari sini. "Pak saya masih ada kerjaan. Saya boleh pergi?!" "Iya." Satu kalimat pendek itu cukup bikin gue segera ngilang dari depannya langsung. Selamet, kerjaan gue selamet... Elina. Jangan kuatir, Mama masih bisa terus jadi Ibu peri kamu. ---- Pak Oscar itu mukanya lebih cocok jadi boss pimpinan mafia. Atau penyelidik kaya film-film CSI, karena dia terlalu tenang, terlalu dingin pembawaannya. Gak ada yang berani ngedeketin dia. Even cewe paling centil pun ngeper ngadepin dia karena pembawaannya. Kurasa dia sengaja menciptakan image itu, seperti gue menciptakan image Ratu Es membosankan gue. Dalam pertemuan dengan klien pun seperti itu. Gak pernah ngomong sampain ngakak kaya tipe-tipe luwes marketer ngobrol. Tapi gue perhatiin setiap dia nanya atau mengarahkan pertanyaan ada sesuatu yang dia dapet. Gue mungkin terlatih dalam analisa angka, tapi dia bisa baca angka plus manusia yang menghasilkan angka itu. Mungkin dia pernah ikut semacam kelas criminology di univ-nya dulu sehingga dia bisa kemampuan kaya gitu. Bohong depan dia adalah mustahil karena dia bisa menangkap tanda tanda kebohongan. Mungkin satu-satunya cara menghindar dari pengamatan dia adalah tidak bertemu dengan dia dan tentu saja tidak membuat masalah dengan managing Director. Tapi entah takdir apa yang membawa kami ke perjumpaan selanjutnya. Padahal gue udah lega setengah mati dia gak masalahin status gue. Gue dan Elina punya jadwal belanja di supermarket deket apartment kecil kita. Tiap Sabtu sore kita belanja disana sekaligus jalan-jalan muterin supermarket kadang bisa hampir dua jam. "Mama... itu tuh spagettinya." Elina lari ke rak spagetti didepan sementara gue ngecek list belanjaan gue. "Mah ambil berapa, ..." Elina langsung nanya. "Empat aja..." Anak itu langsung bawa dua spagetti yang dia lempar begitu dekat ke keranjang belanjaan dan dengan heboh bawa dua balik lagi bawa dua kurangannya. Heboh pokoknya, dia merasa berguna bisa membantu Mamanya ceritanya. "Mahhh jangan lupa kejunya mah. Kata Bibi kejunya udah abis." "Hmm... iya." Dia narik keranjang belanjaan. Ada beberapa email dan pesan dari kerjaan masuk gue baca sementara gue dorong dan dia ngarahin keranjang ke rak bagian keju. Dia hafal tempat ini karena keseringan pergi. "Om Oscar! Hallo... Om belanja juga yah." Dan kalimat riang Elina langsung membuat kepala gue beralih dari ponsel. Pak Oscar dengan baju kaos dan celana jeans. "Hai Elina, anak pinter, kita ketemu lagi ternyata..." "Lagi bantuin Mama belanja Om." Dia mikir sebelum sadar harusnya dia bilang Tante. "...maksudnya Tante." Gue pengen masukkin kepala gue ke tempurung kura-kura sekarang. Tapi Pak Oscar langsung senyum lebar. "Yang ngajarin kamu bohong siapa?" "Mama." Dengan polosnya dia nunjuk gue yang udah spechless diem aja sebagai tersangka utama. "Tadi ngomongnya Tante, terus bilangnya Mama... Jadi yang bener mana. Gak boleh bohong, anak baik gak boleh bohong." Percakapan itu berlanjut dengan Pak Oscar berjongkok didepan Elina. "Mama." Dia ngaku dengan polos. "Nah. Bener begitu. Kemarin bukunya bagus ceritanya?" "Bagus Om. Ceritanya kuda poni yang mencari harta karun sama satunya naga kesatria ...." Dan mulailah dia bercerita dengan comelnya tentang buku ceritanya itu panjang lebar, dan pak Oscar senyum lebar sambil angguk-angguk dengerin ceritanya yang sangat bersemangat itu. Dan kali ini gue ngeliat ekspresi dia yang lain. Ekspresi terpesona dan kagum denger anak kecil bercerita. Semua kesan dingin dan sangarnya ilang. Tinggal senyum kagum melihat seorang anak gadis kecil yang bercerita soal dunia impiannya. "Bagaimana kalau kita beli buku di rak sana sementara Mama belanja sebagai reward kamu udah gak bohong lagi.... Om udah selesai belanja. Mau kan? Terus nanti om traktir makan pizza." "Mau Om, mau ... Mama juga mau ngajak makan pizza nanti, yah mah? Mah boleh kan mah?" Anak itu langsung minta izin gue dengan mata puppy eyesnya. Gue diem gak jawab. Gue gak enak sama Pak Oscar beneran sementara Elina goyangin tangan gue minta izin. "Mama bilang boleh, ayo kita beli buku. Raknya disana..." Pak Oscar langsung ngasih tangannya buat digandeng tangannya sama Elina dan anak itu dengan polosnya langsung ngasih tangannya juga. "Saya ke rak sebelah sana sama El, nanti kamu udah selesai susul aja kita kesana." Bahkan dia manggil dengan sebutan El. "Tapi Pak..." Gue takut dipecat jadiin boss gue baby sitter Elina tentu saja. "Ayoo..." Langsung ngajak lari. Gue cuma bisa benggong lihat mereka yang udah ilang dibelokan rak. Astaga... Boss gue jadi baby sitter Elina. Plus mau traktir makan Alina. Kenapa dia ramah banget ama Elina, sama gue aja gak pernah senyum. Ini akan kacau kedepannya. Gue mesti bayarin baby sitter Elina makan pizza sebagai rasa terima kasih abis ini. Ehhh?! Baby sitter? Kenapa gue rasanya mau ngakak sekarang.... Vote tetep kumpulin di BATTLEFIELD of Love sanpai tanggal 30 Sept temen-temen Makasih yaaa Next jam 6WIB tiap sore.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN