Unreachable?!

2188 Kata
•••••••••••••••••••●●●••••••••••••••••• Kita semua pernah membuat kesalahan, punya pergulatan pribadi dan penyesalan tentang masa lalu. Tapi siapa kita bukan ditentukan oleh kesalahan kita, atau pergulatan kita atau seberapa banyak kita menyesali masa lalu. Masa lalu tetaplah masa lalu. Kau bisa bangkit dari semua itu. Berjuang dan bangkitlah untuk mendapatkan semua mimpimu dan jadikan kesalahan dan penyesalan sebagai pelajaran pahit***. •••••••••••••••••••●●●•••••••••••••••••• Bohong jika kau bilang diriku tidak iri melihat sebuah keluarga makan bersama. Ada Ayah, ada Ibu dan ada anak-anak yang bahagia. Bukankah itu impian semua orang. Tapi kemudian sadar bahwa diriku terlalu takut buat bermimpi setelah pernah jatuh terlalu dalam. Setelah seseorang menghancurkan kepercayaanku sampai titik terendah dan yang menarikku kembali ke dunia adalah sebuah senyum dan sebuah tangisan malaikat kecil yang tak berdosa. Sejak itu aku menjadikan malaikat itu pusat kehidupanku, dari mencoba merangkak sampai akhirnya sekarang bisa berjalan tegak kembali. Aku yang harus berterima kasih bahwa dia telah datang ke duniaku dan memberiku tujuan hidup lagi. ●●● Gue dengan cepat nyelesain belanjaan gue dalam kurang dari sepuluh menit dan ngedorong belanjaan gue ke arah rak buku si bagian kanan supermarket. "Cuma boleh pilih dua El." Gue langsung ingetin setelah ngeliat dia begitu banyak naro buku di keranjang, udah empat buku dan masih ada satu di tangannya. "Ga pa-pa, bagus anak kecil hobby baca kan." "Engga pak. Cuma boleh dua setiap beli. Udah janji begitu. Dirumah udah banyak buku cerita. El pilih dua..." "Yah, kata Mama cuma boleh dua sayang. Pilih dua ya..." Malah jelasin Elina dengan suara lucu. Astaga terbang image seremnya entah kemana. Elina kelihatan binggung dengan pilihannya. "Yang ini mau, ada cerita princess ama pangeran. Yang ini cerita naga bagus juga, ini cerita kucing lucu..." Dia mempertimbangkan sambil bersuara. "Princess dan pangerannya gak usah, itu gak bagus. Yang kucing ama naga aja..." Penekanan kalimat gue membuat Pak Oscar ngeliat gue. Tapi biarin aja, gue gak mau anak gue terpengaruh cerita putri dan pangeran. Happily ever after itu bullshit. "Ya udah... Yang dua ini aja ya Ma." "Iya, sini kasih Mama." Tapi diambil sama Pak Oscar. "Om yang udah janji beliin kamu... Ayo kita ke kasir." Pak Oscar ngasih tangannya lagi yang disambut anak itu dengan gembira. Gue jadi heran kenapa anak ini cepat banget akrab sama Pak Oscar. Gara-gara dikasih buku sekali lalu dia bisa percaya gitu sama orang. Sampe rumah nih anak perlu diceramahin. "Duluan Lit,..." Sampai ke kasir yang untungnya gak begitu panjang antriannnya gue ngedorong keranjang belanjaan ke depan. Dan Elina dia masih ngobrol dengan comelnya dengan Pak Oscar dibelakang gue. Ada aja yang diomongin tentang pelajarannya, tentang sekolahnya dan Pak Oscar nampaknya seneng banget nimpalin dia. Kadang malah sampe ketawa ketiwi. Oh my God, kenapa dua orang ini bisa begitu akrabnya. Dan yang satunya ketawa aja gak setaon sekali. Beruang serem ini udah jadi panda baik hati depan Elina sekarang. "Kita makan pizza ya Om, yah Mah?" Sekarang nampaknya Elina udah laper karena ini memang udah sore. "Iya, Pizzanya disana." Dia masih anteng gandeng Pak Oscar, sementara gue ngikutin mereka dari belakang. Ngeliat itu hatiku setengahnya sakit... Andaikan Elina beruntung punya keluarga sempurna. Tapi nasib anak gue kasian banget, dia cuma punya gue. Gak punya Ayah. Walaupun dia punya dua Om yang juga sayang sama dia. Takdir mungkin seperti nasi menjadi bubur di tangan gue. Karena kesalahan gue sendiri. Tapi bukan berarti dia gak punya cinta. Jika Ayahnya tak pernah mengambil tanggung jawab apapun dalam hidupnya, gue akan serahin nyawa gue buat anak gue. Laki-laki gak berguna dalam hidup kami sejak dulu. Kami sampai di restoran Pizza, gue naro keranjang belanjaan di tempat trolley yang disediain. Sementara Pak Oscar mengajak Elina, mencari meja ke waitressnya, yang ternyata langsung dapet gak jauh dari pintu masuk. "Pesen apa El,..." Pak Oscar nanyain anak perempuan yang berbinar melihat makanan kesukaannya itu. "Mah yang biasa ya ..." Gue ngangguk. "Pak pesan apa, pizzanya pesen yang meat lover besar boleh?" "Iya boleh saya biasa pesen yang itu juga disini..." Dia ngebalik menu sebelum nampaknya sudah memutuskan pilihannya. Gue manggil pelayan buat mesen. Masing-masing memesan pizza, salad dan pasta pilihan dan satu macam appetizer. Dan sementara menunggu kami terlibat obrolan soal Elina. Dan Elina gak mau kalah terlibat obrolan. Meja makan itu didominasi celotehannya dan gue kadang cuma bisa geleng-geleng ngeliat comelnya anak gue sendiri. Dia makan dengan lahap sambil gak lupa ngucapin doa makan sebelumnya plus mengajak semua orang berdoa dengan dia. Ditengah makan gue pamit dan menuju meja kasir. Gue ngerasa harus bayar billnya jangan sampai Pak Oscar yang bayarin. "Mbak minta bill meja yg itu. Saya bayar dulu..." "Semua pesanan sudah keluar semua Ibu." "Sudah." Dia ngetik beberapa saat dilayar. "Ngapain kok kesini? Kamu udah mau bayar? Saya yang bayar kok." "Gak usah Pak , Bapak udah bayarin buku El dua kali. Sekarang gantian saya yang bayar..." "El, ya El. Mana ada saya dibayarin staff saya." Kita berdebat depan kasir dan berlomba nyodorin kartu. "Gak usah pak. Elina tiap kali ngerepotin Bapak..." Gue nyodorin kartu lebih deket. Makasih udah jadi baby sitternya untuk sesaat. "Gak ada saya dibayarin staff saya..." Pak Oscar narik kartu gue dan ngasih kartu dia ke mba nya. "Ehhh gak bisa, pake ini aja mba..." Mba benggong aja ngeliat kita berantem. "Saya bossnya, saya yang bayar Mba. Ambil!" Suara Pak Oscar yang tegas menang. Mba nya gak ngebantah. Kartu dia yang digesek! Gue ngerasa kalah. Rasanya gak enak banget. Sumpah. Walaupun gue ngucapin terima kasih. Tapi gue gak rela dibayarin, rasanya kaya ngehianatin diri gue sendiri. Kenapa bisa rasanya bisa begini? Gue sendiri heran. "Mah, Om kok bayarinnya berantem. Gak ada duitnya ya. Elina masih ada uang jajan Mah. El gak akan minta jajan lagi mah. Gak pa pa kalo Mama gak ada uang..." Pak Oscar nampaknya kaget ngedenger kalimat yang diucapin El, dia ngeliat El dan gue gantian, hingga gue jadi gak enak. Perkataan Elina itu dulu karena sebelum gue mencapai posisi Senior Analist, pengeluaran dan pemasukan gue ketat. Pas-pasan dengan semua pengeluaran dan nyisihin dengan sedikit tabungan. Gue kasih pengertian ke dia gak usah banyak jajan gak perlu, dia anak yang baik mau ngertiin gue. Baru setahunan ini gue leluasa ngatur keuangan. Jadi lu bayangin gak bisa tidurnya gue karena takut dipecat. Takut Mama dan Papa harus nopang kita lagi dan bikin pikiran mereka. "Bukan. Mama ada uang. Mama pengen bayarin Om Oscar gantian karena dia bayarin buku kamu." "Oh gitu. Om gantian aja bayarnya. Mama ada uang kok." "Gak usah uang Om lebih banyak dari Mama kamu. Om bossnya mama kamu, masa karyawan bayarin bossnya makan. Harusnya boss bayarin karyawannya." Pak Oscar menjelaskan ke Elina yang membuat alis anak itu berkerut. "Ohh kalo boss itu selalu lebih banyak uangnya ya Om." "Iya selalu jadi gak usah nyusahin Mama kamu bayar." Gue diem aja masih gak rela dibayarin. "Ohhh gitu." Elina ngangguk-ngangguk kemudian nanya lagi. "Kaya cerita pangeran dan putri ya Om disekolahan ada buku ceritanya... Pangerannya banyak uang dan emas. Terus putrinya miskin, terus pangerannya ngasih ke putrinya ..." "Itu cerita bohong. Buktinya mama gak pernah minta ke pangeran manapun. Siapa yang ngasih kamu uang jajan. Putrinya itu males gak kerja kaya mama jadinya dia gak ada uang. Kalo putrinya rajin seperti mama apapun dia bisa beli. Kamu ngerti minta sama itu gak boleh, itu kaya pengemis disamping jalan.... Jangan pernah minta-minta." "Ohhh gitu putrinya males kerja. Ntar gede El mau kerja yang rajin kaya mama juga biar bisa punya uang banyak Mah, biar Mama gak udah kerja cape lagi..." "Iya El pasti ntar banyak uang kaya Mama. Pangeran dan putri itu cerita bohong, ingat itu...." Gue terharu atas ucapan El dan Pak Oscar cuma diem ngeliat kita. "Makasih pak, kami banyak merepotkan Bapak." Akhirnya kami pamit dengan Pak Oscar dimuka restoran. "Mau saya antar, saya bawa kendaraan." "Gak usah pak. Didepan banyak taxi rumah kami dekat. Sekali lagi terima kasih. El bilang apa..." "Om makasih." "Iya sama-sama. Hati-hati di jalan. Dah El..." "Mari pak." Gua bawa trolley gue sama-sama El. "Om Oscar baik ya Ma." Dia nanya setelah kami menjauh. "Iya baik. Tapi lain kali ketemu gak boleh nerima apapun lagi dari Om Oscar . Malu, minta ke Mama aja, nanti kita disamain sama pengemis. Ngerti..." "Iya Mah... Lain kali gak boleh minta lagi..." Akhir hari ini entah kenapa terasa sedih. Mungkin karena hidup gak selamanya diatas, ada kalanya kita juga merasa sedikit down. Itu manusiawi... Yang penting kau harus selalu bisa bangkit untuk anakmu. Tidak ada kata menyerah buat kami seorang Ibu. Kami adalah kesatria dan sekaligus Ibu Peri anak kami. Karena pengeran terlalu pengecut untuk jadi kesatria. Seminggu setelah kejadian itu. Gue harus ngasih laporan pengawasan kredit bulanan divisi 6 ke Managing Director. Biasanya ini juga diskusi tentang evaluasi pencapaian para marketer di divisi yang kita awasi. "Oke, bulanan ini nampaknya gak ada masalah untuk divisi 6." "Iya pak, beres semua." Laporan gue selesai. "El gimana kabarnya." "Baik pak, bukunya udah diselesaikan sama dia." Gue senyum inget seriusnya dia kalo baca buku. "Ohh ya kemarin saya ada lewat toko buku, saya beli lagi buat dia." Dia ambil sebuah kantor belanjaan dan kasih ke gue, ada tiga buku disana. Gue yang jadi gak enak dia ngasih El buku terus. "Makasih pak, tapi lain kali gak usah. Dia udah banyak buku. Ngerepotin Bapak juga..." "Ga pa pa, itu hadiah. Anaknya juga pinter banget. Celotehannya nomor satu.." Sekarang dia senyum, mungkin kelemahan satu-satunya dia adalah anak kecil. "Haha, makanya cepetan punya sendiri pak." Senyumnya ilang dan gue tahu gue udah salah becanda sekarang. "Maaf pak saya gak bermaksud..." "Ga pa pa." Dia narik garis bibirnya. "Gak ada buku cerita pangeran dan putri disana." Dia balik nyindir yang kemarin ya. "Makasih pak..." "Kenapa dengan pangeran dan putri? Itu cerita biasa untuk anak kecil." Gue gak jawab sebentar, gak tau gimana jawabnya sebenarnya. "Karena saya bukan putri dan saya gak mempercayai pangeran. Mungkin sesederhana itu." Gue jawab sambil nunduk, sebenernya gue pengen keluar segera dari sini. Mau kabur dengan alasan masih banyak kerjaan. "Kamu tampaknya menyamakan semua orang..." Gak jadi kabur. "Lebih baik tak berharap dengan manusia dan berdiri sendiri." Tanpa emosi, karena sudah lama berusaha tak emosi dengan pertanyaan semacam ini. "Pangerannya belum meninggal bukan..." Pertanyaan berikutnya membuat kita bertatapan lama. "Belum, tapi didunia kami dia sudah meninggal. Dikremasi, debunya pun gak tersisa..." Pahit, tapi itulah yang terjadi. "Bukannya dia berhak tahu..." "Jika dia tahu pun itu akan jadi luka. Jadi lebih baik dia tahu pangerannya sudah meninggal." Gue ngehela napas buat pembicaraan berat ini. Bahkan orang tua gue pun gak pernah lagi buka pembicaraan tentang ini. "Gak pernah mencari kalian?" Masih penasaran. "Saya sebenarnya gak perduli dia cari atau engga. Karena dia sudah mati jauh sebelumnya. Saya bertarung sendiri sejak detik pertama kelahiran El. Jadi tak usah bawa nama dia lagi selama saya hidup itu lebih baik..." Sekarang gue emosi. "Saya masih ada kerjaan Pak. Saya keluar dulu." Pak Oscar hanya menggangguk kemudian. Gue bergegas keluar, pembicaraan ini membuat sesak. Sesuatu yang gak seharusnya gue inget jadi muncul kembali. Gara-gara pertemuan gak sengaja siapa gue terbuka. Dan Boss gue tahu siapa gue sebenarnya. Putri yang terluka, terbuang dan membenci pangeran. Berdikari menjadi kesatria buat diri sendiri dan putri kecilnya. -------- "Bu, Pak Oscar bilang Ibu disuruh ikut ketemu klien baru Jumat jam 2." Sarah sekertaris Pak Oscar tiba-tiba ngasih gue kerjaan yang gak pernah gue handle sebelumnya. "Bukannya yang biasa ikut Pak Firman ya?" "Pak Firman lagi cuti seminggu Bu istrinya sakit. Saya kirim laporan keuangannya untuk analisa Ibu dulu. " "Ohh ya udah. Berapa plafonnya?" "50M Bu." "Ya Oke." Kerjaan tambahan. Biasanya tim gue gak pernah tackle klien khusus Boss. Ya terpaksa karena analyst senior dia cuti. Meeting berjalan lancar karena laporan keuangan mereka bagus. Sudah lewat dari jam lima sore kita baru keluar dari kantor karena ternyata meeting baru dimulai jam dua. Ada empat staff yang ikut. Boss mobil sendiri sementara staff ikut mobil kantor. "Ikut saya pulangnya Lit, kita searah..." Kata-kata Pak Oscar bikin gue binggung. Dia tahu emang dimana gue tinggal ya. Tapi gue ngikut aja masuk ke mobilnya yang udah nunggu di lobby kantor. "Kok sopir Bpk malah gak ikut kita?" "Oh rumahnya deket sini. Saya bawa sendiri. Karena kasian dia harus balik ke tengah Jakarta lagi." "Makan dulu aja mau?" "Ha?" Kaget tiba-tiba diajak makan. "Makan pak? Ga usah saya makan dirumah saja." Serius kalo nolak ajakan makan boss itu ga pa pa kan? Gak berakibat pemecatan atau penurunan jabatan . Gue jadi mau ngeralat lagi antara iya dan engga. Tadi itu otomatis nolak... "Mau nemenin El makan ya." Pertanyaan selanjutnya binggung jawabnya. Karena pas aku pulang El harusnya udah makan. "Mau lihat dia belajar aja,..." "Besok kan libur sekolah." "Ohh iya, ..." Baru ngeh hari ini Jumat. Keliatan banget gue cari-cari alasan ya. "Boleh ajak El makan juga?" "Ga usah pak?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN