"Mio ... kamu nggak mau ikut Mama sama Papa aja ke Bandung? Um ...." Mama terlihat gelisah saat hendak melanjutkan kata-katanya. Ia bingung memilih kata agar tak terkesan terlalu agresif.
Anaknya yang satu ini kan tertutup sekali, kalau di-agresif-in nanti malah risih.
"Enggak, Ma," sela Mio santai, ia berusaha menenangkan mamanya yang sangat kentara sekali raut kekhawatiran di wajahnya. "Mio nggak pa-pa. Lagian ... Mio kan udah mulai KBM, jadi sayang kalo harus izin."
"Tapi ... kamu beneran nggak pa-pa?" tanya mama, mencoba memastikan jawaban Mio. Menilik mata jernih si bungsu.
Mio sendiri sebenarnya tidak yakin akan jawabannya. Mio merasakan sesuatu yang tidak enak yang mungkin akan mendatanginya. Mungkin ... dari Arsen? Ia ingat terakhir kali dirinya ditinggal berdua dengan Arsen, Arsen menginjak tangannya yang saat itu sedang memasang sepatu karena ingin pergi dengan teman SMP-nya, Alan.
Kakaknya itu memang tak pernah tanggung-tanggung dalam menyiksanya.
"Mio?" panggil Mama, ia menyentuh pundak Mio pelan guna menyadarkannya dari lamunan tentang masa lalu. "Gimana?"
"Eng ... k-kalo salah satu dari Mama atau Papa aja yang pergi gimana? Mio ...."
"Nenek kan lagi sakit, Mio. Jadi, Mama sama Papa harus ngejenguk nenek." Muka mama terlihat sedih. "Mending kamu aja yang izin, Mio, nanti Mama bilang ke guru kamu."
Mio menggeleng pelan, wajahnya yang tadinya suram langsung tersenyum cemerlang. Ia berusaha mengenyahkan perasaan negatif yang dari tadi bersarang di kepalanya.
"Nggak jadi deh, Ma. Mio di rumah aja sama Kak Arsen. Nanti titip salam buat nenek, ya. Nanti kalo udah liburan, Mio ke sana."
Arsen yang baru pulang dan mendengar percakapan mama dan Mio pun mendecih, terlalu malas akan sikap perhatian mamanya kepada Mio dan menganggap dirinya adalah psikopat yang akan menghabisi Mio.
Tentu saja firasat mamanya benar, tapi konteksnya berbeda. Arsen bukan psikopat, ia hanya senang melihat Mio kesakitan, itu memberikan kepuasan tersendiri untuknya.
Dan yang kedua, dirinya masih harus berpikir ribuan kali untuk menghabisi Mio, karena ... ya, sudah cukup mamanya tak memperhatikannya lagi, jangan sampai dengan menghabisi Mio membuat dirinya dibenci.
"Udah pulang, Arsen?" tanya mama sambil menoleh ke arah Arsen. "Selamat datang!" Kemudian mama tersenyum dengan sangat manis.
Arsen membeku. Setelah sekian lama ... baru kali ini mamanya kembali menyambutnya dengan senyuman hangat. Ini untuknya, khusus. Bukan untuk Mio.
Arsen yang sadar dari keterkejutannya segera menetralkan wajahnya, mengembalikan wajahnya ke mode datar. "... Ya."
Mama mendekati Arsen, "Kok rambut kamu bisa ada pasirnya gini sih, Sayang?" Mama mengusap rambut Arsen sekalian membersihkan kotoran dari rambut Arsen.
Arsen tertegun. Mamanya mengelus kepalanya dengan hangat, dan panggilan sayang itu ... ia merindukannya.
Sebenarnya mama dari Arsen dan Mio itu sangat sayang dengan keduanya. Hanya saja Arsen yang telah lama menjadi anak semata wayang lantas iri akan kedatangan Mio. Anak itu mengambil separuh dari atensi mamanya dan kalau boleh jujur, ia tak suka berbagi.
"Kenapa, Sen?"
"E-enggak," sahut Arsen kikuk. "Tadi abis main bola sama temen."
Mama tersenyum maklum. "Ya udah, sana mandi! Arsen bau!"
Tanpa aba-aba, Arsen langsung menerjang tubuh mamanya. Mendekapnya dengan erat, pelukan yang terakhir kali ia rasakan adalah sepuluh tahun lalu saat dirinya masih kecil, saat Mio belum merebut perhatian mama sepenuhnya.
Kedatangan Mio-lah yang mengubahnya menjadi seseorang yang kasar nan cuek.
Mama sempat kaget dengan pelukan anak sulungnya, tapi mama sadar bahwa dirinya sudah terlalu lama mengabaikan Arsen, anak kandungnya sendiri.
Mama pun akhirnya balas memeluk tubuh anaknya yang jauh lebih tinggi darinya, baru menyadari jika Arsen tumbuh dengan baik. Tinggi, berdada bidang, berbahu lebar.
Kemudian, mama melepas pelukannya dan menatap Arsen. Arsen sangatlah mirip dengan suaminya di masa muda, sungguh tampan.
"Kok jadi mendadak haru biru gini, sih?" Mama mencoba mencairkan suasana, terkekeh dengan mata berkaca-kacanya.
"Wah, ada apa nih?" Papa Arsen yang baru pulang kerja, lengkap dengan pakaian formalnya memasuki ruang tengah dikejutkan dengan acara mari berpelukan antara si sulung dengan istrinya.
"Ikut, dong!"
Pria yang hampir menyentuh kepala empat itu nyengir, beliau pun berjalan menghampiri keduanya. Berbaur dengan dekapan hangat yang sudah lama pula tak diberikan kepada anak pertamanya.
"Udah, udah. Papa sama Arsen bau matahari, bau keringet dari luar. Ew, mama jadi ikutan bau." Mama mengernyit sok jijik. "Kalian mandi sana!"
Arsen menggeleng, masih enggan melepas pelukan pada kedua orang tuanya. "Arsen kangen Mama sama Papa."
Mio pun yang sedari tadi terdiam di kursi hanya bisa ikut senang, dirinya langsung mengembangkan senyuman penuh arti.
Dirinya sadar diri, ia hanya orang lain di sini. Keluarga bahagia itu tak boleh berbeda hanya karena kedatangannya.
-
Beberapa jam setelah mama berangkat, Arsen masih normal-maksudnya dia tidak melakukan hal yang macam-macam ke Mio.
Tapi sungguh, Mio benar-benar merasakan firasat yang tak enak. Mio mengintip kamar kakaknya yang sedikit terbuka, tapi yang dilihatnya hanya Arsen yang sedang tertidur dengan bertelanjang d**a.
Apakah mungkin setelah bangun nanti Arsen akan melakukan kejahatan lagi pada dirinya? Semakin lama perasaan waswas semakin menghampirinya, menghantui benaknya.
Mio pun ke ruang keluarga, mencoba rileks dengan pikirannya. Ia pun menyalakan TV dan mencari channel berisikan kumpulan kartun kesukaannya.
Mio menikmati film itu hingga ia terlarut dalam film, ia tertawa dengan kencang menyadari tingkah konyol bebek dengan istri bebek berpitanya ....
"Berisik."
... hingga tak menyadari Arsen yang telah terbangun, masih dengan bertelanjang d**a dan ditambah rambut yang acak-acakan. Melewatinya untuk berjalan ke arah dapur guna mengambil air minum.
Mio langsung menutup mulutnya rapat-rapat, ketakutan langsung menyergap pikirannya.
Telepon rumah di samping sofa yang Mio duduki tiba-tiba berbunyi, memecah keheningan yang beberapa detik lalu melingkupi. Mio pun segera mengangkat gagang teleponnya.
"Halo?"
"...."
"A ... pa?"
Brak!
Tubuh Mio seketika melemas, dijatuhkannya gagang telepon yang tadi sempat menempel di telinganya. Mio langsung bersimpuh di depan telepon, tatapannya pun berubah mengosong.
"Apa-apaan sih?! Berisik bang-" Arsen berjalan menghampiri Mio dari arah dapur sambil membawa gelasnya. "Lho, ngapain kamu duduk di situ?"
Mio menoleh dengan wajah pucat pasi, mukanya horor. Arsen yang ditatap begitu langsung mengernyitkan dahinya bingung.
"Kenapa?" tanya Arsen dengan dahi mengernyit bingung.
"Mama sama Papa ... kecelakaan."
Dan terjatuhlah gelas berisikan air dari genggaman Arsen Alvian.
Dengan terburu, anak itu lantas berlari ke kamar untuk mengambil baju secara asal. Tak memedulikan kakinya yang terkena serpihan kaca. Menggores kulit kakinya.
Ia tak peduli, hatinya jauh lebih sakit dari beberapa beling yang ikut menancapi kakinya.
************
Bersambung
************