"MAMA!!!" Arsen menangis paling keras saat melihat mamanya ditutup dengan kain di atas brankar, dirinya meraung sambil memaki siapa pun yang hendak memisahkannya dengan mamanya.
Mio yang berada di belakang Arsen pun hanya bisa menangis pelan, tak berani untuk mendekat melihat sang jasad.
Arsen berteriak, memaki keadaan. Masih tak dapat menerima kenyataan.
"Kalo tau tadi Mama ngasih kasih sayang terakhir buat Arsen ... mendingan Arsen dicuekin Mama selamanya daripada Mama sayang terus Mama tinggalin Arsen!" teriak Arsen sambil menatap mama yang terbujur kaku dengan kulitnya yang kian pucat.
"MAMA JAHAT! MAMA EMANG NGGAK PERNAH SAYANG ARSEN! Huhuhu ...." Arsen memukul ranjang rumah sakit tempat mama berbaring.
"K-Kak ...." Mio memanggil Arsen pelan, saking pelannya Arsen sampai tak mendengarnya. Mio memberanikan diri untuk mendekat dan mengelus pundak kakaknya pelan.
Arsen masih tak menyadari sentuhannya hingga Mio pun meremas pundak Arsen. "Kak Arsen ...."
Arsen menoleh dengan tatapan bengisnya, melihat Mio dengan tatapan kebencian bergelimang air mata.
Mio yang melihatnya begitu pun tercekat. Pasalnya, ia tahu Arsen membencinya, tapi Arsen belum pernah melihatnya dengan wajah yang kentara seperti ini. Mio langsung beringsut mundur, ngeri akan luapan emosi sang kakak.
Dan benar saja. Dngan gerakan tiba-tiba, Arsen menepis tangannya keras hingga tubuh Mio semakin mundur beberapa senti dari tempatnya berdiri tadi.
Arsen mendekati Mio dengan amarahnya, Mio pun mundur menyadari aura gelap yang Arsen pancarkan. "Ini semua gara-gara kamu!"
Mio melotot kaget. Dirinya hendak menjawab, tapi kakaknya itu mendorongnya keras hingga ia terjatuh lantai rumah sakit yang dingin.
Orang-orang di rumah sakit ini hanya melihat mereka tanpa ada niat memisahkannya, beberapa sibuk sendiri dengan keluarganya yang terkena dampak kecelakaan itu juga.
"K-Kak ...," gumam Mio berusaha menyadarkan Arsen.
"Seandainya kamu ikut, mungkin kamu yang mati! Seandainya waktu itu kamu bisa ngeyakinin Mama buat nggak pergi ...," Arsen menggantungkan ucapannya sambil menarik kerah Mio, "mungkin Mama sama Papa nggak bakal mati kayak gini!"
"Mio nggak-AKH!" pekik Mio saat tiba-tiba Arsen memukul pipinya dengan kepalan tangannya, menghajarnya dengan keras.
"GUE BENCI LO, MIO!" Arsen kembali mendaratkan pukulannya di pelipis Mio. Mio hanya bisa pasrah ketika pukulan bertubi-tubi menghampiri wajahnya.
"Berhenti, Dek!" Hingga seorang satpam rumah sakit menarik baju Arsen dengan keras, mengunci gerakan Arsen yang memberontak masih ingin menghajar Mio. Mio menatap kakaknya dari bawah, dirinya terduduk pelan sambil memegang wajahnya yang perih akibat bogeman mentah dari Arsen. Satu-satunya keluarga yang tersisa.
-
"Arsen," panggil seorang perempuan yang umurnya hampir sama dengan mama. Namanya Tante Soraya, adik kandung mama. "Ayo, makan. Jangan begini, Sen," bujuk Tante Soraya pelan, berusaha menyabarkan diri melihat Arsen yang semenjak pemakaman mamanya kemarin hanya terdiam di dalam kamarnya.
Arsen enggan untuk makan, enggan untuk keluar kamar.
"Arsen ...."
"Keluar." Setelah lama terdiam, justru kalimat pengusiran inilah yang keluar dari bibir Arsen. "Jangan ganggu aku, Tante."
"Tapi kamu-"
"Please ...."
"Oke." Tante Soraya pun mengalah, ia tersenyum tipis sambil mengelus puncak kepala Arsen lembut. "Tapi, nanti makan, ya? Tolong jaga kesehatan kamu, Tante nggak mau kamu sakit. Na-nanti mama kamu sedih kalo kamu sakit, Sen." Tante Soraya pun pergi dari kamarnya, menutup pintunya dengan pelan.
Mata Arsen berkaca-kaca mendengar kata 'mama' dari kalimat tantenya tadi. Ia memang sensitif sekali dengan hal yang menyangkut orang tuanya.
Bagaimana tidak? Arsen-lah yang merasa paling terpukul di sini. Ia anak satu-maksudnya anak sulung yang lebih lama tinggal dengan orang tuanya. Juga ... ia baru saja merasakan kembali kasih sayang mama dan papanya, tapi kenapa harus secepat ini mereka pergi dari sini?
Arsen bahkan belum lulus sekolah, belum membuat orang tuanya bangga. Memikirkan hal itu pun membuat Arsen menangis lagi.
-
Mio membuka kamar Arsen pelan, mengintip Arsen dari sela-sela pintu yang ia buka. Arsen tertidur dalam kegelapan, kamarnya pengap dan berantakan tak karuan.
Mungkin ... mungkin kalau ada mama, Arsen tak akan seperti ini karena ... ya, mama benci sesuatu yang kotor dan berantakan, pasti akan dimarahi mama kalau ada hal seperti ini dijumpainya. Ah, Mio hanya bisa tersenyum pahit mengenang mendiang mamanya.
Mio menggelengkan kepalanya, mencoba menghilangkan lamunannya.
Ia pun berjalan mengendap-endap memasuki kamar Arsen, melongok Arsen yang tertidur di balik selimutnya. Ia segera membuka gorden kamar Arsen, sehingga cahaya matahari langsung menerobos jendela, mendatangi kamar sang kakak.
Mio membalikkan tubuhnya cepat.
"AH!" pekik Mio saat melihat Arsen yang tiba-tiba berada tepat di depan wajahnya, melihatnya dengan tatapan datar serta wajah yang pucat. "Kakak ngagetin aku," kata Mio sambil mengelus dadanya pelan.
"Kamu ngapain di sini?"
"M-Mio ...." Ia mengarahkan pandangannya ke arah lain asal bukan ke wajah kakaknya yang tampak mengintimidasinya. Ia masih parno karena sikap kakaknya kemarin.
Mio menunduk dan menyadari sesuatu, dirinya seketika melotot kaget melihat darah yang mengering dari telapak tangan Arsen.
"K-Kakak! T-tangan Kakak berdarah!" pekik Mio menunjuk tangan Arsen, tatapannya berubah horor.
Ia menarik lengan Arsen, melihat luka Arsen dengan khawatir. "Kakak kenapa?"
Tangan Mio yang menyentuh lengan Arsen pun gemetar, pasalnya luka ini lumayan lebar hingga menampilkan daging yang terbuka.
Sang kakak tak mengindahkan kekhawatiran si adik. Ia senang dengan lukanya, setidaknya itu mengurangi luka batinnya.
Arsen menarik tangannya cepat, menilik Mio dengan datar. "Bukan urusan kamu."
Mio menangis sesenggukan. Ia cukup sedih melihat Arsen yang seperti ini. Ia lebih baik dimaki dan dijahati daripada harus bersama dengan diamnya Arsen. Karena seperti kata yang dikutip dari Robert Fulghum, 'Lawan dari cinta bukanlah benci, melainkan sikap tidak peduli'. Maka dari itu ... lebih baik Arsen membencinya daripada mengabaikannya.
Mio melihat Arsen dengan tatapan pilu. "J-jangan sakitin diri Kak Arsen sendiri ... M-Mio ... mending Kakak sakitin Mio aja."
Arsen tertegun melihat Mio, tatapan itu ... ah, ia tak ingin dilemahkan! Maka dari itu, Arsen menahan ekspresi ibanya, tetap mempertahankan poker face-nya. "Keluar."
"Kak Arsen ...."
"Aku bilang keluar, Mio!"
"Tapi ... luka Kakak?"
"Lupain," kata Arsen berusaha menahan kesabarannya yang semakin menipis. "Sekarang kamu keluar. KELUAR!"
Mio berjingkat kaget diteriaki Arsen, air matanya enggan untuk berhenti mengalir. Namun, mau tak mau Mio mundur dengan menunduk dan terisak pelan. Mengeluarkan dirinya dari kamar Arsen.
Arsen mendudukkan diri di ranjangnya, menggusah rambutnya kasar. Tak dipedulikan tangannya yang perih terkena air asin dari peluh dan rambutnya.
Tok! Tok!
Arsen menggeram, merasa jengkel dengan siapa pun yang mengetuk pintunya.
"Pergi, Mio!" teriaknya. Ia yakin itu Mio, karena ia tahu bahwa hanya dirinya dan Mio yang berada di rumah saat ini.
Mio membuka pintu kamar Arsen, menyembulkan kepalanya dari sana. Dirinya berjongkok pelan, menaruh kotak di lantai dalam kamar Arsen tanpa niat untuk masuk sepenuhnya. "T-tolong obati tangan Kakak, Mio nggak mau itu jadi infeksi, Kak."
Mio mendorong kotak itu hingga berada di tepat di bawah kaki Arsen.
Itu ... kotak P3K punya mamanya.
************
Bersambung
************