"K-Kak Arsen?" panggil Mio takut-takut, ia memanggil Arsen dengan suara yang sangat pelan hingga hampir tak terdengar. Namun, karena keheningan yang sedari tadi melanda mereka berdua yang sedang di ruang makan, Arsen pun dapat mendengarkan panggilan untuknya.
"Apa?" respons Arsen tanpa melihat ke arah Mio, ia tetap menyantap makanannya dengan tenang.
"T-tangan Kakak udah ... baikan?" tanya Mio ragu.
Arsen meletakkan sendoknya, "Berhenti sok peduli, Mio," desis Arsen dengan tatapan tajamnya.
Mio enggan bertanya lebih lanjut, dirinya hanya melirik sebentar ke arah tangan kiri kakaknya yang sejak tadi diletakkan di bawah meja—sekarang telah dinaikkan ke atas meja, seolah dibuktikan secara tak langsung—dan tersenyum tipis. Setidaknya Arsen masih mau mendengarnya dengan mengobati luka itu, terbukti dengan telapak dan punggung tangan kirinya yang diperban menggunakan kain kasa. Sekarang Mio bisa sedikit bernapas lega.
"Ng ... Kak?"
"Apa lagi, Mio?"
Mio sebenarnya sangsi ingin menanyakan hal ini, tapi ia sadar bahwa ini harus. "Tentang ... temen-temen Kakak gimana? Kan sekarang ... mereka udah tau kalo aku ... a-aku adiknya Kak Arsen."
Arsen meneguk air putihnya pelan, lalu membantingnm gelasnya dengan keras.
Ia masih ingat saat acara pengajian orang tuanya, teman-temannya dan teman-teman Mio datang. Mereka sempat menatap dua bersaudara ini kaget dan menyiratkan ingin penjelasan.
Tapi mereka tahu, tak mungkin mereka menanyakan hal ini saat Arsen dan Mio masih berkabung. Seketika kepala Arsen pening, pasti orang-orang sekolahnya itu tak akan membuatnya tenang dan menagih sebuah penjelasan sampai mereka mendapat jawaban itu. Arsen berusaha berpikir keras.
Arsen berdiri dari duduknya dengan kasar, ia melengos tanpa menjawab pertanyaan adiknya.
"Aku berangkat," pamitnya tanpa menoleh, enggan menatap wajah Mio si anak sialan.
-
"Sen, kok lo gak bilang ke kita-kita sih kalo lo punya adek?" tanya Bagas, teman Arsen.
Hm ... bahkan Arsen belum ada satu menit menduduki kursinya, tapi beberapa teman pun telah mengerubungi mejanya bak wartawan. Menanyainya seputar kecelakaan orang tuanya, tentang Mio, atau hanya sekadar mengucapkan maaf karena tidak bisa menghadiri acara tahlilan di rumahnya.
"Nggak pa-pa," jawab Arsen dengan nada yang super menyebalkan bagi teman-temannya. yang mana telah lama menunggu jawabannya, namun hanya dijawab dengan jawaban datarnya.
"Ayolah, Sen. Serius nih gue."
"Dia nggak mau gue jadi kakaknya, terus gue harus apa kalo dia yang minta buat nggak bilang ke semua orang?"—Bohong! Tentu saja Arsen berbohong agar tak dicap jelek oleh teman-temannya.
"Tapi gue rasa Mio anak yang baik. Nggak mungkin kalo dia nggak mau ngakuin lo sebagai kakak—ya, walaupun gue kalo jadi adek lo juga bakal ogah ngakuinnya. Lo kan bobrok, Sen." Dewa tiba-tiba nimbrung, sekalian menghina Arsen.
"Apaan sih? Sok kenal banget sama dia," sewot Arsen. "Kan gue yang kakaknya. Image dia di sekolah sama image dia di rumah itu beda. Jangan ketipu lo!"
"Elo kali yang begitu! Mio jangan-jangan lo bully mulu, ye? Makanya ogah ngakuin kakak tapir kayak lo!" sahut Bagas dengan tawa gelinya.
"Bangke lo!" umpat Arsen tak terima, tapi akhirnya tertawa juga.
Karena bagaimanapun, topik ini yang telah menyeret semuanya untuk berhenti membicarakan hubungan kakak beradik antara dirinya dan Mio.
Ia membenci mengakui Mio sebagai adiknya. Tak sudi.
-
"Kamu ngapain di kamar aku?"
Mio tersentak, badannya seketika menegang ketika mendengar pertanyaan berlumuran nada tajam dari Arsen yang tiba-tiba memasuki kamar Arsen sendiri.
"Mio ...." Mendadak lidah Mio kelu. Awalnya ia memasuki kamar Arsen untuk meminjam satu dari beberapa album foto orang tuanya.
Jujur saja, meskipun sikap Mio tak seheboh Arsen saat mengetahui orang tuanya meninggal, tapi ... tetap saja Mio juga merindukan mereka.
Arsen mendekati Mio dengan tenang, diliriknya album foto masa muda orang tuanya yang berada di genggaman tangan Mio dengan tajam.
"Ngapain kamu di sini?" tanyanya lagi.
"M-Mio ... mau liat album mama sama papa, Mio k-kangen sama mereka, Kak."
Tanpa diduga-duga, Arsen menarik buku itu hingga terlepas dari tangan Mio, menariknya dengan sangat kasar. Matanya menatap Mio nyalang, seolah marah kepemilikannya diambil tanpa izin.
"K-Kak ...?"
"Nggak boleh. K-kamu bukan siapa-siapa mereka." Seketika Mio merasakan sakit tepat mengenai dadanya saat mendengar ucapan itu dari Arsen.
"Ta-tapi ...."
Arsen mendorong Mio secara kasar hingga Mio jatuh terduduk di lantai. Arsen pun berjongkok, matanya mengintimidasi Mio, tangannya pun menarik kerah seragam Mio dengan kencang sehingga Mio menatapnya dengan ekspresi kesakitan karena kerahnya ditarik paksa, pun ia merasakan lehernya tak diberi celah untuk sekadar mengambil napas.
"K-Kak ... lepash ...," rintih Mio.
"Berhenti menganggap diri kamu adik aku, berhenti nganggap kalo kamu adalah bagian dari keluarga ini. Kamu ... bukan siapa-siapa." Tangan Arsen beralih menuju kepala belakang Mio, menjambaknya dengan kencang hingga Mio meringis menderita.
"Kamu denger, Mio? Kamu ... cuma sampah yang pernah dipungut sama mama papaku. Dan kamu harus tau kalo aku benci kamu, selamanya!" Arsen menekankan tiap katanya di samping telinga Mio, membisikinya dengan sangat jahat.
Mio lagi-lagi hanya bisa menangis. "K-kenapa, Kak ...? Kenapa Kakak benci aku?"
Arsen meradang diberi pertanyaan seperti itu. Kesabarannya langsung berada di titik terendah mendengar pertanyaan super bodoh yang bahkan ia yakin kalau Mio pun mengetahui jawabannya.
"KENAPA KATA KAMU?" Arsen melepaskan tangannya dengan kasar, membanting kepala Mio ke bawah hingga membentur lantai. Membuat Mio langsung diserang pusing, pun merasakan rembesan sesuatu di kepalanya.
Tak cukup sampai di situ, Arsen bahkan telah memberikan kepalan tangannya pada tubuh Mio, memberikan pukulan bertubi-tubi dengan Mio yang pasrah di bawahnya dengan menahan kesakitan yang mendera beberapa bagian tubuhnya.
"KAMU NGEREBUT SEMUANYA! KAMU ... HARUSNYA KAMU YANG MATI! MATI KAMU, MIO! MATI!"
"Astaga, Arsen! Stop!" Sayup-sayup terdengar suara Tante Soraya mencoba menyadarkan Arsen, tapi Arsen seolah tuli ... ia tetap melanjutkan pukulannya terus menerus.
Mio terisak pasrah, menerima setiap pukulan yang terasa sangat pantas untuk dirinya.
Kesakitan itu terus mendera sampai ia merasakan bahwa pandangannya kian menggelap.
************
Bersambung
************