"Arsen, mulai sekarang kamu tinggal sama Tante Fira," kata Tante Soraya pada akhirnya setelah beberapa lama menasihati Arsen. Tante Fira sendiri adalah kakak kandung dari papa Arsen.
Arsen menatap Tante Soraya tajam. "Enggak, aku bakalan tetep di sini. Tinggal di rumah ini apa pun yang terjadi."
"Enggak ada yang ngawasin kalian kalo kalian tetep di sini—terutama kamu, Arsen."
"Ngawasin apa?" Arsen bertanya dengan mimik menantang, "Aku baik-baik aja, kok. Kalo yang Tante takutin aku bakal nyakitin Mio ... bawa aja Mio sama kalian. Aku nggak apa-apa, kok."
"MIO MAU SAMA KAKAK!" teriak Mio, tubuhnya bergetar pelan antara takut dan ingin melawan.
Mata Tante Soraya membulat kaget saat melihat Mio yang telah tersadar dari pingsannya tadi, "Mio, kamu udah bangun, Nak?"
Mio mengangguk, kemudian berujar pelan, "M-Mio ... mau di sini sama Kak Arsen, di rumah ini ... rumah Mama sama Papa." Mio menatap Arsen dengan sedih, semakin terlihat menyedihkan dengan perban di kepalanya.
Ternyata benar, rembesan yang berada di belakang kepalanya adalah darah yang mengucur akibat benturan keras pada lantai di kamar Arsen tadi.
Arsen tertegun. Kemudian memalingkan wajahnya, memutuskan kontak mata dari sepasang mata jernih sang adik yang tak disukainya.
"Tapi, Mio ...." Tante Soraya terlihat resah, serba salah dengan Mio. Ia ingin membantu, tapi Mio enggan dibantu.
Mio mengangguk yakin, "Mio nggak apa-apa. Mio ... bakalan nemenin Kak Arsen di sini."
Entah sadar atau tidak, Mio telah memasukkan dirinya sendiri ke dalam kandang singa, seolah siap untuk diterkam. Meskipun sang singa bahkan mungkin tak ada niatan untuk memangsanya.
-
"Kenapa kamu nggak ikut sama Tante Soraya aja? Atau sama Tante Fira gitu?" Arsen bertanya setelah beberapa lama hanya keheningan yang melanda selama makan malam mereka.
Mio menunduk, "Aku ... pengen sama Kakak."
"Kenapa ... kamu pengen sama aku?" tanya Arsen lagi.
"S-soalnya ... c-cuma Kakak keluarga yang aku punya selain m-mama sama papa." Mio menundukkan kepalanya semakin dalam, menahan napasnya saat mendengar suara kursi yang bergeser. Mio tahu, kemungkinan besar Arsen akan murka lagi terhadap dirinya setiap kali ia membawa kata keluarga maupun mama dan papa.
"Lihat sini, Mio," ucap Arsen datar, sedangkan Mio masih terdiam. "Kalo orang ngomong, lihat muka orangnya, Mio." Mio terpaksa mendongakkan kepalanya pelan, menatap wajah kakaknya yang ternyata memasang ekspresi yang berarti.
Mio menutup matanya, meringis takut saat melihat Arsen memajukan tangannya. Ia bersiap-siap menerima apa pun yang akan dilakukan Arsen dengan tangannya itu. Tapi, bukannya pukulan, tamparan, atau jambakan. Mio justru merasakan usapan lembut di rambut hitamnya meskipun hanya sepersekian detik. Tepat saat Mio membuka matanya, Arsen telah pergi menuju kamarnya. Meninggalkan Mio dengan kebingungan yang mendera.
-
Pagi itu, seolah tak terjadi apa-apa, Arsen hendak berangkat ke sekolah terlebih dahulu daripada Mio. Meninggalkan Mio yang sedang melahap sarapannya. Mio sendiri hanya dapat mengekori tiap gerakan Arsen dengan matanya, membiarkan Arsen terdiam sambil berjalan di depan mata.
"Aku berangkat," pamit Arsen. "Jangan lupa kunci pintunya nanti," pesannya.
Mio menangguk patuh sambil mengunyah roti di tangannya. Mio cukup senang pada kenyataan bahwa Arsen telah sedikit demi sedikit berubah. Sedikit berbaik hati padanya, entah karena apa. Lagi-lagi Mio tersenyum, hatinya menghangat saat melihat s**u vanila yang agak keenceran di depannya ini. Itu s**u buatan Arsen, kakaknya. Bagaimana bisa ia tak senang?
Tapi, ia kembali menunduk. Bisa saja ini hanya sebuah kesemuan. Dan bisa saja kakaknya sedang mempersiapkan hal lain yang mungkin ... dapat lebih-lebih menyakitinya?
Anak itu menggelengkan kepalanya pelan, berusaha mengenyahkan pikiran negatif yang menyerang.
-
"Kak Arsen!" panggil Mio sambil melongokkan kepalanya dari pintu kelas yang terbuka, membuat Mio lantas menjadi pusat perhatian. Beberapa gadis di sana bahkan menjerit melihat betapa imutnya wajah anak kelas satu itu.
Arsen menaikkan satu alisnya tak senang. Jujur saja, ia mungkin sedikit lebih lunak pada Mio. Tapi kalau untuk bersikap lunak di sekolah, rasanya ini terlalu tiba-tiba.
"Kenapa?" tanya Arsen dingin sesampainya lelaki itu di hadapan Mio.
"Eh?" Mio langsung linglung mendengar ekspresi dan nada bicara kakak satu-satunya itu. "Mio ... mau nyampein kalo Tante Fira udah pulang. Lusa baru Tante Fira dateng lagi."
"Udah tau," ketus Arsen sebagai responsnya. Toh, tantenya itu sudah mengirimkan pesan melalui ponselnya—pun serentetan wejangan yang membuatnya jengah.
"O-oh, iya ...," Mio menjadi kikuk. "K-kalo gitu ... Mio ke kelas dulu, ya?"
"Hm," gumam yang lebih tua. Tapi, setelahnya Arsen memajukan wajahnya guna berbisik pelan. "Jangan sok akrab kalo di sekolah. Aku nggak mau kita keliatan deket."
Lalu, seolah tak terjadi apa-apa, Arsen mengacak-acak surai adiknya dengan telapak tangan besarnya. Bagaikan elaki itu menyayangi sang adik. Padahal ....
Si pendek mengangguk kaku. Heran dengan sikap sang kakak yang berubah-ubah. Mata itu sedikit berkaca-kaca menatap Arsen setelah bisikan itu.
Ia akui, dirinya memang cengeng sekali.
"Iya, Mio minta maaf kalo ganggu Kak Arsen. Mio ... pergi dulu, dah!"
Anak itu langsung berjalan pelan, meninggalkan sang kakak yang hanya menatap punggungnya datar.
"Lo apain Mio?" tanya Dewa yang tiba-tiba berada di samping Arsen.
Arsen hanya menaikkan kedua bahunya masa bodoh. Dewa memang tipe orang yang sangat peka, tapi bukan berarti berhak mencampuri urusannya.
"Gue laper, mau ke kantin. Lo sama Bagas mau ikut, nggak?" tanya Arsen balik. Enggak nyambung sama topik Dewa barusan.
Dewa pun membuang napasnya asal. "Lo ajakin Bagas, deh. Dia katanya laper tadi. Gue lagi mau ke ruang Bu Siti dulu. Ntar gue nyusul."
"Ya."
************
Bersambung
************