Tujuh

987 Kata
"K-Kakak udah pulang?" tanya Mio saat melihat Arsen yang berada di ambang pembatas ruangan antara dapur dan ruang makan. "Hm." Arsen menggumam sambil menganggukkan kepalanya. Matanya mengekori gerak cekatan Mio yang tengah menyiapkan makan siang—yang lumayan kesorean—untuk keduanya. "Kayaknya kamu kerepotan. Nggak mau nyewa pembantu aja?" tawar Arsen. Mio menghentikan aktivitasnya dalam beberapa detik. Lagi-lagi begini. Tadi saat di sekolah, kakaknya itu seolah tidak ingin kenal dengannya. Giliran sekarang, lelaki yang lebih tua itu menjadi baik sekali. Apa kakaknya ini pengidap bipolar? "N-nggak perlu. Mio nggak kerepotan, kok," respons Mio setelah dirinya berpikir cukup cepat tadi. Arsen mengedikkan bahunya tak acuh, membiarkan Mio melakukan sesukanya. Toh, dirinya hanya menawarkan tadi. Mau, oke. Enggak mau, ya sudah. Hening. Mereka kembali sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Arsen yang berjalan dengan ponselnya sambil menata gelas dan peralatan makan yang akan mereka pakai, serta Mio yang tengah sibuk berkutat dengan peralatan masaknya. "Selesai!" pekik Mio girang, ia membawa makanan yang telah ia masukkan ke dalam piring ke atas meja makan. Arsen yang melihat adiknya yang membawa hidangannya pun segera menegakkan punggungnya, kemudian meletakkan ponselnya ke saku celananya. Untuk beberapa detik, ia tertegun saat melihat masakan Mio. Itu ... capcai, makanan kesukaannya. Mendiang mama selalu memasakkan dirinya itu saat ia baru pulang ekskul jurnalistiknya yang dilaksanakan setiap hari Rabu. "Kok diem, Kak?" tegur Mio, "Ayo, makan. Aku ... sengaja bikinin makanan kesukaan Kak Arsen. Hehe." Mio nyengir dengan canggung. Maklumlah, selama ini Mio jarang berinteraksi dengan kakaknya. Jangankan untuk berinteraksi panjang, untuk sekadar menyapa saja biasanya Arsen selalu memelototinya sebelum adegan sapaan itu terjadi. Apalagi dengan kejadian tadi siang, ia menjadi enggan untuk sok akrab. "Kak? Kok ngelamun?" Arsen tergagap di tempatnya setelah dipergoki melamun oleh Mio, dengan kikuk ia mengambil nasi serta capcai seafood yang mengepulkan asap tipis serta aroma yang menggugah seleranya. Aromanya sama persis seperti buatan mama, mendadak Arsen dilanda rindu akan mendiang orang tuanya. Arsen mulai menyendok makanannya, memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Asin, pikir Arsen. Meskipun sedikit asin, tapi selama masih bisa ditoleransi oleh lidahnya, ia tak masalah dengan itu. "Gimana?" tanya Mio antusias, senyumnya merekah berharap walaupun melihat wajah kakaknya yang terlihat biasa saja. "Lumayan." Meskipun singkat, Mio tetap senang dengan respons Arsen. Pasalnya, ia belum pernah memasak capcai sebelumnya, ia hanya nekat saja tadi, memasak bermodalkan buku resep mama. Jadi, bersyukurlah ia karena Arsen tak memuntahkan—atau bahkan membuang masakannya yang masih dinilainya amatir itu. Mio berdoa, lalu memulai mencoba masakannya yang terlihat sedap. "lASIN!" teriak Mio tak senang, dahinya mengerut aneh, sama persis dengan capcai yang terasa aneh di lidahnya ini. Mio menatap wajah Arsen, tetap dengan ekspresi super sepet-nya. "Kak, buang aja makanannya. Nggak enak, asin," pinta Mio setelah menenggak air putihnya dengan kesetanan. "Kita delivery order aja, ya?" Arsen mengunyah makanannya pelan, lalu meminum air putih di sampingnya. "Kamu kalo mau delivery, pesen aja. Aku mau makan capcai garem ini aja." "Eh?" Si adik mengerjapkan matanya bingung. "Kakak nggak enek makan itu? Itu kan ... asin." "Nggak apa-apa. Ini enak kok." Mio yang mengedar kata-kata Arsen pun merasa terenyuh, matanya berkaca-kaca. "HUAAAA! KAK ARSENNNN!!!" jerit Mio sambil menenggelamkan kepalanya di balik lipatan tangannya di atas meja, menangis sedemikian kerasnya. Arsen yang diteriaki gitu hanya dapat bereaksi panik, sedikit merasa kelabakan melihat adiknya. Arsen memutari meja makan, mendekati Mio yang tadinya berada di seberangnya. "Hey, kenapa?" tanyanya bingung. Mio meraung makin keras tatkala Arsen mengusap bahunya khawatir. Kakaknya ... mungkinkah kakaknya telah benar-benar berubah menjadi peri baginya? Sejujurnya, Mio sangat mengharapkan hal itu. "Ck," Arsen mendecak pusing. "Kamu kenapa, Mio?" Tanpa aba-aba sama sekali, Mio melingkarkan tangannya ke pundak Arsen. Memeluknya dengan sangat erat. "Mio sayang Kakak." Arsen tertegun. Hingga tak lama ia balas melingkarkan tangannya ke pinggang kecil Mio, ia mengangguk kecil meskipun tak membalas ucapan sayang adiknya. "Aku tahu." "Maaf, makanannya asin," lanjut Mio masih menangis dengan nada merajuk. "Hmm," gumam sang kakak. "Nggak pa-pa, itu udah cukup enak. Besok kurangin kadar garemnya." Sekali lagi Mio meraung terharu, senang dengan ucapan kakaknya yang masih tetap memujinya meskipun ia telah memberikan makanan rasa air laut—mematikan tersebut. "Makasih, Kak Arsen. Mio sayang Kakak." Dan untuk kedua kalinya Arsen menjawab, "Aku tahu." - "Kak ...," lirih Mio di kala melihat kakaknya yang sibuk bermain gawainya di meja makan. Ia ingin melarang, sama seperti yang biasanya mamanya lakukan. Enggak boleh main hp di meja makan, itu kata mamanya dulu. Tapi Arsen si bipolar—bukan dalam artian sebenarnya—bisa saja kembali ke mode galaknya yang kayak maung. Mio risih, tapi dirinya memilih cari aman. "Apa?" tanya Arsen. "Nggak jadi," cicit si pendek dengan kepala menunduk. "Enggak pa-pa, ngomong aja," ujar Arsen santai. Tapi tetap saja, matanya tidak melirik barang sedikit pun ke arah sang adik satu-satunya. "Itu ... mama dulu suka bilang, jangan main hp kalo di meja makan," peringat Mio. "Tapi ... nggak, enggak. Kakak bebas buat nggak usah dengerin aku." Arsen memandangi sang adik dengan alis yang naik sebelah. Terlihat biasa saja, namun tetap skeptis. Tetapi, alih-alih marah, Arsen justru meletakkan ponselnya dan mulai menyantap makanan yang terhidang di atas meja. Masakan Mio yang telah berkembang, tentunya. "Maaf," kata Mio pelan. "Maaf buat?" "Karena ngelarang ini-itu," ujarnya. "Kita kan nggak sedeket itu ...." Sedikitnya Arsen paham. Kata-katanya tadi siang sepertinya sangat membekas di hati Mio. Mau gimana lagi? Sebenarnya maksud Arsen bukan begitu, tapi ... gimana, ya? Arsen hanya belum siap terlihat go public seperti saudara. Istilahnya, mereka baru saja akrab. Ia belum siap menanggapi banyak komentar dari anak-anak di sekolahnya. "Sorry," tukas Arsen. "Aku nggak ada maksud bilang gitu." "Kalo aku ada salah ... ingetin aku, ya?" lanjut yang lebih tua, canggung. Mio jadi ikut canggung. Tapi, pada akhirnya si pendek hanya mengangguk sembari membubuhkan senyuman manis pada sang kakak. "Iya, aku bakal selalu jadi pengingat Kak Arsen, kok." "Kan aku ... sayang Kakak." Sialan, demi dewa neptunus. Mio bisa melihat kalau ucapannya kali ini membuat pipi Arsen memerah entah karena apa. Kan ... Mio jadi malu juga. ************ Bersambung ************
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN