"Kak, jangan main HP terus. Nanti jatoh, lho!" tegur Mio saat melihat Arsen yang sibuk dengan ponselnya sedari kemarin. Entah kenapa, beberapa hari ini Arsen terkesan addicted oleh ponselnya.
Arsen tak mengacuhkan ucapan Mio, ia justru melihat ponselnya sedemikian serius, Mio semakin merasa terabaikan. "Kak, Kakak chat-an sama siapa, sih? Kok perasaan serius banget?!" pekik Mio lebih keras, berusaha menarik atensi kakaknya.
Arsen menatap Mio yang jauh lebih pendek darinya. Menatap tepat di manik kecokelatan Mio, sehingga Mio jadi salah tingkah akan tatapan intens Arsen di matanya. "K-Kakak ... kenapa?" tanyanya.
Mendadak, Arsen membalikkan tubuh Mio hingga mereka berhadapan. Arsen memegang kedua bahu Mio, memaksa Mio untuk menghadapnya. Mio yang tak mengerti justru menatap wajah serius kakaknya dengan tampang keheranan. "Ke-"
"Kamu harus selalu sama Kakak. Apa pun alasannya, kamu harus selalu sama Kakak. Kalo mau pergi, jangan sendirian. Kakak bakal nemenin kamu. Dan ini ...." Arsen merogoh saku jaketnya, memberikan Mio ponsel. Tunggu, benar-benar ponsel? Mio nyaris memekik kegirangan. Tapi, sebelum itu terjadi, Arsen telah memotongnya terlebih dahulu, "Di HP ini udah ada sim card sama kontak Kakak. Cuma Kakak, jangan kamu tambahin kontak siapa pun lagi dan jangan hubungi orang lain selain Kakak. Paham, Mio?"
Mio menatap kakaknya kebingungan. Kenapa saat ia akhirnya diberikan ponsel, justru banyak aturannya begini? Bukan apa-apa, tapi Mio kan ingin bertukar pesan dengan teman sekelasnya atau mungkin chatting dengan orang lain, mungkin? Ya, selama ini memang Mio hampir selalu ketinggalan info mengenai kelas, lomba, PR, dan sebagainya. Hingga tak jarang teman-temannya mengeluh karena Mio susah dihubungi untuk diberi informasi. Nah, ini giliran Mio dapat HP, kenapa kakaknya justru membatasi penyimpanan kontaknya?
"Tapi, Kak. Gimana cara Mio dapet info dari temen-temen kalo Mio nggak boleh ngehubungi mereka?"
Arsen menatapnya makin serius, "Pokoknya cuma Kakak yang boleh ngehubungi dan dihubungi kamu. Kalo ... kalo misalnya ada tugas atau info, mereka bisa kamu kasih nomer Kakak."
Tunggu, bukannya itu sama saja bohong? Buat apa dirinya diberikan ponsel kalau ujung-ujungnya masih menebeng dengan ponsel kakaknya? "Kak ...."
"Please, dengerin kata Kakak." Mio tak mau berdebat dengan Arsen, sehingga dirinya pun terpaksa mengangguk meskipun banyak hal yang mengganjal di pikirannya.
Apakah Kakaknya menyembunyikan sesuatu hingga dirinya menjadi seprotektif ini?
-
"Kakak nggak ekskul voli?" tanya Mio saat melihat Arsen yang sudah stay di depan kelasnya saat jam pulang sekolah telah datang.
"Nggak," kata Arsen pendek. Mereka terlihat masa bodoh dengan tatapan bingung teman sekelas Mio dan beberapa orang di koridor. Tentu saja mereka bingung, Arsen dan Mio adalah kakak adik yang menjadi rahasia umum. Mereka yang diketahui tak senang untuk mengakui ke-kakakadikan-nya pun menjadikan status mereka menjadi rahasia umum sekolah. Enggan untuk diumbar. Tapi, kok mereka berdua mendadak benar-benar menjadi sepasang adik kakak? pikir mereka heran.
"Ayo, pulang," ajak Arsen sambil merangkul tubuh si pendek hingga mengeliminasi jarak di antara keduanya.
Mio tersenyum dan mulutnya pun berceloteh dengan riang saat berjalan bersama kakaknya. Tak merasakan ada seseorang yang dengan panas membara menatap punggung mereka yang telah ditelan kejauhan.
-
Tok! Tok!
Mio mengetuk pintu kamar Kakaknya di malam hari, ia menyembulkan kepalanya di sela pintu yang sedari tadi terbuka sempit. "Mio boleh minta bantuan Kakak?"
Arsen yang tengah asyik belajar sambil tengkurap di kasur, bersamaan dengan mendengarkan musik dari sumpalan headset di telinganya pun menggeser tubuhnya seraya mencopot headset dari kupingnya. "Bantuan apa? Sini," respons Arsen.
Mio mendekat sambil menenteng beberapa buku di tangannya, kemudian Mio ikut tengkurap di ranjang kakaknya. Bersebelahan tepat di samping Arsen.
"Ajarin geometri, Kak. Mio pusing." Mio tampak frustrasi dengan materi yang diberikan gurunya, matanya berkaca-kaca dengan wajah polosnya. Merajuk.
"Bagian mana yang kamu nggak paham?"
"Ini." Unjuk Mio seraya memberikan buku ke hadapan sang kakak. Arsen meneliti buku Mio dengan saksama. "Mio bingung sama ini. Kok tadinya 60 derajat jadi setengah?"
Arsen menjitak kepala adiknya gemas, "Kamu pasti nggak merhatiin guru kamu sebelumnya."
Mio mengerutkan dahinya kesal karena dituduh dan dijitak sedemikian rupa. "Enak aja, Mio merhatiin tau!" Ia membantah dengan keras.
"Bohong!" tuduh Arsen. "Kalo kamu merhatiin, nggak mungkin nggak bisa. Ini kan kamu pasti udah dikasih tau duluan sama guru kamu kalo cosinus 60 itu jadinya setengah!" Arsen mengomel sambil menarik kedua pipi adiknya gemas, senang dengan ekspresi meringis kesakitan yang Mio tunjukkan.
"Sok tau!" sanggah Mio tak mau kalah. "Tau dari mana kalo cosinus 60 itu setengah? Bisa aja hasilnya satu, atau mungkin-"
"Ih, ngeyel!" Arsen mengunyel-unyel pipi Mio jengkel. "Lihat buku paket! Di situ ada rumusnya. Hafalin! Cos 0 ya 1, cos 30 derajat setengah akar tiga, cos 45 derajat setengah akar dua, cos 60-"
"Udah, udah! Oke, Mio mau ngehafal. Mio pusing dengerin Kakak nyebutin derajat-derajat cosinus."
Arsen mendengus kesal, "Ya udah, hafalin!"
"Iya, ini mau."
-
" ... Tan 60 akar tiga, tan 90 ... ngh ... tak terhing ... ga ...."
Bruk!
Arsen menoleh kaget saat mendengar suara kertas ditindih di sampingnya. Ia dapat melihat jelas kepala Mio yang terkulai lemah di atas buku matematikanya. Tertidur dengan tenang nan damai, membuat Arsen sejenak lupa akan aktivitas membaca bukunya.
Arsen menarik buku Mio pelan, kemudian memindahkan kepala Mio ke atas bantal yang telah ia siapkan. Ia menatap Mio yang tengah menyamankan posisinya di atas bantal tanpa ada niatan untuk bangun sama sekali.
"Hm ...," gumam Mio di sela tidurnya, membuat si kakak terkekeh pelan. Arsen mengusap rambut Mio pelan dengan senyuman tipis yang menghias di bibirnya.
Drt ... drt ....
Getaran dari ponselnya menarik atensinya, Arsen membaca pesan dari orang yang telah beberapa hari ini menerornya dengan pesan-pesan tak menyenangkan. Senyum yang tadinya terukir pun menghilang menjadi tatapan jengkel yang mendalam.
Ia kesal, lalu berniat menghapus pesan itu dari ponselnya. Membacanya sekali lagi dan mendecih.
Aku bakal ngambil Mio, dia bukan adik kamu.
Begitulah kira-kira isi pesannya, dan tanpa berpikir kembali, Arsen menghapus pesan dari orang itu.
Arsen merapikan buku-bukunya dengan Mio, menaruhnya di atas nakas. Kemudian mematikan lampu kamar, digantikan dengan lampu tidur di samping bukunya dan bersiap tidur di sebelah sang adik.
Sekali lagi Arsen menatap wajah sang adik di suasana remangnya kamar. Ia mengelus pipi Mio pelan dengan telapak tangannya.
Tidak akan semudah itu mengambil Mio dari sisinya. Mio akan terus bersamanya.
************
Bersambung
************