Sembilan

765 Kata
Arsen mendadak protektif melihat Mio, rasanya tiap kali Mio berjalan, mata Arsen akan senantiasa mengekori. Seolah Mio adalah mangsa yang ditargetkan untuk ia lahap. "Um," Mio bergumam, matanya terlihat tak enak saat melihat kakaknya, "Kakak ... nggak ada kerjaan lain gitu selain ngikutin Mio?" tanya Mio. Arsen seketika berhenti dan memicingkan matanya, "Kamu nggak suka Kakak ikutin?" Mio melotot sambil mengibaskan kedua tangannya kelabakan, panik saat melihat tatapan Arsen yang dilayangkan kepadanya. "ENGGAK! Bu-bukan gitu ... anu ... Mio ... cuma khawatir kalo Kakak ada kerjaan lain justru bakal keteteran karena ngikutin Mio terus. Nah, iya itu! Hehe." Mio mengakhiri kalimatnya dengan tertawa kikuk. Sang kakak menaikkan bahunya, terlihat masa bodoh dengan ucapan Mio. "Nggak kok, aku nggak ada kerjaan lain. Ayo, pulang." Mio menggigit bibirnya pelan, terlihat menimang-nimang perkataan yang ia lontarkan kepada Arsen. "K-Kakak pulang duluan aja, Mio mau ekskul dulu." "Oh, ya udah," balas si tinggi santai, membuat Mio tersenyum lega karena kakaknya tak menghalangi aktivitasnya. "Tapi ... aku ikut." Mio pun melotot di tempat. - Arsen menggertakkan giginya saat membaca pesan di ponselnya. Emosinya tersulut saat melihat jajaran kata yang ponselnya tampilkan. Percuma kamu ngejagain Mio dengan ketat, dia sendiri yang bakal lari dari kamu dan jatuh ke aku nanti. Dasar i***t! Apa-apaan dengan pesan itu? Arsen tak habis pikir oleh si pengirim pesan yang sering kali menakut-nakutinya dengan Mio sebagai kunci kelemahannya. Bisa saja Arsen memblokir nomor tersebut dan menganggap pesan itu bagai angin lalu. Namun, Arsen rasa dengan pesan-pesan itu ... ia dapat mengawasi Mio lebih ketat daripada intaian si pelaku teror tersebut. Sejujurnya, Arsen belum menyayangi Mio sebegitu besarnya. Hanya saja jika dipikir-pikir, tak ada keluarga lagi yang dapat menemaninya kecuali Mio. Mio satu-satunya keluarga terdekatnya yang ia punya. Bukan Tante Soraya, bukan Tante Fira. Maka dari itu, tak 'kan pernah Arsen membiarkan siapa pun mengambil Mio. Bahkan jika itu keluarga asli Mio sekali pun. - Arsen menatap wajah Mio gelisah. Dirinya seolah sedang memikirkan sesuatu tentang Mio. Mio yang dilihati demikian pun hanya mengernyitkan dahinya kebingungan. "Kakak kenapa? Mau ngomong sesuatu?" Arsen ikut mengernyitkan dahinya, berpikir keras. "Kakak mau pergi ke bandara, Om Gerald mau ketemu sama kita." "Terus? Emangnya kenapa kalo Om Gerald mau ketemu sama kita, Kak?" "Bukan itu masalahnya," jawab Arsen. "Kakak mau jemput Om Gerald, tapi kamu nggak ada yang nemenin—eh, apa ... apa kamu mau izin sekolah aja?" "Ngawur!" pekik Mio keras, "Hari ini Mio ada ulangan matematika. Tau sendiri Bu Betty suka susah kalo dimintain susulan," lanjutnya. Arsen manggut-manggut, paham akan kebiasaan guru yang pernah mengajarnya saat di kelas sepuluh dulu. "Terus kamu sama siapa dong?" Mio mengerutkan alisnya tak senang, gusar dengan kakaknya yang terkesan over padanya. "Mio bisa sendiri, kok! Mio kan bukan anak kecil lagi! Kakak nggak perlu seprotektif ini sama Mio." Arsen mengembuskan napasnya pelan, berusaha membujuk adiknya yang sewot karena tak ingin dijaga terlalu ketat lagi. "Mio ... Kakak cuma nggak mau kamu dibawa lari sama orang. Kamu tau? Masa SMA itu lagi rentan-rentannya penculikan. Kalo kamu diculik, terus disekap, nggak dikasih makan, terus kamu dibunuh, dijual ginjalnya, paru-parunya, tititnya—" Mata Mio tampak berkaca-kaca, hingga akhirnya Mio berteriak, memukul Arsen dengan membabi buta. "m***m! JAHAT! HUAAAAAA! KAK ARSEN, MIO TAKUUUUT! KAK ARSEN JANGAN TINGGALIN MIOOOOO!" "Nah, makanya jangan suruh Kakak nggak protektif lagi. Nggak mau kan diculik?" "NGGAK MAU! HUEEEEEE!" Mio merengek dan memekik keras, Arsen antara senang tak senang mendengar jawaban Mio. Senangnya, Mio kemungkinan besar tidak akan menyuruhnya berhenti over protective lagi. Tak senangnya, Mio teriakannya membuat telinga Arsen berdenging saking kuatnya. Dan satu lagi ... menghentikan Mio yang menangis itu sulit. "Udah, udah. Cup, cup, cup, cup." Arsen memeluk Mio, berusaha meredam jeritannya yang menggema di ruang makan ini. Tak lama tangisan Mio pun mereda, Arsen pun melepaskan pelukannya. Ia menatap wajah putih Mio yang memerah, mata sipitnya yang berkaca-kaca dan hidungnya yang kembang kempis kemerahan. Arsen menangkup pipi tembam Mio. "Udah, nanti Kakak nyuruh sahabat Kakak jagain kamu, ya? Kakak bilangin Kak Dewa sama Kak Bagas nanti, oke?" Mio mengangguk lucu, membuat Arsen gemas melihatnya. Arsen memajukan wajahnya, menggigit pucuk hidung Mio keras sehingga Mio memekik kesakitan dan memukul d**a kakaknya pelan. "Sakit tau!" protes Mio sebal. Arsen tak tahu bahwa menggoda Mio akan sangat menyenangkan, mengingat wajah Mio yang sangat ekspresif terhadap siapa pun. Arsen tertawa dan mencium bekas gigitannya, membuat Mio terkekeh kegelian saat bibir sang kakak mengecupi pangkal hidungnya. Melihat tawa Mio membuat Arsen semakin ingin mengganggunya dengan mengecupi seluruh wajah Mio—tak terkecuali bibir mungil Mio yang sedari tadi meneriakinya. Ah, sungguh. Arsen baru tahu bahwa mengakui Mio sebagai adiknya tak buruk juga. ************ Bersambung ************
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN