Merenungi sebuah penyesalan memang tidak ada habisnya. Rasa sesal yang sudah mengakar pada dirinya, membuat Gibran enggan untuk melanjutkan kehidupan normalnya seperti dulu. Lelaki itu menghabiskan waktunya dengan berdiam diri di dalam kamar sejak kepergian Lara.
Wajah yang dulu terlihat tampan dan segar, kini tampak lesu. Hidung mancungnya terlihat merah, bahkan lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas. Sejak kemarin Gibran habiskan waktu untuk menangis, tanpa berniat menyudahi air mata yang mungkin sebentar lagi akan mengering.
Segalanya tentang Lara terlalu indah untuk dilupakan. Setiap tawa renyah gadis itu, selalu terdengar begitu merdu, menghantui pikirannya, mengusik jiwa dan memekik di telinga.
Ia menatap nanar kertas kanvas putih di sana. Terlihat kosong, sama seperti hidup Gibran saat ini. Biasanya Lara yang selalu menggerakkan tangan mungilnya di kertas itu. Mengukir sketsa-sketsa wajah, dan perlahan kertas putih itu terisi dengan lukisan dua wajah manusia. Lara selalu melukis wajah dirinya bersama kekasihnya. Bukan karena apa, itu sebagai bentuk bahwa cinta mereka selalu abadi, meski kini sang pelukis telah pergi.
Gibran kembali menyapu air pedih yang sedari tadi memang sudah mengalir menghujani wajah. Pandangan mata pria itu beralih menatap benda pipih di atas nakas yang terdengar berdering. Dengan tubuh lunglai, ia pun bangun, meraih ponsel berwarna putih itu, lalu mengangkat panggilan telefon dari salah satu sahabatnya yang merupakan anggota kepolisian.
"Halo, Ron."
"Halo, Ran. Gini, gue sama tim gue baru aja datengin tempat kos perawat yang telah mencekik Lara. Dan nahasnya perawat tersebut udah nggak bernyawa lagi, Ran. Dia ditemukan gantung diri di kamarnya."
Gibran tidak terlalu terkejut mendengar kabar ini. Sebelumnya ia sudah diberitahu Rasya bahwa Lara meninggal karena dicekik oleh salah seorang perawat di rumah sakit tempatnya bekerja. Rasya pun memberitahu kalau perawat tersebut dirasuki oleh Ayudia, sehingga tega membunuh Lara. Dan Gibran menduga penyebab perawat itu sampai gantung diri pasti karena Ayudia.
"Semua udah terjadi, Ron. Pelakunya lebih memilih untuk menghabisi nyawanya sendiri. Kita nggak bisa menghukum siapa-siapa, kan?"
"Iya, Ran. Gue paham sama perasaan lo. Gue sama tim gue cuma penasaran, motifnya apa kenapa perawat tersebut sampai nekat membunuh Lara. Padahal setelah gue telusuri, dia baru beberapa hari kerja di rumah sakit tersebut. Apa jangan-jangan ada orang yang nyuruh dia untuk membunuh Lara? Sayangnya gue belum dapat info apa-apa dari teman-temannya."
Gibran tidak mungkin bercerita pada Aaron kalau perawat tersebut sebenarnya dirasuki oleh Ayudia. Takut saja kalau sahabatnya ini tidak memercayai perkataannya.
Gibran lalu memutuskan sambungan telepon, dan ia berniat untuk beristirahat di ranjangnya. Namun, belum juga menaiki ranjang, ponselnya tiba-tiba berdering kembali.
Gibran menghela napas kasar ketika yang menelponnya kali ini adalah Rinka.
"Ada apa, Rin?"
"Ran, aku ada di depan rumah kamu. Keluar, dong. Aku bawain kamu makanan nih."
"Aku lagi nggak pengen makan apa-apa, Rin. Sori ya, makanannya bisa kamu bawa pulang lagi," tolak Gibran secara halus.
"Ran, aku udah capek-capek masak buat kamu, loh. Tolong hargai sedikit masakanku, dong. Cepetan keluar, ya. Aku bawain opor ayam kesukaan kamu."
Dengan berbagai pertimbangan, Gibran akhirnya memberi izin pada Rinka untuk memasuki rumahnya.
"Oke, aku akan segera keluar."
Dengan langkah pelan, lelaki itu bergerak keluar kamar dan menuju pintu depan untuk menemui Rinka.
"Hai. Aku boleh masuk, ya?" Ketika pintu dibuka, Rinka langsung menyapa Gibran dengan riang. Ia lalu bergegas masuk dan bergerak menuju ruang makan. Gibran pun menutup pintu dan mengikuti langkahnya.
"Duduk sini, Ran. Makan dulu, ya. Kamu pasti belum makan, kan?" Rinka mengambil piring dan menyiapkan makan untuk Gibran. Sengaja ia membawa nasi dari rumah, karena takut saja Gibran tidak memasak nasi hari ini.
Rinka menghampiri Gibran dan menggandeng tangan pria itu untuk duduk di kursi yang sudah ia siapkan. Tidak ada penolakan apa-apa dari Gibran. Lelaki itu sebenarnya sangat lapar. Namun, dirinya tidak memiliki nafsu makan sama sekali dari kemarin.
"Nah, dikit dulu ya makannya. Kalau kamu mau nambah, tinggal nambah aja." Piring berisi nasi dan opor itu Rinka suguhkan di hadapan Gibran. Terlihat lelaki itu mulai meraih sendok dan berniat memakannya.
Gibran mulai menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Saat sedang mengunyah, seketika ia melihat bayangan Lara ada di depannya. Gadis itu tersenyum manis. Membuat Gibran tak sekali pun berkedip menatap gadisnya.
"Jangan telat makan, ya. Tetap jaga kesehatan. Kamu kan dokter. Masa iya dokter sakit? Nanti kalau kamu sakit, yang mau nyuntik kamu, siapa? Mau minta tolong Rasya? Masa dokter nyuntik dokter? Hehehe." Lara sempat tertawa sebelum bayangannya benar-benar hilang dari hadapan Gibran.
Separuh jiwanya seperti hilang ketika bayangan Lara lenyap dari hadapannya. Ia lalu menyingkirkan piringnya. Kemudian meminum air putih di gelas panjang yang berada di sampingnya. Lelaki itu pun berdiri, ia berniat meninggalkan ruang makan.
"Ran, kamu mau ke mana? Makannya kan belum habis?" protes Rinka.
"Aku nggak ada nafsu makan. Lebih baik, sekarang kamu pulang. Aku mau istirahat." Gibran mulai melangkah menuju tangga.
"Ran, tunggu." Rinka menahan lengan Gibran ketika lelaki itu berniat akan menaiki anak tangga.
"Mau sampai kapan sih kamu begini terus? Lihat diri kamu. Kamu bener-bener nggak keurus. Aku tau kamu belum bisa menerima kepergian Lara, tapi nggak harus lah berlarut-larut dalam kesedihan sampai segininya. Itu namanya bikin rugi diri sendiri, Ran."
Gibran beralih menatap Rinka dengan datar. Ia tidak begitu suka kalau wanita itu terlalu ikut campur ke dalam urusannya. Jika Rinka berada di posisinya, belum tentu Rinka bisa berucap seenaknya seperti itu. Hidup Gibran sudah benar-benar hancur sekarang. Ia kehilangan orang-orang yang dicintainya berturut-turut. Memang sebagai manusia dituntut harus ikhlas dalam menerima cobaan. Namun, salahkah Gibran kalau belum mampu bersahabat dengan rasa ikhlas itu?
"Aku ingin kamu segera angkat kaki dari rumahku. Jangan lagi-lagi sok peduli dengan keadaanku." Gibran terang-terangan mengusir Rinka. Jelas hal ini membuat Rinka jengkel padanya.
"Aneh banget kamu, Ran. Aku benar-benar tulus peduli sama kamu, tapi kamunya malah ngatain aku sok peduli?! Capek aku tiap hari ngejar-ngejar kamu, tapi kamunya sama sekali nggak paham sama perasaan aku!" Rinka marah dan memutuskan untuk pergi dari rumah ini. Ia merasa harga dirinya sudah tidak ada lagi di mata Gibran.
***
"Eh, udah pada tau belum, si Dhini perawat baru yang kabarnya udah bunuh pacarnya Dokter Gibran, katanya ditemukan mati gantung diri di kamar kos-nya, loh." Ada seorang perawat perempuan yang sedang asyik menggosip di kantin bersama dua orang rekannya.
Kebetulan meja mereka bersebelahan dengan meja Rinka. Jadi Rinka bisa mendengar dengan jelas bahasan mereka.
"Dia milih buat gantung diri karena nggak mau dipenjara apa, ya? Ih, ngeri banget. Aku pernah beberapa kali ngobrol-ngobrol sama dia di koridor. Orangnya sih kayak kelihatan ramah gitu. Nggak nyangka banget kalau ternyata dia aslinya kejam." Perawat yang satunya lagi merasa tidak menyangka kalau Dhini memiliki kepribadian yang kejam.
"Tapi motifnya apa ya dia sampai nekat bunuh pacarnya Dokter Gibran? Apa karena disuruh orang? Atau mungkin Dhini naksir Dokter Gibran dan pengen nyingkirin pacarnya?" Tebakan perawat tersebut sukses membuat Rinka teringat akan satu hal.
'Kamu tidak perlu tau siapa aku. Kamu ingin menyingkirkan gadis itu? Aku akan bersedia membantu, tanpa harus mengotori tanganmu, apalagi meninggalkan jejakmu.'
Rinka tiba-tiba saja teringat dengan ucapan hantu perawat yang sempat mendatanginya kapan hari. Lara tiba-tiba dibunuh oleh seseorang yang menurut Rinka keduanya tidak saling mengenal. Apa mungkin, meninggalnya Lara ada hubungannya dengan hantu perawat itu?
Rinka memilih cuek dengan masalah ini. Tadinya ia merasa senang karena Lara tiba-tiba saja meninggal. Itu artinya ia memiliki kesempatan banyak untuk mendapatkan Gibran. Namun, kejadian tadi pagi benar-benar membuat Rinka lelah mengemis cinta pada Gibran. Pria itu selalu saja menolaknya, meski dirinya sudah mati-matian berusaha untuk meluluhkan hati pria tersebut.
"Sendirian, Dok? Mau saya temani?"
Rinka menghentikan kegiatan mengunyahnya ketika terdengar suara seorang pria di depannya. Suara ini terdengar cukup familier. Rinka hanya sanggup memutar bola mata malas ketika mengetahui siapa pemilik suara ini.
"Aku lagi males ditemani siapa-siapa. Silakan cari meja yang lain!" usir Rinka pada Hendra.
Bukannya pergi, Hendra malah menarik kursi yang ada di depan Rinka dan menduduki kursi tersebut.
"Kamu kenapa sih bawaannya ketus terus sama aku? Nanti yang ada wajahmu itu cepat keriput kalau kerjaannya marah-marah terus."
"Ya, biarin. Memangnya kenapa kalau aku cepat keriput? Kamu nggak suka?! Dan kamu mendadak ingin membatalkan rencana perjodohan ini? Ya, bagus malah." Rinka memilih menjadi jomblo saja untuk saat ini. Daripada ia pusing memikirkan cinta. Ia lelah mengejar Gibran, tapi ia juga tidak mau menjadikan Hendra sebagai pelampiasan.
"Aku nggak akan membatalkan rencana perjodohan kita, Rin. Aku akan tetap maju, tapi aku juga nggak akan mendesak. Intinya, aku akan tetap menunggu sampai kamu benar-benar siap menerimaku."
Rinka mendadak terharu dengan sikap bijaksana dan kedewasaan seorang Hendra. Namun, ia tidak mau mengambil keputusan terlalu dini. Ia masih mencintai Gibran. Rinka butuh waktu untuk melupakan Gibran dan membuka hati untuk pria lain.
Tbc ...